Waspada KBGO dalam Ospek Online!

 Waspada KBGO dalam Ospek Online!

Pandemi memang mengubah banyak hal yang tadinya kita lakukan secara offline, beberapa kegiatan terpaksa harus dilakukan secara online. Termasuk dalam bidang pendidikan yang membuat mahasiswa harus melakukan Perkuliahan Jarak Jauh (PJJ) dengan segala resiko yang kampusku sendiri kelihatan gagap menanggapi perubahan ini.

Sebagai mahasiswa yang pernah ikut dalam ospek offline, aku memang ngga relate dengan ospek beberapa kampus yang akan digelar online akibat pandemi. Namun kabar dan berita terkait pandemi membuat perempuan dalam posisi semakin rentan, hal ini membuatku memikirkan pula relasi perempuan dalam kampus.

Dalam ospek offline, sudah menjadi rahasia umum kalau mahasiswa baru kerap dijadikan objek oleh kaka tingkat (kating). Secara general, bullying atau perpeloncoan kerap terjadi. Namun, mahasiswa baru perempuan juga kerap dijadikan objek modus oleh kating-kating tersebut.

Panitia penyelenggara ospek pun kerap menjadi pelaku atas tindakan-tindakan yang mendegradasi kemanusiaan tersebut, melanggar hak asasi orang lain yaitu mahasiswa baru.

Sedangkan membahas ospek online, hal yang mendegradasi kemanusiaan tersebut belum tentu hilang begitu saja. Hal yang justru ku khawatirkan bukanlah sebatas koneksi internet yang buruk atau akses mahasiswa baru dalam melaksanakan ospek itu sendiri, melainkan juga kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) saat proses ospek itu terjadi.

Menurut Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Aktivitas yang dikategorikan sebagai KBGO adalah pelanggaran privasi, pengawasan dan pemantauan, perusakan reputasi atau kredibilitas, pelecehan, ancaman dan kekerasan langsung, serta serangan ke komunitas tertentu.

Sedangkan bentuk-bentuk KBGO yaitu sebagai berikut:

  1. Revenge porn

Ancaman/penyebaran konten seksual yang menampilkan korban, dilakukan dengan motif balas dendam karena pelaku tidak terima diputuskan hubungannya dan memaksa korban untuk kembali padanya.

  1. Morphing

Merekayasa foto menjadi bernuansa seksual dan bertujuan untuk mengolok-olok, mempermalukan dan merugikan korban.

  1. Sextortion

Pemerasan dengan ancaman penyalahgunaan konten-konten seksual korban, dengan tujuan memperoleh uang atau terlibat dalam seks dengan korban melalui paksaan

  1. Outing

Penyebutan identitas gender/orientasi seksual yang dilakukan tanpa persetujuan orang yang bersangkutan dan bertujuan untuk mempermalukan

  1. Online Shaming

Perilaku mempermalukan seseorang dengan konten yang berisi olok-olok, hinaan, pencemaran, kabar bohong (hoax), hingga sayembara untuk mengajak melakukan kekerasan terhadap seseorang

  1. Honey Trapping

Kekerasan yang terjadi setelah adanya proses pendekatan secara online seperti dari situs kencan, kemudian terjadi kekerasan fisik yang sering disertai ancaman dan pemerasan pada saat bertemu offline

  1. Hate Speech

Penyeruan kebencian dengan menyasar identitas seseorang yang diiringi dengan hasutan untuk kekerasan

  1. Impersonating

Pemalsuan akun yang mengatasnamakan seseorang dan dilakukan dengan tujuan pencemaran nama baik ataupun sering dilakukan oleh fans yang obsesif

  1. Deadnaming

Perilaku melecehkan nama yang dipilih oleh minoritas gender dan mempublikasikan nama lahir mereka dengan tujuan untuk menghina, mencemarkan, hingga ajakan melakukan kekerasan

  1. Doxing

Perilaku mengambil data pribadi seseorang tanpa izin kemudian mempublikasikan data tersebut. Biasanya dilakukan lewat media sosial atau melalui proses hacking

  1. Defamation

Upaya pencemaran nama baik yang dilakukan salah satunya dengan membanjiri sosial media seseorang dengan ulasan/komentar buruk sampai dengan niatan fitnah dan kabar bohong/hoaks.

  1. Flaming

Penyerangan secara personal melalui private message yang berisi ancaman, hinaan, pelecehan video, atau konten porno, dll

Dalam relasi kuasa terkait kasus KBGO di ospek online, mahasiswa baru menjadi pihak paling rentan–terutama mahasiswa perempuan. Namun tidak memungkiri bahwa semua yang terlibat dalam kegiatan online ini berpeluang menjadi korban.

Sedangkan pelaku, bisa jadi kakak tingkat dari berbagai organisasi kemahasiswaan (ORMAWA), dosen pemateri atau bahkan panitia penyelenggara. Tetapi tidak memungkiri pula bahwa semua bisa menjadi pelaku, termasuk teman seangkatan.

Untuk itu, diperlukan kesadaran pihak kampus dan panitia penyelenggara dalam memberikan hak atas mahasiswa baru yang mestinya dapat mengakses kenyamanan dan keamanan dalam ospek yang diselenggarakan, baik secara offline atau online. Kenyamanan dan keamanan ini mestilah dipandang sebagai hak asasi tiap manusia saat mengenyam pendidikan, juga pada relasinya dalam masyarakat. Dan pihak-pihak yang memiliki otoritas menyelenggarakan pendidikan, dan pemerintahan mestilah bertanggungjawab atas terjaminnya hak tersebut.

Pihak kampus dan panitia mesti mengedukasikan terkait hak atas kenyamanan di ruang publik, khususnya dalam pendidikan. Isu-isu yang dibahas bisa seputar Kekerasan Berbasis Gender Online, relasi kuasa gender dan kekerasan seksual dan hal lain yang relevan.

Kampus juga mesti mempertegas kedudukannya dalam menjamin kepentingan korban kekerasan. Serta menjamin bahwa kampus akan kooperatif dalam penyelesaian kasus-kasus tersebut dan menindak tegas pelaku kekerasan. Hal ini penting dimulai pengedukasian dan penerapannya sejak ospek, dan harus dilanjutkan selama mahasiswa melaksanakan studinya di kampus. Pengedukasian ini merupakan salah satu tindak preventif untuk memutus mata rantai kekerasan di dunia pendidikan sebab kekerasan dalam pendidikan harusnya tidak ada.

Pendidikan Indonesia kerap kali dicita-citakan untuk mewujudkan manusia yang berbudi luhur dan manusia yang dapat memanusiakan manusia, namun jika memang seperti itu cita-citanya, maka tidak semestinya turut melanggengkan budaya kekerasan. Tidak semestinya pasif dan melakukan pembiaran terhadap kekerasan, atau justru malah menjadi pelaku atas tindak kekerasan tersebut.

Banyaknya kasus bullying dan kekerasan seksual di kampus selama ini–yang mana juga termasuk tindak kekerasan ini–membuat kita sangat relevan untuk mempertanyakan marwah pendidikan dan posisi keberpihakan institusi pendidikan. Sudah saatnya menggugat sistem pendidikan yang tidak mengakomodir kelompok marginal seperti perempuan. Dimulai dari ospek, dan wariskan ke generasi selanjutnya.

 

Penulis: Annisa Nurul Hidayah Surya.

Penulis Aktif di organisasi Gerakan Perempuan UNJ (Gerpuan UNJ)

Digiqole ad