Penindakan Kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

 Penindakan Kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

Ilustrasi: Canva.com

 

JAKARTA, JALASTORIA.ID- Dalam Webinar Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Melalui Revisi UU ITE (Selasa (20/4)), Uli Pangaribuan, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) mengungkapkan data dan fakta terkait pendampingan kasus KBGO yang dilakukannya bersama dengan anggota LBH Apik. Pada 2020 lalu, LBH APIK telah menangani 307 pelaporan KBGO berupa ancaman distribusi (112 kasus), konten illegal (66 kasus), upaya memperdaya korban (33 kasus), pelecehan online (47 kasus), pencemaran nama baik (15 kasus), pelanggaran privasi (2 kasus), penguntitan online (17 kasus) dan pengelabuan (1 kasus).

Pada proses penanganannya, LBH Apik melakukan upaya-upaya litigasi maupun non litigasi berupa layanan konsultasi (307 kasus), mediasi (115 kasus), somasi (25 kasus), surat dukungan (25 kasus), lapor polisi (5 kasus), psikolog (95 kasus), kejaksaan (2 kasus), proses pengadilan (1 kasus), dan rujukan ke Lembaga Keamanan Cyber (25 kasus).

Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat betapa minimnya jumlah korban yang melakukan pelaporan ke polisi, “Dari 300-an kasus, hanya lima kasus yang dilaporkan ke polisi. Korban khawatir dan takut karena bisa dikriminalkan lewat UU ITE dan UU Pornografi,” tutur Uli. Beberapa korban lain yang merasa takut dan terancam, memilih untuk dirujuk saja ke layanan psikologis, tanpa melakukan upaya-upaya pelaporan.

Secara umum, berikut ini beberapa kendala yang umumnya hadir dalam penanganan kasus KBGO:

  1. Minim alat bukti dengan pola kasus yang rumit

Dalam beberapa kasus, kadang handphone korban sudah hilang, sehingga sulit untuk mempunyai alat bukti untuk melakukan pelaporan kasus. Ada juga yang memang data-data di handphone-nya sudah dihapus oleh korban secara sengaja karena takut dan panik.

 

  1. Penentuan yurisdiksi tempat terjadinya tindak pidana

Pendamping dan korban kerap kali tidak mengetahui posisi pelaku saat dia melakukan pengancaman online-nya. Hal ini menyulitkan proses pelaporan. Pernah suatu waktu LBH Apik melakukan pelaporan ke Mabes Polri, tetapi ditolak karena sudah ada peraturan di Mabes bahwa kerugian harus mencapai sekian milyar. Menurut Uli, rakyat dengan ekonomi kelas menengah ke bawah tidak ada kesempatan untuk melapor ke Mabes, “itu hanya artis, pejabat dan DPR yang kerugiannya bisa mencapai segitu, jadi kasus kita waktu itu dialihkan ke Polda Metro,” ungkapnya.

 

  1. Ahli yang terbatas untuk mengaitkan KBGO dengan UU ITE

LBH Apik hanya memiliki sedikit ahli terkait penanganan kasus KBGO. Salah satu faktornya adalah karena layanan bersifat probono atau gratis.

 

  1. Forensik digital yang lengkap hanya ada di Polda Metro Jaya

Apabila melapor ke Polres dan Polsek, prosesnya cukup panjang dan lama karena harus  dilimpahkan terlebih dulu ke Polda Metro. Pelimpahan ini karena di Polres dan Polsek belum ada fasilitas forensik digital. Secara umum, hampir rata-rata penanganan kasus KBGO lamanya bisa sampai satu tahun, bahkan ada yang dua tahun baru masuk proses persidangan.

 

  1. Korban ketakutan dan pelaku tidak dikenal

Terdapat beberapa kasus, dimana korban dan pelaku berkenalan melalui media sosial. Kemudian ada upaya bujuk rayu dari pelaku untuk mengirim konten intim, sehingga korban mengiyakannya dan mengirimkan konten tsb. Realitanya, konten intim itu digunakan pelaku sebagai ancaman untuk meminta sesuatu dari korban; meminta hubungan seksual, meminta uang, dll.

 

  1. Sidang kasus KBGO dilakukan secara terbuka padahal pasal yang dikenakan pasal kesusilaan

Sidang yang sifatnya terbuka ini, kalau saat persidangan berlangsung ada pertanyaan sensitif dari hakim atau jaksa atau siapa pun, ini membuat korban tidak nyaman dalam memberikan keterangannya.

 

Untuk mengatasi kendala yang dihadapi, tentu sangat diperlukan perangkat hukum yang menjamin perlindungan korban KBGO. Namun sampai saat ini, belum ada Undang-undang yang melindungi korban KBGO. Maka, dalam beberapa kasus tertentu, LBH Apik menggunakan Pasal 27 ayat (1) UU ITE untuk memproses laporan korban yang pengirim datanya bukan korban dan kasus yang mana korban direkam tanpa persetujuan/dengan ancaman.

Menurut Uli, Pasal 27 ayat (1) UU ITE memang dapat menjerat pelaku, namun juga bisa menjerat korban KBGO dalam hal korban yang pertama kali mengirim foto/video asusila. Sehingga hal ini berdampak langsung kepada psikis korban. Selain itu, Pasal 27 ayat (1) ini juga memiliki dampak lain terhadap perempuan korban KBGO, yaitu: korban berpotensi dikriminalisasikan, korban berpotensi mengalami eksploitasi seksual dan ekonomi, korban berpotensi diancam , serta diintimidasi oleh pelaku kekerasannya.

Ada beberapa usulan apabila UU ITE akan dilakukan revisi, antara lain:

  1. Muatan pasal harus melindungi korban yang mengirim foto/video asusila apabila untuk kepentingan pribadi atau tidak disebarluaskan ke masyarakat umum, karena tidak memilki niat jahat (mens rea)
  2. Pelapor haruslah korban yang dirugikan secara langsung
  3. Dorong RUU PKS untuk segera disahkan [ANHS]
Digiqole ad