Oleh: Rofiatul Magfiroh

Baru-baru ini jagat maya dihebohkan dengan berita viral yang terjadi di kota Batam Kepulauan Riau. Dilansir dari Batamnews (30/6/2025), seorang perempuan muda asal Sumba Barat, NTT, yang diketahui bernama Intan, merupakan Pekerja Rumah Tangga (PRT) menjadi korban penganiayaan yang dilakukan oleh pemberi kerja dan teman korban, sesama PRT yang tinggal di rumah tersebut.

Korban telah bekerja hampir satu tahun, dan selama itu pula dirinya sering dipukul, ditendang, dan dihukum karena hal-hal sepele. Pelaku menggunakan alat seperti sapu, obeng dan lain sebagainya. Salah satunya hanya karena ia lupa mengunci kandang anjing milik pemberi kerja tersebut, tapi bukannya diselesaikan secara baik-baik, Intan justru kembali disiksa. Bahkan yang lebih menyakitkan, korban juga pernah dipaksa untuk memakan kotoran hewan tersebut dan minum air got.

Tidak hanya itu, pihak pemberi kerja sengaja membuat semacam buku dosa berisi catatan setiap kesalahan yang dilakukan korban. Salah potong daging pun dicatat dan dijadikan alasan untuk kembali menyiksanya. Hak-hak korban sama sekali tidak diberikan. Seperti gaji yang sebelumnya dijanjikannya tidak dibayarkan, korban juga tidak diizinkan menghubungi keluarganya dan terus dipantau layaknya seorang tahanan.

Padahal, tujuan Intan merantau semata-mata hanya ingin membantu memperbaiki perekonomian keluarganya, namun faktanya bukan kenyamanan dan penghargaan yang ia dapatkan di tempat kerjanya, melainkan siksaan yang tak berperikemanusiaan.

Kasus semacam ini memang bukan pertama kalinya terjadi. Kita sering mendengar berita tentang PRT yang disekap, dilecehkan, bahkan sampai meninggal dunia karena dianiaya. Inilah bentuk kekerasan yang nyata. Sosok seperti Intan bisa dikatakan sangat rentan, tiga hal yang membuat dirinya mudah menjadi sasaran kekerasan dan sulit mendapatkan perlindungan yaitu karena ia perempuan, memiliki keterbatasan ekonomi dan statusnya sebagai pekerja di sektor informal (PRT).

Alarm Pengesahan RUU PPRT

Kasus ini adalah satu dari banyaknya kasus kekerasan yang dialami oleh PRT. Menandakan bahwa kurangnya perlindungan hukum bagi mereka. Perlindungan tersebut meliputi kontrak/hubungan kerja yang jelas, hak dan kewajiban antara PRT dan pemberi kerja serta pengawasan untuk mencegah terjadinya kekerasan. Di mana semua ini termuat dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).

Dalam RUU PPRT, PRT didefinsikan sebagai individu yang bekerja pada pemberi kerja untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dalam hubungan kerja yang sah, dan mendapatkan gaji atas pekerjaanya. Adapun hak pekerjanya diantaranya, yaitu hak atas perlakukan manusiawi, waktu istrihat dan tempat tinggal yang layak (apabila tinggal bersama), serta upah yang sesuai, sebagaimana yang tercantum dalam Bab V Pasal 11 sampai 15. Selain itu jaminan sosial dan perlindungan dari segala kemungkinan tindakan tidak adil atau kekerasan ditempat kerja menjadi salah satu bagian yang turut diperhatikan dalam draft ini.

Perlindungan dalam draft RUU yang masih tertunda pengesahannya ini sebenarnya tidak hanya membahas aspek hubungan kerja, tetapi juga menjangkau berbagai bentuk kekerasan yang kerap dialami oleh para PRT. Baik bentuk kekerasan secara fisik, psikis, seksual maupun ekonomi. Hal ini dimuat dalam Bab X Pasal 28 dan 29, sedangkan sanksi pidananya dijelaskan lebih lanjut pada Bab XI Pasal 30 sampai 32.

Artinya dalam konteks ini, RUU PPRT berperan penting untuk melengkapi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Keduanya dapat saling mendukung dan memperkuat perlindungan hukum bagi kelompok rentan seperti PRT. Namun sampai hari ini mereka bekerja tanpa kontrak kerja yang jelas, tanpa perlindungan hukum yang pasti, dan terkadang tanpa gaji/upah. Maka dari itu, dari kasus Intan ini, kita kembali diingatkan betapa pentingnya mempercepat pengesahan RUU PPRT.

Kenapa regulasi ini benar-benar dibutuhkan? Karena kekerasan yang menimpa pekerja rumah tangga (PRT) bukanlah kejadian langka atau cuma sesekali, tapi justru terus terjadi  dalam jumlah besar dan berulang-ulang. Menurut data Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) sepanjang 2015 hingga 2022 berhasil mencatat sebanyak 2.637 kasus, Meskipun sebagian periode telah tercakup dalam laporan sebelumnya, data terbaru ini berhasil merangkum jumlah yang lebih tinggi yakni di tahun 2021 hingga Februari 2024 telah mencapai 3.308 kasus, Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap PRT adalah persoalan yang tak kunjung reda.

Jangan Sampai Ada Lagi “Intan” Lain

Penganiayaan terhadap pekerja rumah tangga seperti Intan tidak boleh dianggap angin lalu. Sebagai masyarakat, kita bisa ambil peran melalui cara-cara sederhana, yakni dengan memandang setiap jenis pekerjaan secara setara dan bermartabat, tanpa terkecuali, termasuk PRT. Sudah sepantasnya memperlakukan mereka dengan baik, dan tidak membiarkan kekerasan terjadi disekitar kita.

Kekerasan merupakan perbuatan berbahaya, apapun yang menjadi alasannya tidak dapat dibenarkan. Kekerasan tetaplah kekerasan. Karena tidak hanya melukai fisik, melainkan juga mengakibatkan mental atau psikis seseorang hancur.

Trauma yang dirasakan korban kekerasan tidak bisa sembuh dalam kurun waktu singkat, bahkan bisa dirasakan seumur hidup. Oleh sebab itu, semoga tidak ada lagi “Intan-Intan” lain yang harus menanggung derita karena perbuatan manusia yang kehilangan nuraninya.

Berhentilah berbicara seolah kekerasan itu hanya hal biasa, karena ini bukan persoalan kecil, tapi tentang kemanusiaan. Penganiayaan, penindasan, dan perbuatan semena-mena terhadap PRT seperti Intan bukan bagian dari resiko pekerjaan. Sebab, tidak ada satu pun pekerjaan yang pantas dibayar dengan luka. Sahkan RUU PPRT!

 

Share.

Comments are closed.