Bergerak untuk Solidaritas bagi Perempuan

 Bergerak untuk Solidaritas bagi Perempuan

Sobat JalaStoria,

Pada Rabu (20/5), JalaStoria.id menggelar Dialog Santai bertajuk “Solidaritas untuk Perempuan Korban Kekerasan di Masa Pandemi”. Dalam dialog ini, JalaStoria.id ngobrol bareng ka Vivi, panggilan akrab Anindya Restuviani. Ia adalah Co-Director @hollaback_jkt dan Program Director @jakartafeminist. Ia juga penggagas dari gerakan solidaritas untuk perempuan korban kekerasan yang dibangun oleh Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta.

Buat kamu yang ngga mau ketinggalan informasinya, simak liputan berikut ini ya!

==

Kasus kekerasan seksual menjadi hal yang tidak akan pernah habis untuk dibicarakan. Selama ada ketimpangan, sebanyak itu pula kasus demi kasus kian bergulir. Tentunya perempuan menjadi kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan.

Secara umum angka kasus kekerasan seksual ketika kondisi normal cukup terbilang tinggi, apalagi ketika kondisi pandemi seperti sekarang ini. Di mana melemahnya sektor ekonomi memberikan dampak yang besar bagi perempuan-perempuan yang bekerja di sektor informal. Lebih dari 70% kehilangan pendapatannya. Mulai dari perempuan juru pijat, Pekerja Rumah Tangga, petugas kebersihan via online, dan masih banyak bidang lainnya yang turut menderita akibat kehilangan pekerjaannya. Terpuruknya kondisi ekonomi ini, kemudian menjadi pemicu utama dalam kekerasan di ranah domestik.

Informasi dari LBH APIK menyebutkan bahwa banyak rumah aman ditutup ketika Covid-19 mulai menyeruak di tanah air. Lalu karena banyaknya kebutuhan dari perempuan dan anak korban kekerasan, rumah aman pun dibuka kembali. Ironisnya, menurut ka Vivi, korban yang hendak mengakses rumah aman harus menjalani rapid test mandiri, di mana biaya yang dikeluarkan menjadi tanggung jawab masing-masing. Dalam kondisi normal saja, perempuan korban sudah mengalami banyak kesulitan, ditambah lagi beban rapid test yang harus dikeluarkan sendiri.

Berangkat dari gagasan menggalang solidaritas dan sebagai ikhtiar untuk tidak bergantung pada upaya pemerintah -karena lambannya respon terhadap perempuan sebagai kelompok rentan-, Jakarta Feminist mulai berkolaborasi dengan sejumlah kelompok. Mulai dari LBH APIK, Jala PRT, FBLP (Forum Buruh Lintas Pabrik), lapas perempuan, pengemudi ojek online (termasuk juru pijat, dan petugas kebersihan online), serta perempuan pengemudi taksi, yang merupakan sasaran penggalangan dana. Termasuk di dalamnya, para perempuan yang kehilangan pekerjaan, single parent, dan korban kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga.

Yang menjadi kendala terbesar dirasakan oleh ka Vivi, data perempuan yang membutuhkan bantuan terus masuk, dan kondisinya tidak semua berada di Jakarta. Sementara kurangnya SDM dalam menjangkau para sasaran menjadi problematika tersendiri.

Pemotongan beberapa anggaran negara sebagai upaya mengatasi Covid-19, rupanya tidak menjadikan perempuan korban kekerasan menjadi prioritas pemerintah. Padahal kejadian kekerasan terhadap perempuan tidak pernah surut tiap tahunnya, terlebih di situasi social distancing yang justru menjadi neraka bagi istri korban abusive oleh pasanganya. KDRT bisa sangat terjadi di situasi seperti ini.

Ka Vivi banyak bercerita mengenai kondisi perempuan yang mengalami kesulitan di masa pandemi. Satu cerita datang dari Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang kehilangan pekerjaannya. Ia tidak dapat menunjang pendidikan bagi anaknya yang tengah belajar online, untuk sekadar membeli kuota internet. Sangat disesali belum adanya UU yang melindungi tentang hak dan kewajiban PRT. PRT terkena imbasnya, ada yang diberhentikan sementara, adapula yang permanen. Mereka jadi hidup terlunta-lunta. Di jakarta tidak punya tempat tinggal, tapi pulang ke kampungnya pun dilarang. Kondisi yang dilematis. Mereka tidak lagi takut mati karena Covid, tapi ketakutan akan mati karena kelaparan.

Sekitar 200-an perempuan yang mengalami penurunan penghasilan, kehilangan pekerjaan, dan korban kekerasan menerima manfaat dari gerakan solidaritas ini. Bantuan yang disalurkan oleh Jakarta Feminist berupa sembako yang setidaknya dapat mencukupi untuk bertahan hidup sebulan. Bantuan khusus yang merupakan kebutuhan perempuan yaitu pembalut juga disediakan. Tapi, bagaimana memberikan bantuan yang sifatnya suistanable masih terus diupayakan, karena kondisi seperti ini akan terus berlangsung. Bantuan uang tunai pun diberikan bagi perempuan yang terancam diusir dari kontrakan/kosan ataupun untuk menunaikan tagihan listrik.

