URGENSI JAMINAN HAK KORBAN DALAM RUU KUHAP

 URGENSI JAMINAN HAK KORBAN DALAM RUU KUHAP

Oleh : Siti Aminah Tardi

Pada saat ini Pemerintah dan DPR RI tengah membentuk Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk menggantikan UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Dalam sejarahnya, Perjalanan Rancangan KUHAP telah dimulai pada 1999, di mana Pemerintah membentuk Tim Penyusun Rancangan HAP yang diketuai oleh Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, S.H., M.H. Pemerintah mengajukan dan mulai membahas bersama DPR RI pada 2013, di mana pada masa sidang 2013-2014, tercatat telah dilakukan lima kali pembahasan terhadap 6 (enam) nomor Daftar Inventaris Masalah (DIM) dari 1.169 nomor DIM.

Perdebatan tajam terjadi ketika RKUHAP dinilai melemahkan upaya pemberantasan korupsi, yang berpuncak pada penolakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Atas polemik ini, disepakati pembahasan dilanjutkan pada periode jabatan DPR selanjutnya, dengan mengacu pada masukan dari lebih banyak pihak. Namun, DPR periode 2014-2019 dan 2019-2024 tidak memprioritaskan pembahasan RKUHAP dan lebih memprioritaskan pembahasan RKUHP yang kemudian disahkan menjadi UU No.1 tahun 2023 tentang KUHP yang akan berlaku pada 2 Januari 2026.

Berbeda dengan RKUHAP sebelumnya, RKUHAP kini menjadi usul inisiatif DPR dengan naskah akademik dan RUU KUHAP yang telah dipublish pada Februari 2025. Sebagaimana kita ketahui bahwa hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau melaksanakan hukum pidana materiil. Karenanya, kemudian pembahasan RKUHAP ditargetkan segera selesai dan diterapkan bersamaan dengan KUHP 2026. Upaya untuk pencapaian target ini  juga diperlihatkan Presiden yang  telah menunjuk wakil pemerintah untuk membahas RKUHAP.

Pembahasan RKUHAP diarahkan untuk membangun sistem peradilan pidana yang terpadu, untuk melaksanakan tatacara peradilan tindak pidana umum (KUHP) maupun tindak pidana khusus (di luar KUHP), kecuali undang-undang menentukan lain. Sebagai hukum yang akan mengikat aparat penegak hukum mulai dari penyelidik/penyidik, jaksa penuntut umum, hingga hakim dalam menyidik, menuntut, dan mengadili perkara pidana untuk mendapatkan kebenaran materiil. Maka RKUHAP tidak dapat dilepaskan dari hak korban tindak pidananya.

 

Urgensi Jaminan Hak Korban

Naskah Akademik RKUHAP 2025 menekankan jaminan atas Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai ciri dari negara hukum dalam proses penegakan hukum dilakukan secara seimbang diantara berbagai kepentingan. Secara filosofis negara wajib menjamin pemenuhan hak tersangka, terdakwa, saksi, dan korban. Sehingga tercipta keseimbangan perlindungan antar kepentingan, yakni kepentingan negara, kepentingan masyarakat, maupun kepentingan individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan.

Secara sosiologis, kepentingan korban juga menjadi salah satu alasan untuk mengganti KUHAP (DPR RI, hlm 92-95). Sementara secara yuridis, telah lahir berbagai peraturan perundang-undangan yang menjamin sejumlah hak bagi korban tindak pidana. Seperti UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), serta UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Selain itu ada UU Penyandang Disabilitas dan UU Perlindungan Saksi dan Korban yang mengisi kekosongan jaminan hak korban, khususnya kelompok rentan seperti perempuan, anak dan penyandang disabilitas.

Jaminan HAM bagi korban merupakah langkah maju dibandingkan dengan KUHAP 1981 yang masih mendefinisikan korban sebagai “saksi yang mengalami”, diperlakukan sebagai alat bukti, tidak diakui suara dan pengalamannya sebagai korban dan tentunya tidak ada jaminan hak-hak korban. Karenanya, KUHAP 1981 dinilai hanya berorientasi pada hak-hak tersangka/terdakwa (offender rights based).

