Tiga Soko Guru Mengkreasi Serikat Buruh Responsif Gender

 Tiga Soko Guru Mengkreasi Serikat Buruh Responsif Gender

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Oleh: Dewi Nova

Sedikitnya ada 3 soko guru untuk mengkreasi serikat buruh responsive gender yaitu kesadaran dan kemauan keras serikat untuk memperjuangkan. Pertama, hak-hak maternitas. Kedua, keselamatan dan kesehatan kerja. Inimencakup selamat dari tindak diskriminasi seperti, kekerasan berbasis gender, kondisi kerja yang layak juga aman bagi pekerja yang sedang hamil. Ketiga, berlangsungnya ruang kondusif bagi perempuan untuk memimpin serikat. Lalu bagaimana tiga aspek itu saling menguatkan?

Pada sebuah percakapan sarapan pagi, aku dan teman dudukku memutar pikiran, mana yang lebih dulu dikreasi, apakah sebuah tatanan serikat buruh yang responsif gender atau mendorong-membekali anggota serikat perempuan untuk memimpin serikat. Harapannya, kehadiran mereka dapat mempercepat proses negosiasi terkait hak-hak cuti haid, cuti melahirkan-menyusui, perlindungan saat keguguran, penanganan kasus kekerasan berbasis gender, dan kerja layak di meja-meja perundingan perjanjian kerja bersama di tingkat pabrik/perusahaan.

Teman dudukku ini sudah 10 tahun memberi hidupnya untuk mengawani beberapa serikat dalam hal mengintegrasikan hak-hak maternitas, pencegahan, penanganan dan perlindungan korban kekerasan berbasis gender di dunia kerja. Pintu masuknya melalui memfasilitasi proses belajar bersama yakni penguatan beberapa serikat terkait kedua isu tersebut. Mereka akan menjadi ujung tombak melakukan perubahan di tingkat pabrik/perusahaan melalui negosiasi dengan pihak managemen perusahaan.

Dalam beberapa pertemuan sebelumnya, aku menyimak beberapa serikat yang tergabung dalam proses belajar bersama ini telah berhasil memperjuangkan, antara lain, cuti melahirkan 14 minggu di perusahaannya. Mereka mulai bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia untuk mendorong perusahaan menyediakan layanan pencegahan, penanganan, perlindungan korban kekerasan berbasis gender di pabrik atau di zona industri.

Keduanya merupakan kemajuan. Ya, kemajuan yang masih perlu dipantau terus pada pelaksanaannya, butuh dikonsultasikan -diuji perwujudannya oleh penerima manfaat yakni para buruh perempuan, apakah kedua kemajuan itu benar-benar mereka rasakan. Kemajuan ini masih harus diperjuangkan oleh lebih banyak serikat di tingkat pabrik/perusahaan.

Baca Juga: Kelompok Perempuan untuk Keadilan Buruh (KPKB): Menjembatani Buruh Perempuan Menjemput Keadilan

Bila dilihat dari perusahaan mana yang lebih cepat memenuhi perlindungan hak-hak maternitas dan perlindungan dari kekerasan berbasis gender, masih ada beberapa catatan yang perlu kita pikirkan bersama. Pernah aku begitu respek pada satu perusahaan tambang yang lebih cepat dari perusahaan garmen dalam memenuhi hak-hak maternitas. Waktu aku menanyakan hal itu pada sahabatku yang sudah puluhan tahun memberi hidupnya pada federasi serikat, ia memberikan catatan kritisnya. ”Ada dua hal yang membuat perusahaan tambang itu paling cepat menyetujui negosiasi terkait perlindungan hak-hak maternitas dan keamanan, keselamatan, kesehatan buruh perempuan. Jumlah buruh perempuan di perusahaan tambang itu hanya sekitar 1%. Dari perspektif untung-rugi, mereka tidak merasa terlalu rugi, walau sebetulnya itu kewajiban perusahaan untuk melindungi buruhnya, untuk memenuhi hak atas cuti haid, cuti melahirkan, menyusui, membangun toilet yang sehat dan aman untuk buruh perempuan. Tetapi perusahaan tambang tersebut masih enggan memenuhi hak-hak pekerja yang mengatur kesejahteraan buruh perempuan dan laki-laki. Sedangkan perusahaan garmen yang sekitar 90% buruhnya perempuan, mereka yang paling sulit memenuhi hak-hak tersebut karena perusahaan tidak mau rugi membangun jumlah ruang laktasi (ruang nyaman untuk menampung ASI), toilet yang seimbang dengan jumlah buruh perempuan, juga untuk pemenuhan cuti haid, melahirkan, menyusui ideal yang dianggap akan merugikan perusahaan.”

