Zakat untuk Perempuan Korban Kekerasan

 Zakat untuk Perempuan Korban Kekerasan

Ilustrasi (Sumber: Geralt/Pixabay.com)

JAKARTA, JALASTORIA.ID – Setiap agama dan kepercayaan memiliki instrumen untuk menjawab persoalan ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat. Misalnya, dalam Islam, terdapat instrumen zakat, di samping instrumen infaq dan shodaqoh.  Zakat, sebagai ibadah sosial, apabila dikelola dengan baik, juga dapat menjadi jaring pengaman sosial dan perlindungan bagi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan.

Hal itu disadari oleh Ketua Pusat Studi Islam Perempuan dan Pembangunan Institute Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (PSIPP ITBAD) Jakarta, Yulianti Muthmainnah. Sayangnya, sebagaimana ia tuliskan dalam buku “Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak” (2021), lembaga pengelola filantropi termasuk zakat di Inddonesia belum memberikan perhatian serius pengalokasian dana zakat bagi para korban.

Padahal, menurut buku itu, perempuan dan anak korban kekerasan berhak menempati empat golongan (ashnaf) penerima zakat sebagaimana dimaksud dalam QS at-Taubah ayat 60.

Gerakan Zakat untuk Korban

Untuk itu, PSIPP ITBAD Jakarta berkolaborasi bersama LAZIS Muhammadiyah (LazisMu) mengadakan peluncuran buku sekaligus gerakan zakat bagi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak “Mulai dari Muzzaki Perempuan untuk Mustahik Perempuan Korban”. Kegiatan ini diawali diskusi publik dalam rangka peringatan HUT ke-76 Republik Indonesia pada Jum’at, 27 Agustus 2021. Kegiatan bertema “Kemerdekaan Perempuan dan Anak dari Kekerasan Seksual” ini akan diakhiri pada tanggal 10 Desember 2021.

Rangkaian kegiatan 16 minggu ini terinspirasi dari 16 hari kampanye anti kekerasan terhadap perempuan. Diskusi pertama telah menghasilkan dana zakat yang terkumpul pada LazisMu sebesar Rp 1.350.000.

Baca Juga: Bergerak untuk Solidaritas bagi Perempuan

“Buku ini adalah ijtihad kontemporer untuk membuka kesadaran banyak orang bahwa korban KDRT dan korban kekerasan seksual berhak atas zakat,” terang Yulianti (27/08/2021).

Selama 16 Minggu kegiatan, selain bedah buku juga diselenggarakan “Gerakan Zakat Nasional Mulai dari Muzzaki (Pemberi Zakat- Red) Perempuan untuk Mustahik (Penerima Zakat-Red) Perempuan.” Gerakan ini ditujukan untuk  menggalang solidaritas dan dana zakat bagi perempuan dan anak korban kekerasan.

Melalui gerakan ini, Yulianti berharap muncul kesadaran baru bagi semua pihak dalam memperkuat nilai-nilai ukhuwah nisaiyah (persaudaraan sesama perempuan) untuk mendukung korban.

Hal itu ditegaskan oleh Erni Jualiana, Koordinator bidang PSIPP ITBAD Jakarta, Erni Juliana. Dalam era berkemajuan saat ini, menurut Erni, sangat mudah untuk mengajak publik melakukan kebaikan, “termasuk melaksanakan zakat bagi korban kekerasan,” ungkapnya (27/08/2021). Melalui rangkaian kegiatan Gerakan Zakat Nasional selama 16 Minggu ini, Erni mengajak peserta untuk membantu korban kekerasan melalui zakat dengan menyalurkannya ke lembaga filantropi.

“Upaya yang kita lakukan ini akan membantu mereka yang dianggap lemah,” jelasnya. Apalagi, momentum kemerdekaan Indonesia saat ini, menurut Erni, seharusnya dapat menumbuhkan kesadaran individu untuk mengekspresikan keinginan mereka, “selama tidak bertentangan dengan UU, atau juga membahayakan keselamatan orang lain,” tutur Erni dalam sambutannya.

Minimnya Akses Layanan bagi Korban

Komisioner Komnas Perempuan Periode 2010-2014 dan 2015-2019, Sri Nurherwati, mengamini bahwa persoalan perempuan korban dalam mendapatkan keadilan terkait dengan minimnya akses layanan bagi korban. Antara lain layanan penegakan hukum, kesehatan, dan kesejahteraan. Peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan di satu sisi mengakibatkan pendampingan yang telah dilakukan selama ini menjadi tidak cukup. Sementara di sisi lain, penyelenggara negara mengeluhkan beban kewajiban negara yang harus ditanggung, sehingga cenderung meminta permakluman dari perempuan korban bila belum mendapatkan layanan.

