Jepang dan Rekor Tertinggi Kasus Kekerasan terhadap Anak

 Jepang dan Rekor Tertinggi Kasus Kekerasan terhadap Anak

Awal tahun ini merupakan momen penuh keprihatinan bagi warga Jepang.

Masyarakat di sana dikejutkan dengan angka kasus kekerasan terhadap anak yang menyentuh rekor tertinggi sepanjang sejarah. Ditengarai terjadi karena mekanisme penanganan pengaduan yang lemah.

Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, menanggapi data tersebut secara serius. Ia menjanjikan serangkaian kasus kekerasan terhadap anak ini tidak boleh terjadi lagi dan langsung menggelar rapat dengan para menteri dan pejabat terkait pada Jumat (8/2/2019).

“Upaya penuh harus dilakukan untuk memberantas kekerasan terhadap anak,” katanya seperti dikutip Japan Times, Kamis (7/2/2019).

Ia menyesalkan dugaan penanganan yang tidak sigap dari penyelenggara negara sehingga serangkaian kasus kekerasan bisa terus terjadi. Ia juga menyoroti mekanisme penyampaian pengaduan yang belum optimal.

Kejutan awal tahun yang meresahkan sekaligus menjadi perhatian publik ini berawal dari laporan Kepolisian Jepang. Otoritas keamanan itu menyebut dugaan kasus kekerasan terhadap anak pada 2018 menembus angka 80.104.

Angka tersebut merupakan yang paling tinggi sejak pendataan kasus dimulai pada 2004. Bila dibandingkan dengan 10 tahun lalu (2008), jumlahnya naik 13 kali lipat. Dan jika disandingkan dengan data tahun 2017, angkanya naik 22 persen.

Serbuan kasus itu rupanya belum mau berhenti. Bahkan menemukan fakta riilnya di pengujung Januari 2019. Di awal tahun itu, publik kembali dikejutkan dengan kematian anak usia 10 tahun di kamar mandi rumahnya.

Korban bernama lengkap Mia Kurihara yang tinggal di Kota Noda, Prefektur Chiba, dekat Tokyo. Ia diduga tewas setelah mengalami penyiksaan dari anggota keluarganya sendiri.

Kejadian ini sebenarnya bisa dicegah jika otoritas setempat bisa menangani kasus ini secara tepat dan cepat. Sebab sebelum meninggal dunia, Mia pernah menyampaikan permohonan bantuan kepada pihak sekolah.

Mia sempat menceritakan pengalaman pahitnya di sebuah kuesioner yang disebar pihak sekolah. Ia menuliskan pelbagai peristiwa yang dialaminya selama berada di rumah, terutama berkaitan dengan sikap kasar ayahnya.

“Ayah bersikap keras sekali terhadapku,” tulisnya. “Ia pernah membangunkanku tengah malam dan menendang serta memukulku. Guru, apakah ada yang bisa Anda lakukan untuk saya?”

Pihak sekolah memang kemudian mengirimkan Mia ke ruang aman yang disediakan pusat kesejahteraan anak, tetapi kemudian dikembalikan lagi ke keluarganya.

Ayahnya lalu memaksa Mia menuliskan surat yang mengoreksi tulisan di kuesioner sekolah dan menyebut bahwa cerita penganiayaan itu adalah bohong.

Selama beberapa pekan, Mia diketahui tidak pernah masuk sekolah. Ayahnya memberitahukan pihak sekolah bahwa Mia sedang berkunjung ke luar kota, ke tempat kerabatnya di Okinawa Selatan.

Akhir Januari, Mia ditemukan tewas dengan luka lebam di sekujur tubuhnya. Hasil otopsi juga menunjukkan, perut Mia kosong selama beberapa hari sebelum meninggal dunia di kamar mandi kediamannya.

Kepolisian setempat langsung menangkap dan menetapkan ayah Mia, Yuichiro Kurihara (41 tahun) sebagai tersangka. Adapun ibu Mia, Nagisa Kurihara (31), juga menjadi tersangka karena dianggap membiarkan penganiayaan terjadi.

Nagisa merasa sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga karena perilaku kasar suaminya. Ia mengaku tidak diperbolehkan memberikan makanan kepada Mia.

Kejadian ini semakin menegaskan dugaan lambatnya respons pusat kesejahteraan anak, pihak sekolah, dan otoritas setempat atas laporan dugaan kekerasan terhadap anak.

Sejumlah pihak, termasuk aktivis hak asasi manusia menyebut, ada kelemahan dalam mekanisme penanganan laporan mengenai kekerasan terhadap anak.

Pemerintah diminta memperbaiki sistem penanganan pengaduan dengan membuka akses pelaporan yang ramah anak dan meningkatkan kinerja sistem rujukan.

Tentu itu semua tidak akan berjalan tanpa pelaksana tugas yang kompeten dan memahami persoalan anak.

Komite PBB untuk Hak-Hak Anak merekomendasikan Pemerintah Jepang untuk juga memasukkan aturan mengenai sanksi bagi pelaksana yang lalai dalam tugas. Dengan begitu, mekanisme penanganan laporan bisa berjalan optimal. (asw)

Sumber: The Telegraph; Japan Times
Gambar: BBC

Digiqole ad