Dari refleksi tersebut, jelas kita masih berhadapan dengan cara pandang perusahaan sebatas untungrugi dalam menanggapi perlindungan hak-hak buruh. Ini masih jauh dari sebagai sebuah kesadaran untuk penghormatan martabat kemanusiaan buruh, yang menjadi mitra strategisnya dalam menggerakan roda perusahaan.

Baca Juga: Marsinah, Standpoint Perempuan dan Sedapnya Bawang Merah yang Belum Sempat Dinikmati

Apalagi ketika negara semakin menjauhi perannya untuk berdiri di belakang buruh. Hal itu terbukti dengan lolosnya UU Cipta Kerja yang anti buruh -perjuangan serikat buruh jadi berlipat ganda. UU Cipta Kerja antara lain telah memukul mundur pemenuhan hak cuti haid. Semula haid diatur sebagai peristiwa alami tubuh perempuan, sekarang dikonstruksi sebagai penyakit atau sakit. Pembaruan makna menstruasi pada UU Cipta Kerja yang demikian menyebabkan buruh perempuan harus menunjukkan surat sakit dari dokter untuk mengakses hak cuti haidnya.

Perjuangan serikat yang berlipat ganda itu menjadi semakin berlipat bagi aggota serikat yang perempuan. Di antara gempuran negara yang semakin jauh dari pro buruh dan perusahaan yang hanya berpikir untung rugi, mereka pun perlu bernegosiasi di dalam tubuh serikat. Ya, sebelum mereka duduk bernegosiasi di meja perundingan dengan managemen perusahaan.

Pada pertemuan 9 perwakilan serikat buruh yang dihadiri buruh perempuan, hanya 2 peserta yang memiliki posisi ketua serikat di tingkat pabrik. Capaian keduanya merupakan capaian yang berdarah-darah. Mereka harus merubuhkan persepsi di tubuh serikat bahwa pemimpin berjenis kelamin laki-laki lebih lazim dan dapat diandalkan dibanding pemimpin serikat berjenis kelamin perempuan. Mereka juga harus mengatasi sendiri  persoalan-persoalan yang tidak akan dihadapi para pemimpin laki-laki. Seperti, selain mengemban tanggung jawab sebagai ketua serikat, saat bersamaan mereka dituntut memenuhi tanggung jawab tradisionalnya sebagai isteri, ibu, tanpa dukungan serikat, termasuk jam rapat serikat yang seringkali hanya mengikuti jam luang dan jam aman para anggota serikat laki-laki.

Berkaca pada situasi demikian, sangat sulit mengharap perempuan dapat memimpin serikat. Bila serikat tak turut serta memahami persoalan-persoalan domestik anggota serikat yang perempuan, juga memahami -beradaptasi misalnya dengan jam rapat yang lebih aman untuk perempuan.

Baca Juga: Survei: Dunia Kerja di Indonesia Rawan Kekerasan dan Pelecehan

Sungguh kita tak dapat serta merta mengharap perempuan menjadi pemimpin-pemimpin serikat yang handal tanpa meningkatkan kehandalan serikat untuk mengintegrasikan kultur perempuan pada tubuh serikat. Mengadaptasi jam rapat yang ramah bagi anggota serikat perempuan, mengikis kultur yang menganggap normal pelecehan terhadap perempuan dan menganggap perempuan tidak lebih handal dari anggota serikat laki-laki. Juga mengurung perempuan pada tanggung jawab tertentu, seperti bendahara dan divisi perempuan.

Lahir dan tumbuhnya pemimpin serikat perempuan rupanya berkelindan dengan seberapa serikat mau mengubah diri untuk menjadi ruang juang yang mungkin tak hanya untuk buruh laki-laki tapi juga buruh perempuan. Mimpi semakin banyaknya para negosiator perempuan di meja perundingan yang akan mempercepat pemenuhan perlindungan hak-hak maternitas, kesehatan keselamatan kerja,termasuk bebas dari kekerasan berbasis gender, sejalan dengan seberapa niat dan praksis baik di tubuh serikat membantu anggota serikat perempuan mengatasi hambatan  berbasis gender di dalam rumah tangganya, di tubuh serikat, dan kemudian di dunia kerja. []

 

Dewi Nova senang belajar hidup bersama semesta,  menulis puisi, cerpen, esai sosial dan naskah akademis. Bukunya Perempuan Kopi, Burung Burung Bersayap Air, Mata Perempuan ODHA, Di Bawah Kaki Sendiri: Pengabaian  Negara Atas Suara Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama /Berkeyakinan,  Akses Perempuan Pada Keadilan dan Mengkreasi Bisnis yang Produktif dan Inklusif KeragamanSeksual.  Dewi  dapat dihubungi  melalui dewinova.wahyuni@gmail.com.

 

 

 

 

Digiqole ad