Anak Muda Bicara Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan

Ilustrasi (JalaStoria.id)
Sobat JalaStoria,
Acara #NgobrolBareng hadir setiap Senin Siang. Pada senin (15/6), topik yang diangkat adalah Anak Muda Bregerak dalam Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Acara yang menghadirkan Rizqika Arrum Bakti, mahasiswa kajian gender dan relawan Sandya Institute, dan Jehan Julaicaha, API Kartini DKI Jakarta, ini dipandu oleh moderator Andrian Pratama Taher, jurnalis Tirto.id. Acara kali ini mengangkat suara anak muda yang turut andil dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Seperti apa ketika anak muda bicara penghapusan kekerasan terhadap perempuan? Yuk simak liputannya berikut ini:
***
Tidak ada yang ideal atau tidak ideal dalam menyuarakan isu kekerasan terhadap perempuan, karena setiap feminis berbeda-beda dan alirannya pun berbeda. Jadi siapa saja boleh menyuarakan ketidakadilan dan mengobarkan keberanian dalam menyuarakan kesetaraan. Perjuangan menyuarakan isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan disatukan karena sama-sama mengalami penindasan dan subordinasi, bukan karena kesamaan karir, achivement, ataupun pendidikan.
Subjektivitas perempuan penting untuk disuarakan, karena perempuan itu sendiri yang mengalaminya. Di sinilah anak muda bisa berperan aktif karena aksesnya terbuka lebar untuk menyuarakan aksinya melalui berbagai media seperti poster, lirik lagu, dan lain sebagainya yang bermuatan empowering. Jadi tidak lagi terbatas pada aksi demo saja.
Hal ini menjadi krusial karena kehidupan anak muda tidak hanya berkutat pada konsumsi televisi dan koran, tapi dunia media sosial telah mengambil sebagian besar kehidupan anak muda kini.
Pendekatan terhadap isu-isu perempuan dapat berbeda-beda karena kultur yang berbeda pula. Misal satu cerita dari isu pengungsi (baik para pencari suaka, diskriminasi orientasi seksual, dan agama). Perempuan pengungsi di Indonesia rentan mengalami terjadinya kekerasan. Kenapa pengungsi terebut berkumpul di Indonesia? Salah satunya karena faktor geografis yang menjadikan Indonesia sebagai negara transit para pengungsi yang bertujuan mencari perlindungan ke negara-negara yang lebih maju. Para perempuan ditempatkan di tenda-tenda pinggir jalan. Tentunya hal ini rawan masalah pencurian, kriminalitas, hingga sanitasi. Kondisi ini kian diperparah dengan sudut pandang media yang belum paham tentang femnomena para pengungsi. Misalnya, perempuan pengungsi diambil gambarnya dan dijadikan topik berita. Padahal bagi perempuan Somalia diekspos di kamera dan ditonton oleh khalayak merupaka suatu aib, sehingga terjadi kekerasan dari suaminya. Hal itu masih banyak ditemui dan belum dipahami oleh media dan masyarakat pada umumnya.
Berbicara mengenai perempuan dan media, perempuan memiliki kerentaan yang lebih besar dalam mendapat kekerasan dan pelecehan seksual di dunia maya. Perempuan juga harus mampu memilah informasi yang hendak disampaikan ke media sosial. Jangan sampai memberikan hoax, karena follower usia muda belum tentu dapat membedakan mana informasi yang salah dan benar. Perempuan harus mampu mencerdaskan dan berbagi ilmu bagi lingkungannya.
Selain itu, pemberian informasi seputar kekerasan juga harus fokus pada isu gendernya, bukan sekadar demi konten atau popularitas tanpa memaknai hakikat sesungguhnya. Banyaknya seminar-seminar tentang perempuan yang menjadi sorotan pembicaranya justru laki-laki. Oleh karena itu, perlu memberikan ruang bagi perempuan untuk berdiskusi mengenai topik perempuan itu sendiri dan bebas berbagi cerita karena perempuan yang mengalaminya.
Masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di lingkungan kampus dan belum terungkap. Banyak pula yang ditutup-tutupi baik yang dilakukan oleh dosen, teman, bahkan pacar. Hal ini tidak terlepas karena banyaknya tekanan eksternal, korban takut dicap victim blaming, reputasi hancur, hingga gunjingan menjadi pertimbangan bagi mereka yang ingin mengusut tuntas kasus-kasus tersebut. Belum lagi dampaknya bagi korban yang menyerang mental hingga mengakibatkan trauma psikis. Namun yang disayangkan justru kasus yang sudah banyak bukti, tetapi pihak kampus terkesan ‘cuci tangan’. Kampus tidak menganggap serius. Ironisnya tidak ada tindakan keras bagi pelaku.
Adanya upaya-upaya yang menyalahkan perempuan ketika perempuan itu sendiri menjadi korban, tidak terlepas dari budaya patriarki di Indonesia. Kultur pola asuh dan lingkungan sosial membawa dampak adanya rasa inferior terhadap laki-laki, sehingga perempuan merasa ‘lebih rendah’ dari laki-laki. Perempuan dalam masyarakat selalu dituntut untuk mengeksploitasi tentang ketubuhannya, padahal dibutuhkan pemikiran kritis dalam memandang tubuh perempuan di dalam dunia media sosial.
Anak muda kini lebih mementingkan konten tanpa menyaring isu-isu yang relevan. Seringkali anak muda juga tidak menyadari dirinya menjadi korban di media. Salah satunya karena faktor minimnya edukasi tentang reproduksi dan seksualitas. Topik ini bukan sekadar hal yang tabu untuk dibicarakan, karena menyangkut terhadap kesehatan dirinya sendiri. Jika terbuka terhadap diskusi kesehatan reproduksi, perempuan di berbagai penjuru daerah akan lebih punya kesadaran tentang seksualitas dan bagaimana mengelola tubuhnya.
Perempuan yang punya privilege (punya imu dan latar belakang pendidikan yang baik) diharapkan dapat saling sharing dan berbagi informasi. Selain itu, negara punya peran dalam mengembangkan konten edukasi seksual dalam kurikulum pendidikan. Hal ini untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan. Pendidikan akan menjadi dasar sebagai pondasi yang membangun kesadaran terhadap kekerasan yang dialami perempuan.
Keluarga pun menjadi bagian terpenting bagi kelangsungan proses penerimaan sosialisasi, karena keluarga merupakan institusi pertama dan primer bagi anak. Keluarga menjadi bagian yang terdekat dalam membangun pemahaman tentang kesehatan reproduksi. Tetapi sayangnya masih banyak keluarga yang masih konservatif dalam membangun diskusi-diskusi ini dan menganggap tabu topik-topik reproduksi dan seksualitas ketika belum berusia 17 tahun ke atas. Namun jika tidak mendapatkan support dari keluarga, bisa mencari bantuan dari eksternal. Bila mengalami kekerasan, dapat menghubungi LBH Apik salah satunya.
Saat ini, anak muda menjadi sosok yang tanggap dalam merespons isu kekerasan terhadap perempuan. Harapannya, semoga ke depan anak muda lebih terlibat aktif dalam isu-isu perempuan/gerakan perempuan untuk mencapai keadilan/kesetaraan. Kekerasan tidak akan berhenti jika kita tidak melakukan apa-apa.
Isu perempuan bukan hanya milik perempuan, tetapi juga terbuka untuk semua gender. Laki-laki juga harus turut serta. Tidak perlu jadi akademisi terlebih dahulu, siapapun berhak bersuara. Gebrakan ini dapat dimulai dari hal-hal terkecil dan dari lingkungan sendiri dalam membuat perubahan.[]
Vera Fauziah
