Tanggap Cepat Rakyat Membantu Perempuan Korban Kekerasan
Oleh: Dewi Nova
Di masa pandemi ini, apa yang dapat kita lakukan sebagai rakyat, bila ada perempuan korban butuh diselamatkan dari kekerasan dalam waktu 60 menit? Sementara lembaga-lembaga pemberi layanan sedang kewalahan mendampingi kasus kekerasan yang bertambah 300 % jumlahnya dan anggota DPR masih ‘bingung’ dengan RUU PKS.
Cepat Tanggap di Masa Krisis
Desember, 2000, Jumat, pukul 9 malam, seorang perempuan menghubungiku. Ia lari dari rumah untuk menghindari kekerasan yang lebih buruk dan belum tahu mau ke mana. “Aku butuh tempat yang aman,” kata perempuan itu. Aku tanya “saat ini mbak dalam keadaan aman? dan di mana?” Dia sedang ketakutan dan khawatir dikuntit. Setelah dia menyebutkan lokasi dia berada, aku kemudian jadi sedikit tahu situasi di sekelilingnya.
Aku menyarankannya agar mencari lokasi publik –yang dapat melihat dan dilihat—kalau memungkinkan yang ada petugas keamanan. Dan bila ada ancaman dari pelaku atau lainnya, agar segera menyampaikan ke petugas keamanan sekitar. Bila tidak ada petugas, upayakan untuk menarik perhatian publik. Setelah dia menemukan tempat yang aman, stasiun KRL, aku meminta ia tinggal di bagian dalam stasiun dan sebisa mungkin tidak jauh dari petugas KRL. Kami mulai membincang sumber daya dan waktu. Uang perempuan itu diambil semua oleh pasangannya, ia hanya punya kartu KRL. Keberangkatan KRL terakhir ke sebagian jurusan tinggal satu jam ke depan.
Ini situasi malam hari di masa pandemi, sebagian besar layanan publik di Jakarta tutup lebih awal. Kini waktu yang tersisa tinggal 45 menit, untuk memutuskan kawan perempuan ini akan dibantu siapa dan lalu memilih kereta jurusan mana. Kami berbagi tugas. Ia menghubungi layanan hotline lembaga yang memberikan bantuan shelter. Aku menghubungi kawan-kawan yang sekiranya sedia memberi tempat tinggal, setidaknya untuk semalam, sebagai antisipasi bila ia tidak dapat mengakses shelter malam ini.
Aku memutar ingatan siapa kawan yang kemungkinan bisa bantu dan tak jauh dari stasiun. Ada kawan-kawan pekerja seks yang berpengalaman mendampingi sesama pekerja seks yang mengalami kekerasan. Aku segera menanyakan pada kawan perempuan itu, apakah ia berkenan dibantu oleh kawan-kawan pekerja seks dan bermalam di kontrakan mereka? Hal ini perlu ditanyakan karena setiap korban punya nilai, keterbukaan, dan ketertutupan masing-masing dengan siapa mereka nyaman dikawani. Ia berkenan. Aku segera menghubungi kawan pekerja seks. Sayang sekali, telponku belum diangkat, barangkali ia sedang bekerja.
Waktu bergulir cepat. Kawan perempuan ini juga terus menghubungi nomor layanan hotline dan beberapa kontak lembaga penyedia layanan. Sebagian menjawab, pekerjanya sedang di bandara, sebagian menjawab belum dapat membantu karena layanan sedang off. Kami lupa, selain sudah malam, hari itu Jum’at. Sebagian lembaga penyedia layanan, tentu berhak untuk off akhir pekan, setelah 5 hari bergumul dengan pelayanan kasus.
Aku menarik nafas panjang, berdoa, mengumpulkan energi baik. Aku sendiri sedang positif terinfeksi Covid-19, tidak menerima tamu demi keselamatan bersama. Aku minta kawan perempuan ini untuk menghubungi kawan atau kerabat lain yang dapat membantunya. Otakku berputar mencari kawan lain yang bisa bergerak cepat di masa pandemi, hari Jum’at dan waktu sudah menunjukan pukul 9.30 malam. Sahabatku, gay, hidup sendiri, dengan cita rasa kemanusiaan yang baik, melintas di pikiranku. Aku kembali bertanya kepada kawan perempuan, apakah ia bersedia dibantu seorang gay? Ia bersedia. Ia segera naik KRL jurusan yang mendekat ke lokasi sahabatku. Tiga puluh menit kemudian, ia sudah makan malam bersama sahabatku. Untuk malam ini, kawan perempuan, mendapatkan tempat istirahat yang akan diusahakan oleh kawanku yang gay. Langkah selanjutnya akan kami rembug keesokan harinya.
Kreativitas Mengawani Perempuan Korban
Keesokan harinya, kami mulai bertukar pikiran mengenai kebutuhan kawan perempuan dan peluang sekaligus keterbatasan kami untuk mengawaninya selama masa krisis. Juga kemunginan menjalinkan kebutuhannya dengan lembaga-lembaga penyedia layanan pemulihan psikologis dan bantuan hukum untuk perempuan korban kekerasan, bila ia butuhkan.
