5 Langkah Partisipatif Mencegah Kekerasan Seksual
Oleh: Uung Hasanah
Kekerasan seksual adalah jenis kekerasan yang paling banyak terjadi, di antara jenis kekerasan lain seperti perdagangan orang. Sepanjang tahun 2022 berdasarkan data SIMFONI, kasus kekerasan seksual mencapai angka 11.682 kasus. Tentu angka tersebut belum mencakup kasus kekerasan seksual yang terjadi di lapangan namun tidak dilaporkan.
Kasus kekerasan seksual adalah masalah bersama. Mulai dari pencegahan, penanganan, pemantauan hingga pemulihan korban merupakan tanggung jawab semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) mengatur partisipasi masyarakat dalam pencegahan, pemulihan, dan pemantauan TPKS. Hal ini termuat dalam UU TPKS Bab VIII Tentang Partisipasi Masyarakat dan Keluarga Pasal 85-86.
Mandat UU TPKS tersebut dapat ditindaklanjuti masyarakat dengan berbagai cara, di antaranya:
- Membumikan Literasi Gender
Ketika seseorang menjadi korban kekerasan seksual, dia berpotensi mendapatkan penderitaan yang berlapis. Menjadi korban atas kekerasan seksual yang dialami, sekaligus mendapat stigma dari masyarakat. Misalnya, korban pelecehan disalahkan karena dia masih pergi bekerja, sebaliknya dianggap lebih baik di dalam rumah. Demikian pula korban perkosaan disalahkan karena memakai pakaian minim atau terbuka. Perspektif menyalahkan korban terjadi, karena minimnya literasi gender.
Literasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah kemampuan dan keterampilan individu dalam berbahasa yang meliputi membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan gender berasal dari bahasa Latin, yaitu “genus”, berarti tipe atau jenis. Gender diartikan sebagai sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya.
Baca Juga: Memahami Kembali Korban Kekerasan Seksual, Meneguhkan Etika Kemanusiaan
Dari definisi di atas, lterasi gender dapat diartikan sebagai segala informasi, berupa tulisan, suara, video, atau aktivitas lain berkenaan dengan peran perempuan dan laki-laki dalam sosial, ekonomi dan lainnya. Literasi gender juga berkenaan dengan pengetahuan kemanusiaan, bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dan setara, serta dapat memilih relasi sehat antara keduanya.
Membaca materi tentang beragam bentuk dan kasus kekerasan seksual dapat memudahkan untuk cepat mengenali bahkan mencegah terjadinya tindakan kekerasan seksual. Seperti pelecehan seksual fisik dan non fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, dan pemaksaan perkawinan. Selain itu, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik.
Dengan memperbanyak literasi gender, akan mengikis perspektif menyalahkan korban. Melalui pengetahuan yang diperoleh, dapat mengidentifikasi dengan baik apa saja faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual, apa saja yang dibutuhkan korban, dan hal lain yang berpihak kepada korban.
Adapun cara yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan minat baca berkenaan literasi gender bisa dilakukan dengan menyediakan buku bacaan menarik di perpustakan sekolah atau taman baca masyarakat. Cara menarik lainnya dengan menambahkan permainan seputar materi gender saat membuka lapak baca, misalnya membuka lapak baca di Car Free Day (CFD) pada setiap minggu pagi.
- Aktif Melakukan Literasi Gender di Media Sosial
Bekal literasi gender, dapat diimplementasikan dalam tindakan sehari-hari. Dampak paling sederhana adalah tidak mudah terpancing untuk menyalahkan korban, melainkan justru menjadi sumber informasi tepat bahwa korban tetaplah korban. Kekerasan seksual yang dilakukan pelaku, dengan alasan apapun bukanlah salah korban.
Baca Juga: Kenali Jenis Kelamin, Identitas Gender, Ekspresi Gender, dan Ketertarikan Seksualmu!
Cara kedua yakni dengan ikut menyebarluaskan informasi tentang kekerasan seksual melalui platform media sosial, seperti Youtube, Facebook, WhatsApp, Twitter dan Tiktok. Mulai dari jumlah kasus, faktor penyebab, cara mencegah, hingga mengajak untuk sama-sama berdiri di sisi korban.
- Melakukan Penolakan Narasi Kekerasan
Cara ketiga ini merupakan perpanjangan tangan dari cara sebelumnya, berkenaan melakukan literasi gender di media sosial. Letak perbedaannya adalah penunjukan sikap untuk konten yang berbau kekerasan. Tidak dapat dipungkiri narasi kekerasan sampai saat ini masih berseliweran di media sosial. Narasi kekerasan akan berdampak buruk, selain dapat merusak hubungan, dapat pula menyuburkan kasus kekerasan seksual.
Ketika mendapati konten yang berisi kekerasan, dapat segera melaporkan konten tersebut agar ditakedown sebelum tersebar meluas. Tidak hanya di media sosial, seseorang atau sekelompok orang yang menyebarkan narasi kekerasan, sebaiknya dihindari. Jika bisa melaporkan kepada pihak berwajib apabila yang bersangkutan melakukan tindakan yang dapat merugikan banyak orang.
- Berpartisipasi dalam Kelompok Penggerak
Cara selanjutnya adalah mengambil bagian untuk berpartisipasi dengan kelompok penggerak. Banyak komunitas atau organisasi yang bergerak dalam pencegahan atau penanganan kekerasan seksual membutuhkan dukungan waktu dan tenaga. Selain itu, cara ini bisa menambah semangat, konsistensi, serta relasi yang luas. Kelebihan lainnya adalah dapat melebarkan sayap untuk melakukan pencegahan keberulangan kekerasan seksual.
- Membangun Ruang Aman
Bagi seseorang yang memiliki profesionalitas dalam pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban, cara kelima ini dapat segera dieksekusi. Ruang aman bagi korban kekerasan seksual masih terbilang minim. Korban perlu dilindungi, guna mengapresiasi keberanian korban untuk melaporkan kasus yang dialami. Ruang aman akan membantu korban untuk memupuk kekuatan melawan semua pihak yang mendiskriminasi korban.[]
Penulis buku Menggugat Feminisme ini bisa disapa melalui laman instagramnya @uunghasanah