Kejahatan Perkawinan: Ketika Monogami Dikhianati
Kali ini, JalaStoria akan mengupas tentang kejahatan perkawinan, yang merupakan pengingkaran atas perkawinan monogami yang dilakukan oleh salah satu pasangan.
Tapi sebelumnya, di dunia ini, ada istilah perkawinan bigami, monogami, poligami, poligini, dan poliandri.
Supaya nggak bingung, yuk dikenali apa aja perbedaannya:
Monogami: adalah perkawinan di mana seseorang hanya terikat ikatan perkawinan dengan satu orang dalam suatu waktu.
Bigami: adalah perkawinan di mana seseorang melakukan perkawinan dengan orang lain padahal masih terikat secara hukum dalam perkawinan dengan yang lainnya.
Misalnya, seseorang yang masih dalam proses perceraian, melakukan perkawinan dengan orang lain di saat perceraian itu belum diputuskan oleh pengadilan. Atau, seorang laki-laki yang sudah memiliki pasangan istri yang sah, melakukan perkawinan dengan orang lain dengan atau tanpa persetujuan istri yang sah.
Poligami: adalah aktivitas seksual di mana seseorang memiliki lebih dari satu pasangan dalam suatu waktu, baik dalam ikatan perkawinan atau tidak.
Sekilas, istilah bigami dan poligami mirip ya? Padahal keduanya tidak sama lho. Seringkali orang menggunakan istilah poligami untuk situasi yang merupakan bigami.
Poligini: kondisi di mana seorang laki-laki beristri lebih dari dari seorang.
Poliandri: kondisi di mana seorang perempuan bersuami lebih dari seorang.
Sudah jelas bedanya di mana ya? Yuk sekarang kita pelajari apa itu Kejahatan Perkawinan
Kejahatan Perkawinan dalam KUHP
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur pemidanaan terhadap kejahatan perkawinan, sebagaimana dimaksud dalam Bab XIII tentang Kejahatan Terhadap Asal Usul dan Perkawinan, khususnya Pasal 279 dan Pasal 280 KUHP.
Pasal 279 KUHP:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
- barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
2.barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
(2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 280 KUHP:
”Barang siapa mengadakan perkawinan, padahal sengaja tidak memberitahu kepada pihak lain bahwa ada penghalang yang sah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, apabila kemudian berdasarkan penghalang tersebut, perkawinan lalu dinyatakan tidak sah”
Berdasarkan ketentuan di atas, perkawinan bigami yang disembunyikan, merupakan tindak pidana, khususnya jika yang melakukan perkawinan menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Misalnya, seseorang laki-laki mengaku masih single kepada seorang perempuan, padahal ia masih terikat perkawinan dengan istrinya.
Selain itu, apabila seseorang melangsungkan perkawinan, padahal dia tahu bahwa pasangannya tidak boleh melakukan perkawinan karena sedang ada penghalang, maka ia dapat dipidana penjara 5 tahun.
Dengan demikian, merujuk ke KUHP, perkawinan baru yang dilakukan dengan menyembunyikan adanya penghalang dari perkawinan sebelumnya merupakan tindak pidana.
Di sisi lain, perkawinan bigami dan poligami merupakan bagian dari kekerasan terhadap perempuan dalam perkawinan. Komnas Perempuan sejak tahun 2010 mengidentifikasi perkawinan poligami sebagai salah satu penyebab utama tingginya perceraian, atau dengan kata lain perkawinan poligami adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan.
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas perkawinan monogami terbuka. Artinya, bahwa UU Perkawinan tetap memperbolehkan dilakukannya poligami, -atau secara khusus memperbolehkan perkawinan dengan lebih dari satu istri (poligini)- dengan syarat-syarat yang ketat yang harus dipenuhi seorang laki-laki.
Manakala syarat-syarat tidak bisa terpenuhi, maka terdapat halangan perkawinan yang sah dan perkawinan poligini tersebut adalah kejahatan.
Melindungi Lembaga Perkawinan
Pengaturan Pasal 279 dan Pasal 280 KUHP pada hakikatnya bertujuan melindungi lembaga perkawinan. Sebab kedua pasal tersebut, tidak hanya menyasar lelaki (suami) tetapi juga perempuan (kedua, ketiga dan keempat) yang dinikahinya ketika mengetahui bahwa calon suaminya atau calon isterinya masih terikat perkawinan dan tidak memenuhi persyaratan untuk melangsungkan perkawinan poligini (perkawinan dengan lebih dari satu istri) atau poliandri (perkawinan dengan lebih dari satu suami).
Namun demikian, dalam praktik, penerapan Pasal 279 KUHP ini masih beragam dalam penegakannya.
Sebagai gambaran, berikut ini diuraikan 2 contoh kasus:
Pertama, perempuan yang dijatuhi pidana tiga bulan karena menikah siri dengan seorang pria beristri. Namun di tingkat banding, Pengadilan Tinggi menolak dan menyatakan bahwa bagi orang muslim, perkawinan yang sah dilaksanakan berdasar dan menurut cara serta memenuhi persyaratan sebagaimana yang terdapat dalam UU Perkawinan. Di tingkat Kasasi MA juga menyatakan bebas bagi perempuan tersebut.
Kedua, seorang pria beristri melakukan perkawinan siri dan dituntut dengan Pasal 279 KUHP, kemudian dipidana satu tahun penjara. Sampai dengan tahap Kasasi terdakwa tetap dijatuhi hukuman pidana yang sama. Dalam hal ini, hakim memaknai pengertian perkawinan termasuk di dalamnya perkawinan siri.[]
Sumber: Ninik Rahayu, pendiri JalaStoria.id