Baca Juga: Kebijakan “Tetap di Rumah” dan KDRT

“Kondisi seperti ini tidak dapat diterima ataupun dimaklumi. Maka pemikiran yang maju, inovasi dan komitmen diharapkan dari berbagai pihak,,” ungkap Sri Nurherwati (27/08/2021).

Kehadiran buku ini, menurut Sri Nurherwati, ibarat mengetuk pintu di tengah tantangan, hambatan dan kesulitan dalam melakukan pendampingan terhadap korban. Buku ini memberikan pengakuan terhadap hak perempuan korban kekerasan untuk memperoleh zakat. Hal itu, bersamaan dengan berbagai langkah lainnya termasuk terobosan di bidang hukum, pada akhirnya diharapkan akan membuka akses keadilan bagi perempuan korban.

Kelompok Miskin

Dukungan atas zakat bagi korban kekerasan, tak terkecuali perempuan dan anak, juga disampaikan Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Oneng Nurul Bariyah. Menurut Oneng, penggunaan zakat untuk membantu para korban kekerasan seksual memiliki relevansi dengan sifat dan karakter ajaran Islam yang menempatkan manusia sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.

Mengutip Alquran surat al-Taubat ayat 60 yang menyebutkan delapan kelompok yang berhak menerima zakat, Oneng menilai korban kekerasan dapat dikelompokkan dalam kategori miskin. Hal ini mengingat korban kekerasan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, rasa aman dari ancaman tindak kekerasan, dan lainnya sehingga mereka menjadi kaum miskin yang sangat lemah dalam waktu yang cukup lama.

“Spirit surat al-Taubah ayat 60 membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan ekonomi, spiritual, dan pembebasan dari belenggu kesulitan hidup dalam berbagai aspek,” jelas Oneng. Ditambahkannya,  buku Zakat untuk Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak yang ditulis Yulianti Muthmainnah merupakan sebuah gagasan atas kegelisahan penulis terhadap situasi yang terjadi pada masyarakat.

Zakat untuk Melawan Ketidakadilan

Direktur Utama Lembaga Zakat Infaq dan Shodaqoh Muhammadiyah (LazisMu), Sabeth Abilawa, mengingatkan selama ini masyarakat terjebak dengan tafsir makna zakat yang dikaitkan untuk mengatasi persoalan kemiskinan. Dalam tafsir lebih luas, Sabeth mengingatkan bahwa zakat seharusnya dijadikan sebagai instrumen untuk mendapatkan keadilan.

“Zakat ini lebih bersifat pembelaan terhadap keadilan sosial, maka isu perlindungan anak perempuan bisa dikaitkan dengan zakat, sehingga spirit zakat itu bukan [sekedar] untuk mengentas kemiskinan, melainkan untuk membebaskan dari ketidakadilan. Isu keadilan sosial seharusnya ditanamkan ke lembaga filantropi,” terang Sabeth Abilawa.

Ia pun menyayangkan stagnasi tafsir zakat yang berkembang di tengah masyarakat dalam hal pendefinisian golongan yang berhak menerima zakat (ashnaf). Menurutnya tafsir tersebut perlu ditinjau ulang, sehingga dapat memasukan kategori baru secara kontekstual.

Sementara itu, Wakil Rektor II ITBAD Jakarta Yayat Sujatna menyatakan berdasarkan data World Giving Index 2021, Indonesia merupakan negara paling dermawan.  Indonesia menempati peringkat pertama, disusul Kenya lalu Nigeria. Yayat menilai hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sangat dermawan dan tergerak untuk menggalang bantuan sosial kemanusiaan.

Yayat pun menawarkan salah satu alternatif yang dapat dijalankan untuk mengatasi persoalan ekonomi masyarakat, termasuk kaum dhuafa (lemah) yang diakibatkan tindak kekerasan dalam rumah tangga, yakni melalui sedekah bergulir. Ia berharap para penerima manfaat zakat ini di kemudian hari akan lebih mandiri dan menjadi pemberi zakat.

Baca Juga: Perlu Ekosistem Dukungan bagi UMKM

“Sedekah bergulir ini dapat berjalan efektif apabila dijalankan oleh lembaga nirlaba yang punya kompetensi dan komitmen dalam pemberdayaan, serta dapat dukungan dari masyarakat luas termasuk pemerintah,” tegasnya.

Pada akhirnya, kehadiran buku dan Gerakan Zakat Nasional ini dinilai akan berkontribusi pada upaya perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan. Sebagaimana disampaikan oleh Sri Nurherwati, langkah ini “dapat menjadi terobosan jalan keluar bagi korban dan mengakhiri kekerasan yang dialaminya,” pungkasnya. [RAM]

 

Digiqole ad