Tantangan UU TPKS dalam Menjangkau Masyarakat Adat
15 bulan sejak diundangkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menuai banyak catatan. Salah satunya masyarakat adat yang selama ini terpinggirkan. Catatan itu datang dari Kemitraan Partnership for Governance Reform. Melalui kertas kerjanya, Kemitraan mengungkap temuan kekerasan seksual pada perempuan adat. Kertas kerja ini merupakan hasil pengalaman pendamping dan FGD yang dilakukan Kemitraan.
Bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan adat antara lain, pertama, perkawinan paksa. Kemitraan menemukan bentuk kekerasan seksual yang terjadi di komunitas adat dilakukan di usia kurang dari 17 tahun. Salah satunya yang terjadi dalam program Estungkara (program Kemitraan yang mencakup masyarakat adat di 7 provinsi di Indonesia). Pendamping adat wilayah itu mengatakan seringkali menemui anak yang menikah di usia dini dan baru menstruasi 3-4 tahun setelah menikah.
Kedua, pemaksaan penggunaan kontrasepsi. Dalam satu komunitas adat dampingan Kemitraan, ditemukan perempuan adat dipaksa untuk menggunakan satu pilihan kontrasepsi tertentu. Dalam temuannya, perempuan adat dipaksa menggunakan suntik KB tanpa adanya penjelasan tentang jenis dan alat kontrasepsi lain. Perempuan adat bahkan tidak mendapatkan penjelasan tentang dampak penggunaan suntik KB bila digunakan bertahun-tahun. Yang terjadi kemudian, setelah empat hingga lima tahun menggunakan kontrasepsi suntik KB, perempuan adat kesulitan jika hendak menambah keturunan.
Implementasi UU TPKS masih belum menjangkau masyarakat adat. Tantangan demi tantangan masih perlu terus dicarikan solusi agar UU TPKS tidak mengecualikan masyarakat adat. Tantangan pertama, masyarakat adat masih menganggap kekerasan seksual sebagai aib. Kasus kekerasan seksual masih dianggap sebagai sesuatu yang membuat malu keluarga dan lingkungan adat. Ini mengakibatkan banyak kasus kekerasan seksual yang tidak terungkap. Terlebih jika pelaku adalah ketua adat, pemerintah desa, atau keluarga yang berkaitan dengan keduanya, maka kasus kekerasan seksual semakin sukar diungkap ke publik. Dalam hal ini, publik merupakan komunitas adat, desa, dan pengadilan formal atau hukum formal.
Baca Juga: UU TPKS Ajak Korban Kekerasan Seksual Berani Lapor
Tantangan kedua adalah hukum adat yang masih menjadi pedoman hidup komunitas masyarakat adat. Salah satu kasus kekerasan seksual terjadi di Sumba Timur. Pelaku adalah orang yang masih merupakan anggota komunitas adat. Dalam sidang adat, pelaku dan korban dihadirkan. Korban bahkan dipaksa bersalaman dengan pelaku dan mengucapkan kalimat perdamaian. Penyelesaian melalui adat ini dikatakan demi harmonisasi di lingkungan komunitas adat. Selebihnya tidak ada pembahasan mengenai penanganan, pemulihan, apalagi perlindungan bagi korban. Padahal ini penting diupayakan agar ke depan korban dapat lebih berdaya dan merasa aman di lingkungan tempatnya tinggal.
Ada juga kasus kekerasan seksual yang terjadi pada Suku Anak Dalam. Sidang adat dilakukan dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku. Sanksi atau hukuman berupa beberapa gantang beras di mana satu gantang sekira 8 kilogram. Selain itu, pelaku juga diminta menyerahkan 100 butir kelapa ditambah dengan selemak dan semanis seperti rempah-rempah beserta aneka bumbu. Sanksi diberikan tanpa lebih dulu mendengar keterangan dari korban dan pelaku.
Pemberian sanksi kepada pelaku kasus kekerasan seksual juga pernah terjadi di komunitas adat yang sama. Seorang guru ngaji melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak dari Suku Anak Dalam. Guru ngaji ini berasal dari luar komunitas adat yang tinggal bersama di dalam pemukiman mereka. Pengalaman dari pendamping program Kemitraan mengalami kesulitan untuk membongkar dan mendapatkan cerita dari anak-anak yang menjadi korban. Korban merasa malu jika orang tuanya tahu kejadian yang menimpanya. Setelah melalui rangkaian penguatan akhirnya korban bercerita. Cerita ini lalu disampaikan kepada orang tua korban dan membicarakannya dengan Ketua Adat. Dari sini sidang adat terjadi, termasuk melibatkan pemerintah desa. Hukuman adat memerintahkan pelaku diusir dari komunitas adat.
Kasus kekerasan seksual di lingkungan masyarakat adat butuh penanganan ekstra, terlebih dalam menempuh layanan hukum formal. Selain kekerasan seksual masih dianggap aib, pemukiman masyarakat adat yang jauh dari akses dan layanan hukum formal juga menjadi tantangan yang khas. Bagi masyarakat adat, untuk mengakses layanan tersebut butuh waktu lama dan ongkos yang mahal.
Baca Juga: 12 Tahun Silam Banyak Orang yang Belum Mengetahui: Apa Itu Kekerasan Seksual?
Absennya sosialisasi tentang kekerasan seksual semakin meminggirkan masyarakat adat dari jangkauan UU TPKS. Belum lagi pantangan bagi lembaga adat untuk membawa kasus kekerasan seksual ke luar atau dilaporkan ke pihak berwajib.
Masyarakat adat kaya akan kearifan lokal baik upaya maupun nilai-nilai untuk menghargai dan menghormati perempuan. Pada Suku Anak Dalam atau yang biasa disapa Orang Rimba, misalnya, perempuan yang sedang bekerja di ladang memiliki kebiasaan untuk menggantung keranjang di salah satu pohon sebagai penanda keberadaannya. Jika ada laki-laki hendak melewati area tersebut maka dia harus bersiul, memberitahukan bahwa ada laki-laki yang akan lewat di area perempuan rimba yang sedang berladang.
Dalam UU TPKS, lembaga adat dikatakan sebagai institusi lainnya sebagaimana pada Bab VI tentang penyelenggaraan pelayanan terpadu perlindungan perempuan dan anak di pusat dan daerah Pasal 73 ayat (2) huruf k. Ini menjadi tantangan pemerintah dan masyarakat untuk memberikan perhatian lebih dalam sosialisasi, pencegahan, penanganan, pelindungan, dan pemulihan terhadap korban TPKS yang berasal dari komunitas masyarakat adat. Agar masyarakat adat tidak terus terpinggirkan dari layanan dasar, termasuk dari jangkauan kepastian hukum layanan formal UU TPKS. [Nur Azizah]
Sumber:
https://www.youtube.com/watch?v=LSpNUmbb00c