Bantuan advokasi juga terus diupayakan untuk kelompok rentan. Advokasi ini merujuk pada kebijakan pemerintah terkait bantuan sosial yang tengah terselenggara. Di lapangan, banyak perempuan kelompok rentan yang tinggal tidak sesuai dengan KTP. Imbasnya, tidak menerima bantuan sosial tersebut. Padahal jika sudah tinggal lama, mereka berhak menerima. Persoalan administratif harusnya tidak membuat hak-hak warga menjadi tercabut. Tapi kenyataan di lapangan tidak seperti itu. Selain itu, terus berupaya mengadvokasi agar perempuan korban kekerasan dapat masuk kembali ke rumah aman. Jika dituntut harus rapid test dulu, itu merupakan tanggung jawab pemerintah.

Satu cerita lainnya datang dari perempuan buruh pabrik. Ketika awal kasus Covid-19 menyeruak, pabrik tempat ia bekerja memberhentikan sementara (cuti tidak berbayar) sekitar 800 buruh. Ia hanya bertahan hidup mengandalkan bantuan sosial dari pemerintah. Sayangnya dengan situasi korban KDRT, bantuan tersebut diambil oleh suaminya (tapi tidak diberikan ke istri).  Relasi abusive tersebut terus berlangsung apalagi jika yang didapat bantuan uang tunai.

Belum lagi stigma peran domestik yang masih dibebankan kepada perempuan saja. Kondisi WfH/SfH di mana ada suami serta anak di rumah, menjadi beban ganda bagi perempuan. Terlebih jika perempuan tersebut juga bekerja dari rumah. Sudah mengerjakan urusan kantor, ditambah lagi urusan domestik yang tidak ada habisnya di rumah. Oleh karena itu dibutuhkan membangun kesalingan dan kesetaraan bagi kehidupan di rumah. Membagi peran dalam urusan pekerjaan domestik yang melibatkan suami dan anak selama #diRumahAja, sehingga tidak ada lagi saling menyalahkan kepada pihak perempuan saja, yang tidak mumpuni dalam mengerjakan ini-itu, padahal bebannya sendiri sudah cukup banyak.

Selama pandemi, naiknya angka KDRT tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di belahan Eropa. LBH APIK mencatat, selama PSBB berlangsung di Indonesia, terjadi kenaikan laporan hingga 3x lipat dari kondisi normal. Tidak hanya KDRT, tetapi juga KDP (Kekerasan dalam Pacaran), dan KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online). Di beberapa negara Eropa, Singapura, bahkan Malaysia sudah ada respons dari pemerintah dalam rangka menyelesaikan isu-isu kekerasan terhadap perempuan selama Covid-19.

Pemerintah sangat diharapkan mempunyai peran lebih dalam penanganan pandemi ini. Kurikulum kartu pra-kerja tidak match dengan kondisi lapangan sekarang. Keterampilan yang diajarkan tidak sebanding dengan ketersediaan peluang untuk berkarya. Dilatih rias pengantin, tidak ada yang resepsi. Dilatih bahasa Inggris, tidak serta dapat membuka jasa penerjemahan. Intinya, tidak ada manfaatnya sama sekali kepada kelompok perempan rentan.

Selain berbagai solidaritas yang sudah diupayakan, ada satu lagi kabar baik, Jakarta Feminist membuka ruang bagi para perempuan untuk membuka lapak berjualan. Setiap Rabu di FB Jakarta Feminist Discussion Group, bagi yang ingin mempromosikan produknya secara gratis. Kegiatan ini masih dalam rangka menggalang solidaritas, dalam bentuk mempromosikan jasa atau produk. Karena solidaritas tidak selalu berbentuk uang, bisa juga turut membantu mempromosikan keahlian atau produk yang dijual.

Yuk, turut berpartisipasi bersama teman-teman Jakarta Feminist! Sumbanganmu bisa dikirim ke rekening BCA 0060705151 atas nama Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta. Info selengkapnya bisa cek di IG @jakartafeminist.

Harapannya, bagi teman-teman kelompok rentan, agar mereka tetap sehat, jangan patah semangat walau situasi saat ini begitu sulit. Ayo bersolidaritas! Semoga Covid-19 cepat usai. Kepada pemerintah diharapkan agar lebih jelas dan tegas dalam memutuskan kebijakan. Jangan justru mencuri kesempatan dalam mengesahkan RUU yang bertolak belakang dengan upaya pemenuhan kesejahteraan rakyat dalam situasi seperti ini. Terlebih ketika situasi pandemi seperti ini, harusnya mengesahkan UU yang lebih urgent, antara lain RUU yang memberikan perlindungan bagi perempuan korban kekerasan.

Semoga keadaan segera membaik!

 

Link video Dialog Santai ini dapat diakses melalui channel Youtube JalaStoria.id di sini

 

 

Vera Fauziah

Digiqole ad