Poetri Mardika Iringi Gerakan Boedi Oetomo

 Poetri Mardika Iringi Gerakan Boedi Oetomo

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Setiap 20 Mei Indonesia memperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Peringatan untuk mengenang sejarah berdirinya organisasi Boedi Oetomo yang menjadi tonggak kebangkitan organisasi pemuda. Tapi, benarkah hanya pemuda yang berperan dalam kebangkitan nasional?

Dalam kongres pertama Boedi Oetomo di Yogyakarta tanggal 3 Oktober 1908, belasan perempuan hadir di sana. Meski mereka tak angkat bicara, tapi upaya meningkatkan derajat perempuan menjadi salah satu usulan Boedi Oetomo cabang Batavia.

Tahun 1912 sejumlah perempuan kemudian memprakarsai pembentukan Poetri Mardika, organisasi perempuan di bawah naungan Boedi Oetomo. Organisasi ini terbentuk atas prakarsa Tengkoe Theresia Sabaroeddin, Sadikoen Tondokoesoemo, Soetinah Djoyopranoto, dan Roekmini.  Tahun pertama beridirnya Poetri Mardika, Theresia Sabaroeddin terpilih sebagai ketua. Estafet kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh Soetinah (1915), Asiah Koesrin (1916), dan Siti Katidjah Abdoerachman (1918).

Baca Juga: Peringatan Hari Kebangkitan Nasional

Poetri Mardika memberi ruang dan motivasi bagi perempuan tentang pentingnya peningkatan taraf hidup di segala bidang kehidupan. Organisasi ini juga bertujuan mencapai kemerdekaan seutuhnya bagi perempuan dengan memajukan pendidikan anak-anak perempuan. Cora Vreede-De Stuers dalam The Indonesian Woman: Struggles and Achievements mengungkap, “tujuan utamanya adalah untuk membantu pendanaan studi anak-anak perempuan yang pintar dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk berpartisipasi di ruang publik.”

Upaya memajukan perempuan dilakukan dengan berbagai strategi. Yaitu, antara lain, Poetri Mardika memberikan beasiswa kepada anak perempuan tidak mampu. Visi misi Poetri Mardika tak lepas dari pengaruh R.A. Kartini yang mengusung pendidikan non diskriminatif. Poetri Mardika juga berani berpendapat melalui terbitan berkala “Poetri Mardika” yang mulai terbit tahun 1914. Terbitan berkala ini dikelola Sadikoen, menyuarakan tentang isu khas perempuan seperti pernikahan anak di bawah umur, poligami, pernikahan paksa, dan perdagangan perempuan.

Dalam sidang besar tanggal 6 Juni 1915 di Bogor, Sabaroedin, Presiden perkumpulan Poetri Mardika mengatakan perkumpulan ini juga bergerak di bidang politik, peduli terhadap kemerdekaan perempuan.

Organisasi Poetri Mardika menerima laki-laki sebagai anggota. Kendati jumlah anggota naik turun, tapi di akhir tahun keberadaannya jumlah anggota tercatat sebanyak 123 orang.  Usia Poetri Mardika bertahan hingga tahun 1919. Persoalan keuangan menyebabkan Poetri Mardika tak berumur panjang. Kendati demikian, kehadiran Poetri Mardika memicu terbentuknya organisasi serupa seperti Kartini Fonds (1913), Aisyiyah (1917), Wanita Utomo (1921), dan lain-lain.

Baca Juga: Perempuan di Masa Kolonial Membayangkan Indonesia

Semangat Poetri Mardika dalam memajukan perempuan dan menghapus diskriminasi berlanjut sampai hari ini. Perjuangan menuju kesetaraan, menghapus kekerasan terhadap perempuan, termasuk menolak diskriminasi dalam hal pekerjaan masih menjadi tujuan pergerakan perempuan.

Sekalipun Organisasi Poetri Mardika tidak lagi berlanjut, semangat yang telah disulutnya hendaklah tidak menjadi padam. Di antaranya, dalam hal menghapus kekerasan terhadap perempuan, Sahabat JalaStoria bisa segera mencarikan bantuan bagi korban untuk mendapatkan penanganan dan pemulihan. Agar memperoleh pendampingan, Sahabat JalaStoria bisa menghubungi penyedia layanan. Apabila membutuhkan bantuan, Sahabat JalaStoria dapat mengklik tautan  https://www.jalastoria.id/kirim-konsultasi/ [Nur Azizah]

 

Sumber:

https://historia.id/politik/articles/boedi-oetomo-menggandeng-kaum-perempuan-v29n5/page/1

https://kumparan.com/carissa-budita/putri-mardika-menilik-peran-perempuan-dalam-perjuangan-kemerdekaan-1z9IoQVXrnZ

http://sejarah.upi.edu/artikel/dosen/pers-dan-masalah-emansipasi-wanita-kajian-terhadap-surat-kabar-bulanan-poetri-mardika-di-indonesia-1915-1920/

 

 

Digiqole ad