Teror Mantan Pacar Membelenggu Kebebasan Perempuan Asal Jawa Tengah

 Teror Mantan Pacar Membelenggu Kebebasan Perempuan Asal Jawa Tengah

Oleh : Ivo

Praktik kekerasan terhadap perempuan dalam pacaran jarang mendapat perhatian publik. Praktik ini seringkali hanya bisa ditemukan di berbagai obrolan intens antar teman atau media sosial, dengan identitas yang dirahasikan atau anonim.

Korban Kekerasan dalam Pacaran (KDP) seringkali merasa kasihan terhadap pelaku lantaran pondasi hubungan tersebut didasari dengan rasa sayang. Namun berbeda dengan seorang mahasiswi asal Jawa Tengah, yang berani melawan jeratan kekerasan dari mantan kekasihnya hingga ke ranah kepolisian. Mahasiswi berusia 26 tahun, sebut saja H, terkena teror mantan pacarnya selama kurang lebih dua tahun. Kekasihnya merasa sakit hati karena H memutuskan hubungan mereka. Sejak saat itu, H kerapkali dihubungi kekasih yang telah menjadi mantan pacarnya melalui aplikasi chatting dan media sosialnya. Bahkan pelaku sering mendatangi kos an H secara tiba-tiba tanpa sepengetahuannya.

Dari berbagai keterangan saksi, pelaku bersikap superior selama menjaln hubungan dengan korban. Sikap tersebut tercermin dalam beberapa tindakannya. Seperti merampas smartphone korban untuk mengecek isi pesan, melakukan kekerasan secara fisik, dan pernah mengamuk, menggedor pintu serta meninju dinding basecamp organisasi korban dengan alasan yang tidak jelas.
Tidak berhenti di situ, korban mendapat kekerasan berlapis. Selain kekerasan fisik, korban juga mendapat Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Pelaku menyebarkan foto bersama korban di dalam sebuah kamar, meski dalam foto tersebut korban berpakaian lengkap, namun keterangan foto tersebut mengarah pada KBGO. Pelaku mengklaim bahwa korban pernah berhubungan badan dengannya namun menolak untuk dinikahi. Unggahan tersebut ditandai kepada akun media sosial yang berhubungan dengan korban, seperti pondok pesantren korban. Berbagai tindakan tersebut berhasil membuat korban merasa takut dan frustasi.

 

Semua Bermula dari Pertemuan Organisasi

Pelaku da korban pertama kali bertemu saat pertemuan organisasi. Meski keduanya berbeda kampus dan pelaku merupakan kakak tingkat dengan selisih dua tahun, mereka memutuskan menjalin hubungan.

Korban merupakan angkatan 2019, sementara pelaku angkatan 2016. Korban dan pelaku sempat berpacaran sekitar satu tahun dan kemudian korban menginginkan hubungan tersebut berakhir. Saat itu, korban terplih sebagai ketua dalam badan semi otonom organisasi dan merasa perlu untuk mementingkan visi misi organisasinya ke depan.

Pertimbangan lainnya, korban mulai merasa sadar sedang berada dalam hubungan yan tidak sehat.Saya tidak tahu pasti alasannya, yang jelas momentum itu berbarengan dengan saat korban terpilih menjadi ketua dalam badan semi otonom organisasi tersebut.

Pelaku tidak terima atas keputusan tersebut, lantas mulai meneror korban secara terus menerus. Kurang lebih teror tersebut berlangsung selama dua tahun. Korban, teman, dan organisasinya tidak mampu menghentikan teror tersebut. Hingga akhirnya korban memberanikan diri untuk membawa permasalahan tersebut ke ranah hukum.

Korban merasa tidak berdaya menerima semua teror dari pelaku. Korban juga merasa bahwa pelaku masih memiliki banyak hal yang bisa dijadikan ancaman untuk mencemarkan nama baik. Mengingat, foto sebelumnya sudah mempengaruhi citra korban terhadap organisasi, pondok pesantren dan keluarga korban.

Laporan ke pihak yang berwenang masuk tercatat pada 7 Oktober 2024 dan permasalahan ini selesai pada 25 Oktober 2024. Korban dan pelaku bertemu untuk menandatangani surat keputusan bersama atau surat damai di kepolisian. Korban hanya ingin pelaku menghapus segala foto atau dokumen yang berkenaan dengannya serta berhenti melakukan teror.

Setelah kesepakatan damai tersebut, mantan kekasihnya akhirnya berhenti melakukan teror, baik secara pribadi maupun melalui media sosial. Korban juga telah membatasi komunikasi dengan pelaku. Baik korban ataupun keluarga dan teman-temannya merasa lega dan aman.

Akibat kejadian ini, korban sangat terpuruk dan trauma. Bahkan korban kerapkali merasa takut jika mendengar suara knalpot motor yang hampir sama dengan motor kekasihnya dulu. Dukungan dari keluarga, teman dan lingkungan memberi korban kekuatan dan keberanian untuk menghadapi kekerasan yang ia alami. Sejauh ini korban meyakini bahwa kebahagiaan dan keterpurukan merupakan kendali pada setiap orang, oleh karena itu korban berusaha untuk sembuh dan menciptakan kebahagiaannya kembali.

Ivo, penulis merupakan salah satu peserta dalam Lomba Tulisan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak 2024.

Cerita ini didasaran pada kisah nyata yang dituturkan narasumber kepada penulis. Dalam hal ini, semua identitas dalam tulisan ini hanya penulis yang mengetahuinya.

 

Digiqole ad