Waspada Kekerasan Berbasis Gender Online (1)
Pernah dengar istilah kekerasan berbasis gender online?
Misalnya gini: kamu diminta mengirim foto telanjang. Atau kamu dan orang dekatmu video call tanpa busana atau berpose erotis, dan dia me-screenshot adegan itu. Atau pasanganmu memaksa untuk direkam saat melakukan hubungan intim.
Lalu tiba-tiba, di dunia maya muncul foto telanjangmu. Atau, adeganmu saat bervideo call atau adegan privatmu dengan seseorang beredar. Atau ada yang pasang foto-fotomu di situs tertentu dan pasang nomor kontakmu sehingga banyak orang yang kemudian memintamu berhubungan seksual.
Itulah beberapa perbuatan yang dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender online, ya gaes! Atau lebih tepatnya, kekerasan seksual online. Pelaku memanfaatkan video, foto, atau media apapun yang mengeksploitasi seksualitasmu dengan menyebarkannya melalui perangkat teknologi termasuk yang berbasis internet.
Dengan atau Tanpa Ancaman
Saat pengambilan foto atau video, pelaku mungkin sudah melakukan ancaman kepadamu. Misalnya, diancam akan diputus oleh pacar kalau tidak kirim foto dengan pose tertentu. Atau, video hubungan seksual akan disebarkan kalau tidak menuruti kemauannya.
Namun, dapat saja terjadi bahwa ketika pertama kali perekaman dilakukan, tidak ada ancaman sama sekali. Namun akhirnya foto atau video tersebut justru dijadikan alat untuk menekanmu agar melakukan perekaman yang kedua, ketiga, dan seterusnya.
Kekerasan seksual online dapat juga terjadi tanpa disertai ancaman kepada korban, bahkan konten dalam video atau foto itupun dilakukan berdasarkan kesepakatan. Misalnya, kasus kekerasan berbasis gender online yang dilakukan oleh mantan suami. Saat keduanya masih terikat dalam perkawinan, suami dan istri yang sedang tinggal saling berjauhan melakukan adegan untuk dikonsumsi pasangan suami istri melalui video call. Namun, tanpa diketahui oleh pihak istri, suami itu telah me-screenshot tanpa sepengetahuan istri. Suatu ketika, keduanya bercerai. Tiba-tiba, mantan istri mendapati fotonya itu telah tersebar ke mana-mana.
Perlu dipahami bahwa sekalipun suatu konten itu dibuat atas consent dari korban, hal itu bukan berarti bahwa korban juga memberikan consent untuk disebarkannya konten tersebut.
Kasus tersebut di atas kadang-kadang disebut sebagai revenge porn. Walaupun, ada juga yang mengatakan bahwa istilah revenge porn itu sebenarnya nggak tepat.
Istilah revenge porn itu sering diartikan sebagai pembalasan dengan mengirim konten pornografi yang mungkin pernah dilakukan. Nah, istilah pembalasan itu justru dapat diartikan seolah-olah korbanlah yang sebelumnya bersalah sehingga pelaku melakukan pembalasan. Walaupun demikian, apapun bentuk perbuatan yang dilakukan dalam kekerasan berbasis gender online, pihak yang dirugikan selalu saja perempuan korban. (Bagian pertama dari dua tulisan)
Kontributor: Jodi Ibrahim
Editor: Ema Mukarramah