Kekerasan Seksual Massal dalam Sejarah Bangsa (Bagian 2)

 Kekerasan Seksual Massal dalam Sejarah Bangsa (Bagian 2)

Cat merah putih di atas tembok (Sumber: David_Peterson/Pixabay.com)

Sobat JalaStoria, dalam tulisan sebelumnya, ada dua peristiwa kekerasan seksual massal dalam perjalanan sejarah bangsa yang sudah diuraikan. Kalo kamu terlewat membacanya, simak di sini ya…

Nah, sekarang yuk kita lanjutkan dengan informasi selanjutnya, supaya pengetahuanmu makin oke!

  1. Jugun Ianfu

Jugun Ianfu adalah perempuan korban pemaksaan pelacuran di masa penjajahan Jepang 1942-1945. Mereka ada yang berasal dari Solo, Jogja, Surabaya dan Manado lalu dibawa ke Pulau Buru, Balikpapan, dan lain-lain. Sebagian di antaranya dijanjikan pekerjaan yang layak namun kemudian dipaksa menjadi budak seks di kamp tentara Jepang. Terdapat sejumlah riset yang menunjukkan penderitaan para korban akibat kekerasan seksual selama yang dilakukan oleh tentara Jepang. Dampak yang dialami korban meliputi penderitaan fisik, mental, ekonomi, dan seksual.

Dari sisi perekrutan, riset Adita Dwi May Cahya dkk yang dipublikasikan Universitas Jember mencatat terdapat cara-cara kekerasan, penipuan, dan ancaman kepada sebagian besar perempuan yang dijadikan Jugun Ianfu. Hal serupa disampaikan oleh Nursyahbani Katjasungkana, pendiri LBH APIK. Dalam webinar bertajuk Politik Kekerasan Seksual: Mengenang Mei 1998 dan Beberapa Kasus Kekerasan Seksual Massal (22/05/2021) yang diselenggarakan oleh LETSS Talk, Nursyahbani mengungkapkan pola kekerasan seperti penculikan juga dilakukan oleh tentara Jepang untuk merekrut Jugun Ianfu.

“Seperti Ibu S saat SD diculik dan dimasukkan ke Ianjo di Cimahi,” ungkapnya. Cara lainnya, menurut mantan Direktur LBH Jakarta ini, antara lain melalui seruan dari tentara Jepang di seluruh Indonesia yang menyuruh kepala desa mengumpulkan perempuan.

Pada 1993, berkembang gerakan di sejumlah negara eks penjajahan Jepang yang meminta permintaan maaf dan kompensasi negara Jepang kepada Jugun Ianfu, tak terkecuali Indonesia. Cahya mencatat bahwa saat itu Pemerintah melalui Kementerian Sosial pun menyatakan akan mencari dan mendata para korban. Nursyahbani menyatakan, dari total 1156 korban yang didata, 256 korban di antaranya datang ke LBH Jakarta, di mana Nursyahbani Katjasungkana menjabat sebagai direktur kala itu.

Melalui proses yang cukup panjang, pada 1997 Jepang menyampaikan komitmen 380juta Yen yang akan dicicil selama 10 tahun, yang setara dengan 10 miliar rupiah.  Dana itu dikelola pemerintah melalui Kementerian Sosial dengan mendirikan panti-panti jompo untuk menampung para korban. Sayangnya, menurut Nursyahbani, uang kompensasi itu dikorupsi. Selain itu, pendirian panti jompo juga tidak sesuai dengan kebutuhan korban, “karena bukan kultur orang Indonesia tinggal di panti jompo,” jelasnya.

Apakah kompensasi itu dinikmati oleh para korban yang mengalami dampak dalam berbagai dimensi? Sayangnya, tidak. Di Indonesia, tidak satupun mendapatkan kompensasi. Hal ini menurut Nursyahbani disebabkan tidak solidnya advokasi. “Sebagian ada yang menolak kompensasi, sebagiannya ada yang mau menerima kompensasi,” ungkap Nursyahbani.

Alasan lainnya, pemberian kompensasi individual kepada setiap korban membutuhkan verifikasi, di mana hal ini dikhawatirkan akan membuka aib para korban. Padahal, menurut Nursyahbani, “banyak dari mereka yang coming out, terutama dari Solo dan Jogja.” Selain itu, terdapat lembaga masyarakat sipil seperti Jejer Wadon yang membuat memorialisasi Ianfu.

Walaupun demikian, di sisi lain hal ini sedikit banyak berdampak pada aktivitas perekonomian yang dilakukan oleh penyintas. “Bahkan ketika ini terbuka, usaha warung mereka harus ditutup. Tidak ada yang mau membeli makanan karena terstigma sebagai pelacur,” ungkapnya. Masih adanya penolakan dan stigma dari masyarakat menunjukkan pengingkaran terhadap peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban dalam peristiwa ini. Padahal, menurut Nursyahbani, membuka diri bukanlah hal yang mudah dilakukan oleh korban.

