Langkah Legislasi dan Litigasi Masih Perlu Berlanjut: Rilis Akhir Tahun 2022 Perkumpulan JalaStoria Indonesia
Sejak tahun 2018, Perkumpulan JalaStoria Indonesia meneguhkan langkah dalam upaya penghapusan diskriminasi berbasis gender. Antara lain, melalui penyebarluasan informasi dan cerita yang mendukung massifikasi upaya tersebut di dunia nyata. Selain itu juga melalui pelatihan, advokasi, kolaborasi, serta platform Jalastoria.id. Ikhtiar ini merupakan usaha untuk memberikan kontribusi aktif dalam mengurai aneka persoalan terkait diskriminasi berbasis gender khususnya yang membelit hidup perempuan dan anak.
Tugas ini belum usai, mengingat antara lain diskriminasi dalam rupa kekerasan terhadap perempuan masih terjadi. Berdasarkan data dari Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (KemenPPA), data yang diinput pada SIMFONI selama tahun 2022 terdapat 27.267 jumlah kasus kekerasan, terdiri dari 4.558 korban laki-laki dan 24.753 korban perempuan. Jenis kekerasan yang dialami korban yaitu fisik, psikis, seksual, eksploitasi, trafficking, dan penelantaran. Dengan tempat kejadian rumah tangga, fasilitas umum, sekolah, tempat kerja, dan lembaga pendidikan, diurut berdasarkan jumlah kasus tertinggi ke terendah.
Fakta kejadian kekerasan terbilang masih sangat tinggi, sehingga membutuhkan kerja-kerja dari berbagai sektor untuk menanggulanginya. Mulai dari masyarakat sipil, komunitas, dan lembaga negara. Dibutuhkan kerja bersama untuk terpenuhinya informasi yang dapat meningkatkan pencegahan kekerasan di masyarakat, perluasan ruang aman bagi setiap orang, dan berbagai dukungan lainnya. Selain perjuangan yang digerakkan masyarakat, dibutuhkan perjuangan legislasi hingga di tingkatan teknis untuk mengurai berbagai hambatan yang dialami korban dalam penanganan kasus. Dibutuhkan partisipasi dari berbagai kalangan meliputi pencegahan, pemantauan, penanganan, dan pemulihan.
Baca Juga: Pengesahan UU TPKS 12 April 2022
Perkumpulan JalaStoria Indonesia mengapresiasi Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI atas persetujuan bersama atas Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada Selasa, 12 April 2022, setelah melalui lebih dari 10 tahun proses perjuangan. Pengesahan tersebut merupakan wujud komitmen Negara dalam penyediaan payung hukum perlindungan bagi korban kekerasan seksual.
JalaStoria juga menyampaikan apresiasi atas percepatan upaya pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Berdasarkan data yang dilaporkan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), setidaknya 3.255 kasus kekerasan dialami pekerja rumah tangga periode 2015-2022. Kasusnya terus meningkat tiap tahun. RUU PPRT terus diperjuangkan selama 18 tahun lamanya.
Pengesahan UU TPKS diiringi harapan agar undang-undang ini dapat terimplementasi dengan baik untuk memberikan perlindungan kepada korban dan menindak tegas pelaku tindak pidana. Pengesahan undang-undang bukan berarti upaya untuk menghapuskan diskriminasi berbasis gender menjadi selesai. Sebaliknya upaya lanjutan masih perlu dilakukan agar segenap proses penegakan hukum sampai dengan pelindungan dan pemulihan sepenuhnya terbangun untuk memberikan keadilan bagi korban.
Baca Juga: Dunia Dukung Kerja Layak bagi PRT
Adapun percepatan pembahasan RUU PPRT diharapkan dapat terlaksana di awal sidang tahun 2023. Belasan tahun perjuangan semoga dapat segera membuahkan hasil. Pengesahan RUU PPRT yang terus ditunda harus dibayar mahal oleh banyaknya pekerja rumah tangga yang mengalami kekerasan dan perlakuan sewenang-wenang karena tidak ada pelindungan hukum. Percepatan pembahasan di tahun mendatang, adalah langkah yang sangat ditunggu untuk menghadirkan hukum yang memberikan pengakuan dan pelindungan terhadap profesi pekerja rumah tangga.
JalaStoria menyampaikan ucapan terimakasih kepada berbagai kalangan baik dari lembaga pemerintah maupun masyarakat sipil yang selama ini sudah berkolaborasi dan bekerja sama dengan JalaStoria, serta yang memberikan dukungan secara personal dengan harapan di tahun 2023 kerjasama yang telah terjalin dapat ditingkatkan.
Bahwa saat ini kondisi kasus kekerasan dalam konteks tertentu, JalaStoria memandang perlu percepatan legislasi, terutama dalam kasus-kasus yang penanganannya berdimensi perubahan struktural di lembaga negara. Hal ini memerlukan sinergi antara lembaga-lembaga pemantau seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas Perempuan, agar segera merampungkan Peraturan Presiden (Perpres) pemantauan, karena pemantauan punya peran penting dari hulu sampai hilir penanganan kasus.
Harapan terbesar dalam menyambut tahun baru 2023, kekerasan berbasis gender dapat dicegah, korban lebih mudah mendapatkan akses pelaporan dan perlindungan, dan pelaku ditindak dengan tegas sesuai hukum yang berlaku. Dengan demikian, cita-cita mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera serta kehidupan bermasyarakat yang berkesetaraan di negara tercinta ini dapat diraih dan dirasakan oleh semua orang.
Direktur Perkumpulan JalaStoria Indonesia
Ninik Rahayu