Bukan Hanya Pemerkosaan
JAKARTA, JALASTORIA.ID – Seorang anggota kepolisian berpangkat Briptu, bernama Nikmal Idwar, memperkosa anak perempuan usia 16 tahun. Nikmal melakukan pemerkosaan tersebut di sebuah ruangan di Kepolisian Sektor (Polsek) Jailolo Selatan, Maluku Utara. Ia dibantu oleh rekannya, yang bertugas piket pada malam itu. Kejadian 14 Juni 2021 lalu ini pun telah memantik respons dari berbagai pihak.
Penyiksaan Seksual
Antara lain, respons dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Lembaga yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 yang diperbaharui dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 ini menyatakan, Â kasus perkosaan ini bukan kasus kekerasan seksual biasa, melainkan tindak penyiksaan seksual.
“Hal ini berdasar pada Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (CAT) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1998,” ungkap Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, dalam rilis yang diterima JalaStoria tertanggal 25 Juni 2021.
Merujuk pada konvensi tersebut, kasus yang terjadi di Polsek Jailolo Selatan ini dikategorikan sebagai kasus penyiksaan karena dilakukan oleh aparat dan terjadi di tengah proses penahanan korban yang awalnya dimaksudkan untuk mengambil keterangan. Komnas Perempuan juga mencatat bahwa ada tindakan yang disengaja oleh rekan pelaku perkosaan untuk memisahkan korban dari temannya yang sebelumnya ditahan bersama.
Komnas Perempuan mengungkapkan, penyiksaan seksual dalam berbagai jenis kekerasan seksual  telah banyak dilaporkan oleh Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH) kepada Komnas Perempuan dan lembaga penyedia layanan. “Sebagai contohnya, pernah seorang perempuan ditahan karena disangka membawa heroin 1 kg di Bandara Soekarno Hatta. Ia mengadukan bahwa sewaktu pemeriksaan, ia mengalami pelecehan seksual dan ancaman perkosaan oleh anggota kepolisian agar mengakui heroin tersebut adalah miliknya,” ungkap Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan.
Bentuk Kekerasan Lainnya
Respons lainnya datang dari Women’s March Ternate, yaitu jaringan perempuan di masyarakat Ternate yang dibangun berdasarkan solidaritas terhadap perempuan sejak tahun 2017. Dalam rilis tertanggal 24 Juni 2021, Women’s March Ternate menyatakan, tindak pemerkosaan yang dilakukan oleh pelaku sangat terencana dan sistematis. Pelaku,  bekerjasama dengan rekannya yang bertugas piket malam itu untuk memanipulasi korban. Korban dan temannya diposisikan sebagai kriminal yang melakukan pelarian. “Nikmal memanfaatkan kondisi penyintas yang ketakutan, lapar, lelah, dan mengantuk untuk memperkosanya. Nikmal juga melakukan kekerasan fisik dengan membanting lalu menindih penyintas hingga memar di beberapa bagian tubuh korban,” tegas Women’s March Ternate.
Dalam kasus ini, Women’s March Ternate menyatakan ada bentuk kekerasan lain yang menyertai. Antara lain penculikan, penyekapan, dan pemerkosaan yang dilakukan dengan menggunakan atribut institusi. Mulai dari seragam, hingga tempat kejadian. Atau meminjam istilah dari Komnas Perempuan, inilah yang disebut sebagai penyiksaan seksual.
Adapun teman pelaku yang membantu membawa korban ke Polsek pun hanya ditetapkan sebagai saksi. Women’s March Ternate menyayangkan hal ini karena baik pelaku maupun rekannya, telah memaksa korban dan temannya untuk keluar dari penginapan, serta ikut ke Polsek dengan menakut-nakuti mereka sebagai pelaku kriminal.
Sedangkan menurut Komnas Perempuan, Â korban dan temannya juga mengalami pelecehan seksual verbal saat dalam proses interogasi untuk dimintai keterangan. Pelecehan seksual ini termasuk dengan pertanyaan yang menghakimi cara berpakaian ataupun kondisi lain yang direkatkan dengan moralitas dan seksualitas korban.
Seruan Adili Pelaku Hingga Perubahan KUHAP
Oleh karena itu, selain mengecam tindak pemerkosaan yang dilakukan oleh pelaku, Women’s March Ternate juga menyerukan agar pelaku diadili seberat-beratnya.  Tidak hanya itu, Women’s Mach Ternate juga meminta agar rekan pelaku yang terlibat dalam proses mengamankan korban ke Polsek dan anggota Provos yang meminta uang tutup mulut kepada korban agar diadili.
Women’s March Ternate juga menyerukan kepada banyak pihak untuk menghentikan penggunaan inisial Bunga, Mawar, Melati, dan sesuatu yang pasif lainnya untuk mempersonifikasi korban kekerasan seksual oleh media.
Secara khusus, mengingat peristiwa yang terjadi merupakan kekerasan seksual, Women’s March Ternate juga mengingatkan agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera dibahas dan disahkan.
Seruan senada juga disampaikan oleh Komnas Perempuan. Dalam hal ini, Komnas Perempuan  menyerukan kepada DPR RI dan Pemerintah agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera dibahas dan disahkan yang di dalamnya mencakup pengaturan tegas mengenai penyiksaan seksual.
Sementara itu, untuk mengantisipasi peristiwa serupa, Komnas Perempuan merekomendasikan agar revisi KUHP memuat pengaturan tegas tentang tindak pidana penyiksaan.
Baca Juga: Mengkritisi RUU KUHP
Selain itu, Komnas Perempuan juga merekomendasikan kepada DPR dan Pemerintah untuk melakukan pembaharuan KUHAP yang mengatur pemeriksaan terhadap pelaku penyiksaan agar terhindar dari konflik kepentingan dan menjadikan alat bukti yang didapat dengan cara menyiksa adalah batal demi hukum. Secara khusus, Komnas Perempuan merekomendasikan institusi kepolisian untuk  menyusun dan menetapkan pedoman penyelidikan Perempuan Berhadapan dengan Hukum dengan memastikan upaya mencegah penyiksaan dan diskriminasi berbasis gender terhadap perempuan.
Adapun untuk mendukung upaya pemulihan korban, Komnas Perempuan menyerukan agar masyarakat sipil dan media massa mendukung upaya korban dan pendamping dalam proses hukum dan pemulihan serta mendorong upaya sistemik mencegah terjadinya penyiksaan, tak terkecuali penyiksaan seksual.  [ANHS]
Â