  1. Daerah Operasi Militer Aceh

Pemberlakuan daerah operasi militer di Aceh pada tahun 1989-1998 menyisakan kisah kekerasan seksual terhadap perempuan. Sayangnya, hal itu tidak disertai dengan pengakuan pemerintah atas kekerasan seksual yang terjadi baik selama masa daerah operasi militer maupun sesudahnya. Sebaliknya, menurut Samsidar (22/05/2021) dalam acara yang sama, pemerintah daerah setempat justru menstigma korban sebagai pelacur. Demikian juga dengan lingkaran terdekat korban, yaitu keluarga.

Samsidar mengungkapkan kekecewaan penyintas kepada otoritas lokal yang menganggap kekerasan seksual yang terjadi bukanlah kasus besar dalam daerah operasi militer. Padahal, penyintas tersebut mengidap masalah penglihatan akibat kekerasan seksual yang dialaminya. Komisioner Komnas Perempuan periode 2003-2005 ini menggambarkan kekecewaan dan kemarahan penyintas itu yang bersumpah untuk tidak akan meminta pengakuan dari pemerintahan lokal atas kekerasan seksual yang dialaminya bahkan hingga kondisi melarat sekalipun.

Pendokumentasian yang dilakukan oleh Flower Aceh dan lembaga masyarakat sipil di Aceh, sebagaimana dilaporkan oleh Suraiya Kamaruzzaman pada 1998, menunjukkan fakta pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terutama yang menyasar pada perempuan. Rentang waktu kejadian yang terdokumentasi antara 1992-1998. Kekerasan seksual yang terjadi antara lain perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, hingga penyiksaan seksual. Dalam suatu kasus, tiga orang perempuan diperkosa oleh militer, kemudian dibaringkan bersusun lalu ditembak (1992). Korban lainnya yang dituduh menyembunyikan senjata dibawa ke Rumah Geudong, ditelanjangi, disiksa, disetrum di payudara dan vagina selama 2 minggu (1998). Korban lainnya yang mengalami penyiksaan serupa bahkan meninggal empat hari kemudian (1998).

Selain itu, terdapat kepala desa yang melakukan kekerasan seksual, mulai dari pelecehan seksual hingga perkosaan. Kepada perempuan korban, pelaku mengancam akan melaporkan suami atau bapaknya sebagai GAM sehingga korban tidak berdaya (1996). Laporan Komnas Perempuan menunjukkan perempuan sebagai pihak yang rentan berada di antara pertikaian militer dan GAM. Misalnya, ketika perempuan menjalankan peran domestik menyiapkan makanan bagi suami yang dicurigai sebagai anggota GAM, ia dituduh sebagai simpatisan GAM oleh pihak militer. Sebaliknya perempuan dituduh simpatisan militer ketika menyiapkan makanan bagi pasukan Indonesia.

Status daerah operasi militer di Aceh dicabut pada 1998. Namun demikian, menurut Samsidar, sekalipun fakta kekerasan seksual yang terjadi melandasi pertimbangan pencabutan status tersebut, uraian fakta tersebut justru dihilangkan dalam dokumen pencabutan status daerah operasi militer itu. Ini merupakan salah satu bentuk pengingkaran atas kekerasan seksual yang terjadi selama pemberlakuan status daerah operasi militer di Aceh.

 

==

Nah, Sobat JalaStoria, sampai di sini dulu ya.  Walaupun demikian, daftar ini tidak berhenti di sini, ya! Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia khususnya di awal era reformasi, ada sejumlah peristiwa kekerasan seksual massal yang belum diuraikan di JalaStoria.

Kalo kamu berminat untuk menuliskannya, sila hubungi kami ya….

Sebelumnya, simak beberapa bahan bacaan berikut ya:

  1. Adita Dwi May Cahya, Sri Handayani, Marjono. Upaya Masyarakat Indonesia dalam Memperjuangkan Keadilan Jugun Ianfu Tahun 1993-1997. 
  2. Suraiya Kamaruzzaman. Tindak Kekerasan terhadap Perempuan di Aceh, disampaikan pada Dialog Nasional tentang Kekerasan terhadop Perernpuan diselenggarakan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. 1998. 
  3. Komnas Perempuan. Peta Kekerasan, Pengalaman Perempuan Indonesia. 2002. 
  4. Komnas Perempuan. Kita Bersikap: Empat Dasawarsa Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perjalanan Berbangsa. 2009.  [MUK/Repoter: ANHS]
Digiqole ad