Mamah Nule (Bagian 1)
Oleh: Evi Nurleni
(Sebuah Perspektif tentang Marginalisasi Perempuan Dayak Ngaju dalam Perubahan Lingkungan Hidup di Kalimantan Tengah)
Saya menuliskan perspektif ini berdasarkan pengalaman saya melakukan riset di 3 tempat, yakni tahun 2012 pada masyarakat petani perempuan penyadap karet di Desa Hanua Ramang, tahun 2014 pada komunitas keluarga dan perempuan pedagang di Jalan Mendawai, Palangka Raya, dan tahun 2019 pada komunitas keluarga dan perempuan di Kelurahan Kereng Bangkirai Kota Palangka Raya.
Tulisan ini merupakan hasil refleksi saya terhadap temuan-temuan lapangan yang tidak semua dapat tercover pada laporan hasil penelitian. Refleksi dan perspektif saya ini tentang kondisi perempuan berhadapan dengan perubahan pembangunan dan lingkungan hidup, sekaligus mendengarkan suara batin masyarakat dan perempuan Dayak Ngaju. Secara umum saya hendak mengatakan, bahwa sebenarnya banyak orang merasakan dampak perubahan pembangunan lingkungan hidup yang merugikan, tetapi tidak memilih untuk melakukan adaptasi mandiri daripada melalukan perlawanan.
Tulisan ini saya rangkai dalam sebuah narasi pendek dalam 3 sekuel kisah yang bersambung, sebagai gambaran tentang 3 pengalaman perjumpaan riset saya dengan perempuan. Kondisi marginalisasi dan diskriminasi terhadap masyarakat dan perempuan sendiri dalam konteks narasi pembangunan menjadi narasi yang terpinggirkan dan terlupakan.
Konteks perjuangan komunitas peladang dan perempuan dianggap tidak penting dan tidak perlu disuarakan. Tulisan ini adalah salah satu sarana untuk menyuarakan ruang batin itu secara ilustratif.
Bagian 1: Cuman Bisa Tercenung
Pada suatu hari Mamah Nule berangkat untuk memancing, karena anaknya masih kecil dan yatim. Suaminya, ayahnya Nule meninggal kena Covid, karena itu ia berangkat sendirian saja. Berangkatlah Mamah Nule ke seberang sungai, dan masuk ke Sungai Koral. Dia terkejut setengah mati karena ada orang yang meneriakinya: “Jangan memancing di situ, sudah milik negara wilayah itu… nanti kamu dibilang: illegal fishing”.
Mamah Nule terkejut setengah mati, kemudian ia pun memutar balik badannya pulang, niat hati tak sampai ingin memakan ikan dari sungai yang dulunya tinggal pancing, jika ingin ikan. Sekarang sudah tidak bisa sebebas dulu lagi, terpaksa ia pulang dan makan nasi lauk garam. Dan begitulah setiap hari makanan mereka.
Keesokan harinya Mama Nule berangkat lagi ke hutan karena kayu api di rumah hampir habis. Berangkatlah dia ke perbukitan, ingin menebang kayu kalapapa. Kayu ini ringan dan mudah dibelah, serta mudah kering dan bara apinya awet. yang cukup besar yang bagus untuk kayu api.
Ada lagi orang yang berteriak kepadanya: “Jangan menebang kayu itu, milik negara… nanti kamu dibilang: Illegal logging” kata orang itu. Terkejut lagi setengah mati Mama Nule. Ia terpaksa pulang lagi ke rumah, dan makan nasi mentah, karena kayu api tidak cukup.
Tapi kemudian, semakin hari persediaan padi Mamah Nule dengan anak-anaknya tidak cukup lagi untuk 1 bulan ke depan. Mamah Nule terpaksa kemudian pergi ke ladang, untuk maksud berladang.
Waktu ia hendak membakar lahannya, tiba-tiba ada lagi yang berteriak: “Jangan membakar lahan… illegal farming” kata orang itu. Terkejut lagi ia setengah mati dan pulang kembali ke rumah dan memasak bubur saja untuk makanan mereka. Lama mereka seperti itu.
Tapi lama seperti itu, Mamah Nule tidak tahan juga; memakan bubur setiap hari bukan persoalan enak. Nule yang semakin besar di minta ibunya untuk ikut bekerja di Lanting Sedot untuk manduan upah.
Kata Mamah Nule: Ikutlah orang manyedot (bekerja di tambang tradisional), supaya ada uang kita untuk membeli beras dan lauk pauk”. Maka berangkatlah Nule ikut orang bekerja di tambang emas.
Tidak lama kemudian, ada lagi orang berteriak di depan rumahnya, katanya: “Tante, anakmu ditangkap polisi… terkena kasus illegal mining”. Akhirnya, Mamah Nule terpaksa berhutang untuk menjemput anaknya di Kantor Polisi. Atas pengasihan Tuhan, akhirnya Nule keluar juga dari jerat hukum, karena Nule masih di bawah umur.
Sampai di rumah, Mamah Nule hanya bisa duduk tercenung:
Oh anak… bagaimana lagi caranya kita ini hidup? Berangkat memancing mencari ikan kita disebut ilegal fishing. Menebang pohon untuk kayu api saja di tanah peninggalan kakek-nenek dulu disebut illegal logging. Mau berladang di atas tanah bapakmu yang dulu biasa tempat kita biasa berladang, tidak bisa membakar api karena disebut illegal farming. Mau ikut mencari emas seperti orang juga disebut ilegal mining“.
Mamah Nule hanya bisa murung dan tercenung.
#merenungi kondisi kehidupan yang diatur oleh selembar kertas yang tidak peka kemanusiaan yang disebut dengan peraturan.
Palangka Raya, 19 Mei 2021
Pemerhati Masalah Perempuan dan Anak di Kalimantan Tengah
Keterangan:
:: Nule dalam Bahasa Dayak Ngaju artinya Yatim
:: Kalapapa adalah nama sebuah pohon yang biasa digunakan untuk kayu bakar
:: Lanting Sedot adalah nama untuk unit pertambangan rakyat yang menggunakan mesin dan biasanya mengapung di sungai. Pemilik biasanya orang setempat dan biasa juga mempekerjakan orang lain untuk diupah sesuai hasil yang mereka dapat.
:: Manduan upah artinya mengambil upah dengan menjadi buruh harian