Sikap JalaStoria, Merespon Pernyataan Ahmad Dhani : Berhenti Memposisikan Perempuan Sebagai Objek

Negara berkomitmen untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Wujud komitmen ini jelas tercantum dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada Selasa, 12 April 2022. Juga CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan 1984 dan Gender Menstreaming tahun 2000.
Pengesahan berbagai instrumen hukum tersebut diiringi harapan dapat terimplementasi dengan baik untuk memberikan perlindungan kepada korban dan menindak tegas pelaku tindak pidana. Namun, bukan berarti upaya untuk menghapuskan diskriminasi berbasis gender menjadi selesai. Sebaliknya upaya lanjutan masih perlu dilakukan agar segenap proses penegakan hukum sampai dengan pelindungan dan pemulihan sepenuhnya terbangun untuk memberikan keadilan bagi korban.
Salah satu hal yang dapat mendukung implementasi tersebut adalah adanya perspektif gender bagi pemangku kebijakan atau pejabat publik. Sayangnya, hal ini tidak tergambar dari pernyataan salah satu pejabat publik yang belakangan viral di berbagai media sosial.
Dalam Rapat Kerja Komisi X DPR RI bersama Menteri Pemuda dan Olahraga RI pada Rabu, 5 Maret 2025, Ahmad Dhani sebagai anggota DPR RI terpilih dari fraksi Partai Gerindra memberikan pernyataan yang bias gender. AD menyebutkan bahwa pemain bola yang berasal dari luar negeri bisa dinaturalisasi dengan cara dijodohkan dengan perempuan Indonesia. Harapannya, agar anak yang dihasilkan bisa menjadi pemain bola yang bagus.
“Pemain bola di atas usia 40 tahun bisa dinaturalisasi, lalu kita jodohkan dengan perempuan Indonesia. Nah, anaknya itu yang kita harapkan bisa menjadi pemain bola yang bagus juga”
JalaStoria sangat menyayangkan pernyataan tersebut. Karena dapat dimaknai mengarah pada pemikiran dan tindakan yang diskriminatif dan seksis terhadap perempuan. JalaStoria mengecam tindakan yang jelas inkonstitusional.
Pejabat publik memiliki tanggungjawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa terkecuali. Termasuk dalam konteks penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Kami berharap pejabat publik tidak mengkondisikan dan memposisikan perempuan hanya sebagai objek. Dalam hal ini, rahim perempuan diobjektifikasi sebagai komoditas.
JalaStoria berharap ada upaya literasi khusus, terutama pada pejabat publik tentang kesetaraan dan keadilan bagi kelompok yang rentan karena relasi gender. Agar tidak ada lagi pemikiran dan tindakan bias gender. Karena dapat mengganggu ekosistem pendidikan penghapusan diskriminasi yang sudah sejak lama dikawal oleh para patriot pejuang perempuan.
Perempuan tidak mau lagi diajak mundur dan stagnan dalam penghapusan diskriminasi, karena dapat berakibat pada peminggiran, pengucilan, dan kekerasan terhadap perempuan. Gender menstreaming adalah kebijakan negara yang harus dipatuhi oleh warga negara Indonesia, terutama oleh pejabat publik yang akan menjadi salah satu role model.
Jangan melukai perempuan berkali kali. perempuan Indonesia berhak menagih janji implementasi UU TPKS pada para pejabat publik agar norma-norma, aturan dan etika terjaga.
Direktur JalaStoria
Ninik Rahayu
