Hukuman Pelaku Masih Ringan

 Hukuman Pelaku Masih Ringan

Ilustrasi (JalaStoria.id)

Halo Sobat JalaStoria, ini masih ngelanjutin cerita dari acara Ngobrol Bareng JalaStoria.id senin kemarin ya. Jadi, ada sejumlah interaksi dengan peserta, yang penting banget nih untuk diketahui supaya wawasan kita juga nambah, ya kan?

Misalnya, ada tanggapan dari Aryatmono Siswadi, dari SMP N 2 Bawang Batang. Menurut Aryatmono, hukuman bagi pelaku kekerasan seksual masih sangat ringan. Makanya, Aryatmono berharap supaya ke depan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual lebih berat lagi, supaya ada efek jera. Intinya, calon pelaku supaya mengurungkan diri dari perbuatan keji itu.

Ada juga pertanyaan dari Tengku Khairil Ahsyar, dari Bengkulu. Rekan kita ini menanyakan, apa pengertian kekerasan seksual? Sampai batasan mana suatu perbuatan dikatakan sebagai  kekerasan seksual? ”Apakah (maaf) melakukan seksual secara kasar/keras yang misalnya pasangan tersebut sama-sama menyukai juga termasuk ke dalam kasus kekerasan seksual, atau seperti apa?” tulisnya di kolom Q&A.

Pertanyaan itu sudah ditanggapi juga oleh narasumber ya. Intinya, perbuatan kekerasan seksual itu sebagaimana dalam rumusan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kalau perbuatan itu menyerang tubuh dan seksualitas seseorang dan membuatnya tidak nyaman, terhina, terintimidasi, dan lainnya, itu sudah merupakan kekerasan seksual. Definisinya panjang sebenarnya. Bisa dicek ke draf RUU nya ya.

Nah, supaya lebih mudah dipahami, JalaStoria mau kasih contoh aja deh. Misalnya, narasumber menyebutkan “begal payudara”. Ini kan perbuatan yang mengarah ke tubuh dan seksualitas korban, khususnya perempuan, berupa perbuatan memegang payudara korban yang membuat korban tidak nyaman, terhina, dan pengalaman traumatik lainnya. Kekerasan seksual terjadi ketika tidak ada persetujuan korban atau consent dalam perbuatan tersebut.

Jadi, kalau yang ditanyakan Tengku Khairil Ahsyar tersebut, hubungan seksual yang dilakukan dengan cara kasar dan disukai oleh pasangan tersebut, itu bukan kekerasan seksual ya. Istilah lainnya, sadomasokis. Berbeda halnya  kalau di antara pasangan tersebut ada yang keberatan dengan perlakuan kasar dalam hubungan seksual, berarti ada soal consent yang tidak terpenuhi di situ maka sudah termasuk ke dalam perbuatan kekerasan seksual.

Lalu, ada lagi nih Sobat, peserta yang memberikan tanggapan yang bersifat informatif. Sayang, dia malu-malu menyebutkan namanya, jadi tidak ketahuan deh siapa peserta tersebut. Beliau bilang begini:

“Mau sharing sedikit bahwa Direktorat Pendidikan Tinggi Islam di bawah naungan Kemenag bekerja sama dengan Komnas Perempuan sudah menerbitkan panduan penanganan dan pencegahan kekerasan  seksual di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam. Dan saat ini, beberapa kampus di bawah naungan kemenag sedang menyusun SOP untuk pencegahan dan penanganan kekeran seksual. Jadi akan sangat baik sekali kalau Puan Mahakam dan Pasak Kahanjak bisa bekerjasama dengan Perguruan Tinggi juga.”

Wah, jadi tahu dong kalau untuk kampus keislaman sudah ada panduan untuk menangani dan mencegah kekerasan seksual di lingkungan kampus. Jadi penasaran, gimana dengan kampus umum ya? Apakah dari Kemenristekdikti juga sudah menyediakan panduan khusus?

Nah tentang panduan untuk kampus keislaman tersebut, gimana kalo nanti JalaStoria kupas isinya? Supaya Sobat yang berada di lingkungan kampus keislaman juga bisa gunakan nih panduan itu untuk cegah dan tangani kekerasan seksual. Siap kan untuk menjadi bagian dari 7 elemen yang bergerak dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual?

Ssst…kalo mau tahu siapa aja yang dimaksud dengan 7 elemen itu, bisa diklik di sini ya.

O iya, selain itu ada juga rekan kita, Rizqika Arrum Bakti, yang sharing mengenai kekerasan seksual yang dialami mahasiswi di Jawa Tengah. Pelaku adalah pacarnya yang juga merupakan mahasiswa di kampus yang sama. Korban merupakan penyandang disabilitas tuli, sehingga ia membutuhkan bantuan untuk mengakses layanan pelaporan yang akomodatif atas kondisinya. Namun, ketidaktersediaan layanan yang memadai membuatnya mengurungkan niat untuk melapor.

JalaStoria mau merespons sharing tersebut ya, Sobat. Sebaiknya korban mengakses pendampingan yang disediakan oleh lembaga penyedia layanan. JalaStoria punya daftarnya, klik di sini ya.

Kalau lembaga penyedia layanan di kota yang dituju nggak punya personil penerjemah bagi disabilitas, JalaStoria mau saranin agar korban diberikan bantuan dengan dihubungkan ke lembaga di kota lain, misalnya Jakarta, yang sediakan personil penerjemah atau dapat memberikan informasi penerjemah yang tersedia di kota yang dituju. Kalau penerjemah masih sulit diakses, mungkin bisa juga meminta bantuan Komnas Perempuan agar persoalan ketiadaan penerjemah itu dapat disuarakan ke para pengambil keputusan.

Jadi Sobat, pemulihan korban dan ketersediaan layanan yang memadai sangat diperlukan ya agar kasus kekerasan seksual tidak terhenti tanpa penanganan. Oleh karena itu, usulan hukuman yang berat seperti disarankan oleh Aryatmono, itu satu hal yang cukup panjang untuk dicapai setelah adanya pelaporan korban. Dengan demikian, dukungan terhadap korban dan termasuk ketersediaan fasilitas yang memadai bagi korban untuk melapor menjadi hal yang tidak lagi dapat ditawar.[]

 

Vera Fauziah

Editor: Ema Mukarramah

 

Digiqole ad