Oleh: Zealsya

Langit mendung menyelimuti Ruang Terbuka Hijau Simpang Lima, Kota Gorontalo pada Kamis, 2 Mei 2024. Puluhan perempuan dan laki-laki dari komunitas organisasi perempuan dan anak mengadakan aksi damai bertajuk “Aksi Damai Hapus Kekerasan Seksual”, menggunakan payung hitam sebagai simbol. Aksi ini dipicu oleh serangkaian laporan kekerasan seksual yang terjadi di beberapa institusi pendidikan di Gorontalo yang dianggap tidak mendapat respon dan perlindungan memadai dari aparat dan kampus setempat.  Melalui gerakan visual sederhana namun kuat ini, mereka menuntut implementasi tegas UndangUndang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan meminta kampus serta aparat berani bertindak melindungi korban.

Aksi seribu payung hitam digagas oleh sebuah komunitas perempuan di kampus yang sejak lama bergerak memperjuangkan ruang aman bagi korban kekerasan seksual. Mereka menolak untuk terus bungkam dalam sistem yang terlalu sering menyapu kasus kekerasan seksual di bawah karpet. Aksi visual ini menjadi cara mereka bersuara, tanpa berkata apa pun.

Bukan Sekadar Aksi, ini adalah Perlawanan

“Kenapa payung hitam?” tanya seorang mahasiswa baru yang datang menyaksikan. Seorang peserta, perempuan berkacamata dengan raut wajah tegas tapi mata yang sembab, menjawab singkat, “Karena kami ingin tetap berdiri meski dunia terus mengguyur kami dengan ketidakadilan.”

Payung hitam menjadi simbol pelindung diri, tempat berteduh, sekaligus pengingat bahwa meski banyak dari mereka yang berjalan sendiri, mereka tidak benar-benar sendirian.

Setiap peserta datang dengan cerita. Ada yang diam-diam pernah menjadi korban dosen senior yang dikenal baik. Ada pula yang temannya dipaksa diam oleh pihak kampus dengan dalih menjaga nama baik institusi. Semuanya membawa luka. Tapi di lapangan itu, luka-luka tersebut dipeluk oleh keberanian kolektif.

Aksi ini bukan sekadar teatrikal. Ada strategi di balik keheningannya. Salah satu koordinator aksi, Lintang (bukan nama sebenarnya), mengungkap bahwa keheningan adalah bentuk pembalikan dari narasi umum. “Kami dianggap berlebihan saat bicara. Dibilang halu, lebay, cari perhatian. Maka kami diam. Dan biarkan visual ini yang bicara.”

Setiap payung yang dibuka mengandung pesan. Di bagian dalamnya tersemat tulisan tangan dari peserta, seperti potongan cerita, nama pelaku, dan kata tolong. Beberapa payung bahkan dihiasi dengan pita putih, simbol solidaritas global terhadap kekerasan berbasis gender.

Menariknya setelah aksi selesai, seluruh payung itu dikumpulkan dan akan dijadikan pameran keliling ke berbagai fakultas dan universitas. “Kami ingin menyimpan ingatan kolektif ini. Jangan sampai kampus lupa bahwa ia pernah melukai warganya sendiri,” ujar Rani (bukan nama sebenarnya) mahasiswa desain komunikasi visual yang ikut dalam tim dokumentasi.

Pameran itu juga akan disertai dengan QR code yang bisa dipindai pengunjung untuk membaca kisah-kisah anonim dari para peserta. Ada pula sesi konseling terbuka yang difasilitasi oleh psikolog relawan. Kampus sempat menolak proposal kegiatan ini, tapi desakan publik membuat mereka tak punya pilihan selain mengizinkan.

Payung-Payung yang Tak Bisa Lagi Ditutup

Aksi ini bukan yang pertama, dan semoga bukan yang terakhir. Di berbagai kota, gerakan serupa mulai bermunculan. Mulai dari “Panggung Bebas Korban” hingga “Tembok Suara”, generasi muda mulai menemukan cara-cara baru untuk menembus kebekuan sistem.

Yang membedakan  aksi seribu payung hitam adalah kesederhanaannya. Tak ada panggung. Tak ada pemimpin tunggal, tapi dampaknya terasa. Dalam waktu singkat, tagar #PayungHitamUntukKorban menjadi trending di media sosial. Beberapa alumni kampus mengungkapkan dukungan, bahkan ada yang akhirnya bersuara setelah puluhan tahun diam.

Mungkin, inilah yang paling ditakuti sistem; diam yang kolektif, diam yang menyatukan dan diam yang menuntut. Aksi ini mengajarkan bahwa perjuangan melawan kekerasan seksual bukan hanya tugas korban. Ini tentang bagaimana kita semua memilih untuk tidak nyaman bersama ketidakadilan, daripada merasa aman dalam pembiaran. Tentang bagaimana laki-laki, perempuan, dan semua spektrum gender mengambil bagian dalam menciptakan ruang yang benar-benar aman dan adil.

Seribu payung itu akhirnya bukan hanya simbol. Mereka adalah seribu suara, seribu perlawanan dan seribu harapan. Mengisyaratkan bahwa kampus dan dunia seharusnya bisa jadi tempat yang lebih layak dan aman untuk semua. Ketika satu payung terbuka, ia bisa melindungi satu orang. Tapi ketika seribu payung terbuka bersama, tak ada hujan pun yang bisa membungkamnya.

 

Share.

Comments are closed.