Pengalaman kesulitan mendapatkan shelter dalam waktu singkat dan mendesak dari lembaga penyedia layanan menjadi refleksi kami, bahwa saatnya rakyat untuk ambil peran dalam pemberian bantuan tempat tinggal yang aman. Juga keterbukaan perempuan korban pada kemungkinan mendapat bantuan shelter yang tidak melembaga sebagaimana berhasil dikampanyekan dalam puluhan tahun terakhir. Karena pada kenyataannya, shelter dan lembaga penyedia layanan sedang kewalahan.
Di satu sisi kewalahan menerima korban yang meningkat jumlahnya sejak masa pandemi, di sisi lain kewalahan membiayai shelter dan kapasitas layanan lainnya. Dari perbincangan dengan kawan-kawanku yang bekerja di lembaga penyedia layanan, aku mendapat kesan, mereka semakin sulit mendapatkan dukungan donor untuk penanganan kasus kekerasan. Lembaga kolaboratif negara-sipil seperti P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) juga tak lepas dari dinamika yang sama. Selain masih ada tantangan terkait perspektif dan keterampilan mengawani korban dan lainnya.
Aku memahami bila kawan perempuan tidak dapat segera mengakses layanan mereka. Di tengah kesulitan itu, kepedulian yang dilakukan oleh kawan gay, tidak saja perlu diapresiasi tapi perlu kita kembangkan bersama.
Selanjutnya, bagaimana kami memikirkan tempat tinggal yang lebih panjang waktunya, sambil mengawani kawan perempuan sampai dia kembali mandiri untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Pada tahap ini, kreativitas pemikiran bagaimana ia bisa bekerja sesuai kondisinya saat ini agar mendapatkan uang dan tempat tinggal yang aman dan terjangkau, menjadi satu jalinan pemikiran.
Melalui pengenalan kami pada bakat, kemampuan, dan kondisi mental kawan perempuan, serta menimbang kelola resiko keamanan dia dan kami sebagai pihak yang mengawani, akhirnya ditemukan satu pemikiran bersama. Kawan gayku mencarikan pekerjaan paruh waktu yang sesuai minat dan keahlian kawan perempuan. Harapannya, setelah seminggu kami bantu, kawan perempuan mampu membeli kebutuhannya sendiri, terutama makan-minum dan obat-obatan. Kami juga menggalang dana melalui penjualan tas layak pakai untuk kebutuhan makan dan obat selama satu minggu pertama dan biaya tempat tinggal.
Sedangkan untuk penguatan mentalnya, aku menjadi kawan berbincangnya, agar ia dapat lebih optimal mengarahkan pikiran dan perasaannya pada langkah selanjutnya untuk kemandirian perasaan cinta, mental, dan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Tentu semua dilakukan melalui telpon dan WA, karena aku positif Covid. Aku akan mengawani sampai batas kemampuanku dan kesesuaian-kebutuhan kawan perempuan. Selain mempersiapkan jaringan psikolog bila ada kebutuhan lebih lanjut, juga membuka komunikasi dengan lembaga bantuan hukum, bila ada kebutuhan pencarian keadilan dan perlindungan melalui proses hukum.
Satu Rakyat Satu Peran Satu Korban Selamat
Apa yang sedang kami tempuh, tentu sudah banyak dilakukan oleh kawan-kawan yang lain. Catatan ini ditulis untuk mengajak lebih banyak rakyat terlibat dalam mengawani perempuan korban kekerasan, menurut kemampuannya masing-masing. Mereka yang mampu menguatkan mentalnya, dapat menjadi teman berpikir perempuan korban. Mereka yang punya tempat tinggal, bisa berbagi ruang singgah 1 – 3 hari, terutama sebelum ada jalan keluar korban selanjutnya mau tinggal di mana. Yang lain dapat berbagi makanan-minuman, pulsa internet, dan obat-obatan. Mereka yang dapat memberikan pekerjaan, dapat membantu korban agar secepatnya bisa mendapat penghasilan, terutama bagi korban yang tergantung secara ekonomi pada pelaku atau kehilangan akses pada pekerjaan akibat peristiwa kekerasan.
Mengenai bagaimana mengembangkan perspektif, pengetahuan, dan keterampilan mengawani korban, merupakan proses yang dapat dan perlu terus dipelajari bersama. Saling belajar sesama kawan dan bertanya kepada para penyedia layanan atau pihak lain yang berpengalaman, salah satu cara yang dapat ditempuh. Semoga kreativitas #rakyatbanturakyat dalam penanganan korban kekerasan menjadi salah satu cara mengurangi kesengsaraan korban. Kesengsaraan korban akibat pengesahan RUU PKS yang lamban, pembatasan karena pandemi, dan persoalan sistemik lainnya. Kreativitas ini juga semoga menurunkan kelelahan dan kewalahan LSM, badan kolaboratif negara-sipil, dan lembaga keagamaan yang selama ini telah bekerja keras memberikan layanan bagi korban.
Setidaknya, bila satu orang rakyat mengambil satu peran dukungan dari beberapa kebutuhan korban, dan saling bahu-membahu, kemungkinan korban terselamatkan -dari resiko kekerasan dan kondisi hidup yang lebih buruk- semakin terbuka lebar.[]
Penulis buku Perempuan Kopi, dapat dihubungi melalui dewinova.wahyuni@gmail.com.