Akibatnya, khususnya pada kelompok rentan, berhadapan dengan hukum diibaratkan: “sudah jatuh tertimpa tangga”, korban menjadi korban tindak pidana, sekaligus korban dari berkerjanya aparat penegak hukum baik penundaan berlarut, penggunaan kuasa dan ketiadaan perspektif korban atau gender sampai judicial corruption dalam berbagai bentuknya. Akibatnya korban tidak mendapatkan hak atas keadilan dan pemulihan dari akibat tindak pidana yang dialami, baik langsung maupun tidak langsung.

Pentingnya jaminan hak korban, tidak dapat dilepaskan dari lahir dan perkembangan ilmu tentang korban dan pengalaman korban yang terus disuarakan dan didorong pengakuannya. Prof Mustofa (2017), Kriminolog dari Universitas Indonesia, mengidentifikasikan enam faktor yang menyumbang kemunculan ilmu tentang korban (viktimologi) dan perhatian masyarakat terhadap korban.

Pertama, sumbangan para pemikir reformasi penghukuman tahun 1940-an, yang menyarankan kepentingan korban kejahatan harus diperhatikan. Kedua, media massa yang mempublikasikan penderitaan korban kejahatan. Ketiga, peningkatan pengakuan adanya kelompok-kelompok rentan pada 1960an. Keempat, kasus-kasus menarik secara internasional maupun nasional yang menunjukkan penderitaan korban. Kelima, meningkatnya pengetahuan tentang korban kejahatan melalui survei korban dan pengakuan para ahli kriminologi. Keenam, meskipun terlambat, tentang pentingnya mempelajari dan memahami korban kejahatan dan menghasilkan disiplin viktimologi.

 

Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT PKKTP)

Perkembangan ilmu tentang korban juga mendorong lahirnya Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power) diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 40/34 tanggal 29 November 1985 (A/RES/60/147) dan di pengembangan konsep sistem peradilan pidana terpadu yang diintegrasikan dengan sistem layanan pemulihan korban. Untuk perempuan berhadapan dengan hukum disebut “Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan” (SPPT PKKTP)

SPPT PKKTP dirumuskan sebagai: “sistem terpadu yang menunjukkan proses keterkaitan antarpihak yang berwenang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan akses ke pelayanan yang mudah dan terjangkau bagi perempuan dalam setiap proses peradilan kasus kekerasan terhadap perempuan (Komnas Perempuan:2005). Sebagaimana subsistem dalam SPP, yang meliputi 4 (empat) tahapan pemeriksaan. Diantaranya penyelidikan/penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan juga pelaksanaan putusan, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penegak hukum sebagai subsistem SPP.

Namun, terdapat perbedaan mendasar yaitu SPPT-PKKTP menghadirkan subsistem lain yaitu “subsistem pemulihan” yang memberikan pelayanan terpadu kepada perempuan korban. Konsep ini sejatinya merupakan kritik pada paradigma positivis, yang atas nama otonomi hukum kerap menjauhkan kerja-kerja aparat penegak hukum dari dukungan kerja-kerja lainnya dan netralitas hukum yaitu perlakuan sama untuk setiap orang/kelompok tanpa menilai kebutuhan khasnya untuk dapat berhadapan dengan hukum.

Konsep ini telah diadopsi dalam UU PKDRT, UU TPKS dan UU TPPO. Maka, menjadi urgen RKUHAP mengadopsi hak-hak korban dalam konsep SPPT PKKTP sebagai bentuk sinkronisasi dan penegasan keseimbangan hak dan kepentingan para pihak.

 

Siti Aminah Tardi, Advokat Publik dan Direktur Eksekutif Indonesian Legal Resource Center (ILRC)

 

Referensi

General Assembly Resolution 40/34 (1985). Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, 29 November 1985

Komnas Perempuan (2005), Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang Berkeadilan Jander dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan. Komnas Perempuan:Jakarta, 2005

Muhammad Mustofa (2017). Viktimologi Posmodern, dalam Jurnal Kriminologi Indonesia Volume 13 Nomer 2, November 2017

Digiqole ad