KSAD Dudung Abdurachman: Kontribusi KUPI terhadap Peradaban Bangsa

 KSAD Dudung Abdurachman: Kontribusi KUPI terhadap Peradaban Bangsa

Tangkapan layar opening ceremony KUPI II Kamis, 24/11/2022 (Sumber: YouTube Channel TV9 Official)

Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ke-2 telah berlangsung sejak Rabu (23/11/2022). Puluhan tema halakah menjadi agenda yang digelar hingga Sabtu (26/11/2022).

Dalam pembukaan KUPI ke-2 sekaligus talkshow “Peran Ulama Perempuan dalam Meneguhkan Nilai-nilai Kebangsaan, Kemanusiaan, Kesemestaan, dan Penguatan Perempuan di Pedesaan,” Kamis (24/11/2022), Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Dudung Abdurachman menyampaikan apresiasi atas pelaksanaan KUPI ke-2.

Menyampaikan sambutan melalui layar lebar di panggung KUPI, KSAD Dudung mengatakan perhelatan KUPI sangat strategis untuk turut serta menegakkan sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan KUPI sangat taktis untuk meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan, kebangsaan dan untuk kemaslahatan.

Perhelatan KUPI ke-2 dalam pandangan KSAD Dudung merupakan perayaan kegembiraan, suka cita, dan silaturahmi 5 tahunan. Gelaran KUPI menjadi ruang merenung sekaligus meneguhkan hal-hal baik untuk bangsa dan masyarakat Indonesia ke depan.

KUPI, menurutnya, menjadi pertemuan evaluasi atas pencapaian kerja keras dalam mengawal hasil musyawarah keagamaan KUPI pertama yang dilakukan di tingkat kultural maupun struktural.

Baca Juga: Jihad Gender untuk Mengurai Masalah Kekerasan

Agenda KUPI, menurut KSAD Dudung, sejalan dengan keinginannya sebagai manusia, sebagai anak yang dilahirkan dari seorang ibu, sebagai suami dari seorang isteri dan sebagai bapak dari anak-anaknya,  sekaligus sebagai pemaknaan sumpah sebagai prajurit.

KUPI merupakan kesempatan semua pihak untuk merefleksikan dan mengartikulasikan peran perempuan. Khususnya terkait dengan kiprah dan keberadaan ulama perempuan dalam menjaga, merawat, dan meneguhkan nilai-nilai kebangsaan, kemanusiaan, kebudayaan, dan kesemestaan.

“Mungkin sejarah peradaban manusia tidak banyak menuliskan peran perempuan, termasuk ulama perempuan dalam membangun peradaban bangsa dan negara. Demikian pula di negeri kita ini. Padahal sejatinya, perempuan dan ulama perempuan tanpa terkecuali melalui Pondok Pesantren mempunyai kontribusi dalam membangun peradaban bangsa menuju bangsa yang berkeadilan dan berkemanusiaan,” ujar KSAD Dudung.

Harapannya KUPI ke-2 dapat meneguhkan pondasi yang sudah dibangun dari hasil KUPI pertama  dalam membangun Indonesia yang adil dan beradab.

KSAD Dudung berharap sumbangsih pemikiran KUPI tak berhenti sampai di sini. Sebab membangun peradaban yang berkeadilan membutuhkan kolaborasi semua pihak. Kerja sama yang menurut KSAD Dudung tak mengenal batas ruang dan jenjang.

“Bagi ibu dan bapak serta saudara-saudara sekalian yang berada di pelosok nusantara, tentu tidak perlu berkecil hati, karena semuanya bersatu dan berkolaborasi membangun peradaban. Tidak ada hirarkhi peran ulama perempuan, antara yang di lokal, nasional maupun internasional. Yang terpenting adalah rasa memiliki, kebutuhan dan kepedulian untuk penguatan perempuan dalam berbagai level, serta merawat dan meneguhkan peran-peran yang dilakukan untuk peradaban bangsa,” terang KSAD Dudung.

Baca Juga: Visi Islam Rahmatan Lil Alamin sebagai Pondasi Kebangsaan

Kehadiran KUPI seturut dengan dinamika dan tantangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Khususnya tantangan untuk merawat kebhinekaan dan menjaga bangsa dari ancaman ekstremisme kekerasan.

Meski keberagaman dan kemajemukan menjadi jati diri bangsa, namun upaya penyeragaman atas dasar identitas kelompok tertentu justru mengingkari karakter bangsa.  Terlebih upaya tersebut sering mendiskriminasi perempuan. Seruan formalitas tentang cara beragama dengan menampilkan simbol identitas tertentu justru menempatkan perempuan sebagai objek pengaturan. Perempuan dianggap tak memiliki otoritas untuk mengekspresikan cara beragama dan berkeyakinan sesuai hati nurani sekaligus sebagai manusia yang merdeka.

Selain itu, perkembangan eksklusifitas sentimen keagamaan yang menyuburkan ekstremisme kekerasan menjadi tantangan bersama. Sikap eksklusif dalam beragama, sikap dan pandangan intoleran, rentan menyulut ekstremisme kekerasan. Dalam hal ini, pandangan maskulin dan patriarkis menjadi otoritas untuk mempengaruhi perempuan yang dengan sengaja dipersiapkan untuk merawat generasi yang kelak mempraktikkan intoleransi dan ekstremisme kekerasan. Di sinilah kepemimpinan perempuan dan ulama perempuan dinantikan. Membangun cita-cita peradaban yang berkeadilan. [Nur Azizah]

 

Artikel ini merupakan bagian dari kontribusi JalaStoria dalam penyelenggaraan KUPI ke-2 di Semarang dan Jepara, 2022

 

Digiqole ad