27 Steps of May

 27 Steps of May

(Sumber: ceritatentang.com)

Film yang minim dialog, tetapi kaya makna, merupakan impresi yang tepat untuk menggambarkan film 27 Steps of May. Film yang tayang pada April 2019 di bioskop Indonesia, menceritakan tentang trauma korban perkosaan yang berujung depresi berkepanjangan. Sutradaranya berhasil menyuguhkan suatu pesan yang sulit digambarkan, tetapi dapat ditangkap oleh penonton.

Film ini disutradarai oleh Ravi L. Bharwani dan naskahnya ditulis oleh Rayya Makarim, sementara pemeran utamanya ialah May yang diperankan oleh Raihaanun Soeriaatmadja. Ayah May diperankan oleh Lukman Sardi, dan Ario Bayu yang berperan sebagai pesulap. Terselip pula Joko Anwar sebagai cameo di film ini.

Cerita diawali dengan adegan May yang saat itu memakai seragam SMP berjalan pulang dari pasar malam, ia sangat gembira setelah menaiki beberapa wahana. Ketika melewati gang sepi, sekelompok preman tiba-tiba menyergapnya masuk ke dalam rumah. Sambil berontak ia pun berusaha melepaskan dirinya. Namun apa daya, ia diikat di meja dan disiksa, yang kemudian diperkosa oleh para preman.

Adegan berlanjut, May berjalan sempoyongan dengan tatapan mata kosong, ia pun pulang ke rumah. Seragamnya sudah lusuh, serta ekspresi trauma yang mendalam sangat mencerminkan betapa dahsyatnya apa yang telah ia alami. Sang Ayah yang sedang mengecat rumah di malam hari, melihat anaknya pulang dengan penampilan seperti itu pun kaget dibuatnya. Ia menanyakan apa yang telah terjadi, tapi May langsung masuk ke dalam rumah tanpa menggubris Ayahnya.

Ayah May berteriak, merasa gagal melindungi anak putri satu-satunya ini dan terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri. Tak dapat berbuat banyak, sang Ayah yang orang tua tunggal hanya dapat meluapkan emosinya di ring tinju. May pun menjalani hidup dengan berbagai beban mental. Bayang-bayang masa lalu menjadi teman sepanjang kehidupan May dan ayahnya.

Sejak malam itu, May tidak pernah mengucap sepatah kata. Ia bahkan tak mau keluar dari kamar dan menjaga rutinitas yang ketat untuk membuat mentalnya stabil. Jika Ayahnya melakukan hal di luar rutinitas, May akan histeris, lalu buru-buru mengunci diri di toilet dan mengiris-iris pergelangan tangan dengan silet.

Rutinitas May dengan Ayahnya di rumah ialah membuat boneka. Meski bekerja bersama, ruangan mereka terpisah. May tetap di kamar, dan Ayahnya di depan kamar May. Sering kali May flashback dan terbayang kejadian perkosaan yang telah ia alami. Jika hal itu terjadi, ia otomatis ke kamar mandi dan mengiris kembali pergelangan tangannya dengan silet. Ayahnya tidak dapat berbuat apa-apa selain semakin menyesal dan frustasi dengan apa yang terjadi dengan anaknya. Rasa frustasi kemudian ia alihkan ke atas ring tinju amatir dan ajang pertarungan bebas di bawah tanah. Sang Ayah semakin tenggelam dengan rasa bersalahnya, sementara May semakin larut dengan kesedihannya.

Film ini mengangkat sebuah isu yang sangat penting, yaitu dampak kekerasan seksual. Bagaimana perkosaan dapat merubah suatu kehidupan, bukan hanya korban, tapi juga orang-orang terdekatnya. Film ini bukan sekadar konflik antara antagonis dan protagonis saja, tapi berbagai problematika hadir dan terpampang nyata. Penonton seolah-olah ditarik masuk ke dalam alur cerita, dan turut merasakan kekecewaan, kesedihan, kemarahan, semua bercampur aduk di dada.

Kembali ke filmnya, tiba-tiba tembok kamar May bolong! Ia bertemu dengan pesulap (yang entah dari mana) dan kemudian pertemuan itu menjadi titik awal May menjalani hidup baru di luar rutinitas monotonnya. May melihat pertunjukan sulap melalui lubang kecil dan kagum dengan si pesulap. Mental May pun perlahan pulih, tetapi trauma masih tetap menghantuinya.

Melalui lubang itu pula, yang membawa May kembali ke dunia luar. Ruang di sebelah itu, menampikan kegiatan-kegiatan menarik. Pesulap itu (Ario Bayu) asyik berlatih. Atraksi-atraksi yang sang pesulap buat sengaja menarik perhatian May, hingga Ia berani mencoba hal-hal baru dan keluar dari kamarnya.

Hal tersebut merupakan representasi pengobatan penyakit mental yang membutuhkan terapi terus menerus. Tentunya membutuhkan biaya tidak sedikit, dan sang Ayah yang hanya bekerja sebagai petinju amatir serta penjual boneka, tidak mampu menyediakan pengobatan yang May butuhkan. Trauma healing menjadi aspek yang sangat krusial bagi para korban kekerasan seksual.

Tidak mudah bagi pesulap membangun kepercayaan May. Menariknya, pesulap memperlakukan May sebagaimana ia juga wanita biasa. Sosok yang layak diterima, didengarkan, dan dikenal. Sama seperti ketika ia mengenalkan dirinya kepada May: seorang manusia biasa yang tidak akan dengan sengaja menyakitinya. Sampai akhirnya May berani menceritakan pengalaman pahitnya.

Karakter Ayah May menunjukkan bahwa sosok Ayah yang tidak selalu sempurna. Meski adegan di dalamnya minim dialog, tetapi karena kelihaian sutradara, aktor, dan aktris di dalamnya, pesan dari film ini dapat sampai ke penonton.

Film ini juga menyampaikan bahwa penyintas pelecehan seksual tidak mudah untuk bercerita pengalamannya, tapi kita perlu hadir dan ada untuk mensupport penyintas tanpa memaksa mereka untuk bercerita.

27 Steps of May besutan Ravi Bhawarni ini juga ditayangkan di Busan International Film Festival, Capet Town International Film Market & Festival, Bengaluru International Film Festival dan Goteborg Film Festival. Serta meraih penghargaan Golden Hanoman Award untuk kategori film panjang Asia terbaik di NETPAC Asian Film Festival.

Semoga semakin banyak film-film seperti ini, yang mencerahkan dan memberikan pengalaman baru kepada penonton Indonesia  untuk ikut mendampingi dan mensupport korban kekerasan seksual.

Digiqole ad