Suicidal Thought dan Permasalahan Sosial yang Dihadapi Individu Autistik

 Suicidal Thought dan Permasalahan Sosial yang Dihadapi Individu Autistik

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Oleh: Soh Choo-Kee

Suicidal thought atau pikiran untuk bunuh diri merupakan permasalahan mental yang serius. Individu autistik merupakan salah satu kelompok yang rentan mengalaminya. Dilansir dari situs web organisasi amal dan riset Austistica, individu austistik dewasa yang tidak memiliki learning disability memiliki kemungkinan 9 kali lebih besar untuk meninggal bunuh diri. Sementara untuk individu autistik usia anak-anak, terdapat kemungkinan 28 kali lebih besar untuk memiliki suicidal thought.

Menurut lembaga tersebut, terdapat permasalahan yang menyebabkan orang-orang allistik (non-autistik) sulit melihat tanda suicidal pada individu autistik. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan cara berkomunikasi dan berinteraksi, rasa sulit individu autistik untuk mengkomunikasikan pikiran mereka, serta ketidakinginan seorang autistik untuk membicarakan tentang suicidal thought yang ia alami.

Perlu diketahui bahwa autisme merupakan sebuah kondisi neurologis yang dapat memengaruhi kemampuan interaksi sosial dan komunikasi. Sebab autisme juga dikategorikan sebagai disabilitas perkembangan seumur hidup, maka penting bagi kita untuk memahami perbedaan antara autistik dengan allistik dalam berkomunikasi, alih-alih menstigma individu autistik sebagai “penyakit yang harus disembuhkan”.

Ketika lingkungan masih menstigma autisme sebagai penyakit dan aib, maka akan sangat sulit bagi individu autistik untuk menjadi terbuka mengenai pikiran dan perasaan yang mereka alami. Stigma membuat seorang individu autistik terpinggirkan oleh lingkungannya. Maka dari itu, penting bagi kita untuk mempelajari dan menghargai ciri-ciri autisme dan apa yang dialami oleh individu autistik.

Adapun menurut WebMD, beberapa ciri-ciri autisme adalah sebagai berikut.

  1. Lebih suka menyendiri
  2. Menghindari kontak mata
  3. Mengulangi suatu kata dalam berbicara
  4. Melakukan suatu gerakan/tindakan secara repetitif –atau biasa dikenal sebagai stimming
  5. Sewaktu-waktu melakukan suatu gerakan secara konstan
  6. Memiliki sensitivitas tinggi
  7. Menjadi fussy eater
  8. Menjadi impulsif
  9. Memiliki attention span yang pendek
  10. Kesulitan memahami emosi orang lain
  11. Tidak atau jarang peka terhadap gestur/isyarat
  12. Tidak memahami sarkasme

Autisme sendiri merupakan spektrum, yang artinya setiap individu autistik memiliki tanda autistik yang berbeda-beda. Seringkali kondisi individu autistik dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu autisme ringan (high-functioning autism) dan autisme berat (low-functioning autism).  Dua kelompok ini biasanya dibedakan berdasarkan kemampuan berkomunikasi. Namun, sebenarnya autisme merupakan kondisi neurologis yang lebih kompleks daripada pengelompokan “berat-ringan”.

Baca Juga: UU Disabilitas: Apa Saja Hak-Hak Penyandang Disabilitas?

Selain itu, orang-orang allistik juga perlu memahami bahwa autisme adalah kondisi neurologis seumur hidup. Artinya, banyak pula orang dewasa yang memiliki autisme. Sayangnya, individu autistik tak jarang mendapatkan ekspektasi “sembuh” saat usia dewasa, sehingga hak mereka untuk mendapatkan kebutuhan dan dukungan khusus sebagai autistik sering dirampas.

Diskriminasi terhadap Individu Autistik

Menurut aktivis Pemuda Autisme Indonesia, Ireisha Anindya, pandangan yang meliyankan individu autistik merupakan hal yang melandasi diskriminasi terhadap mereka. Dilansir dari situs Anotasi, Ireisha menuliskan bahwa individu autistik mengalami diskriminasi mulai dari pendidikan, lingkungan kerja, hingga penegakan hukum.

Dalam hal pendidikan, individu autistik mengalami diskriminasi karena tidak semua daerah memiliki sekolah dengan infrastruktur dan SDM yang cukup untuk mempraktikkan pendidikan inklusif. Masih banyak tenaga didik yang bias negatif terhadap murid autistik, sehingga murid autistik rentan mendapatkan perundungan. Bahkan untuk level pendidikan tinggi, hanya terdapat 17 universitas yang memiliki Unit Layanan Disabilitas.

Dalam hal pekerjaan, individu autistik mengalami hambatan mulai dari pencarian kerja, interaksi, hingga politik kantor. Hal ini karena budaya kerja masih mengikuti bias “normal” ala allistik. Pada saat wawancara, tanda-tanda autisme membuat para individu autistik sering mendapatkan persepsi negatif, mengingat presentasi autistik tidak sesuai dengan “standar normal” ala allistik.

Dalam penegakan hukum pun, individu autistik juga mengalami diskriminasi. Menurut Ireisha, aparat kerap menjadi responden pertama berbagai kasus kriminal ataupun kecelakaan. Presentasi individu autistik yang berbeda dengan ekspektasi sosial membuat mereka rentan menjadi korban tindak kekerasan aparat. Tanda autisme seperti tindakan repetitif, minimnya kontak mata, hingga ciri komunikasi menyebabkan individu autistik rawan menjadi korban kriminalisasi.

Pembahasan tersebut belum membahas diskriminasi yang dialami oleh individu autistik di keluarga, tempat ibadah, dan tempat-tempat lainnya. Di masyarakat, individu autistik seringkali dianggap sebagai aib. Sehingga, tidak jarang keluarga mengekspektasikan individu autistik untuk sembuh dan menginvalidasi autisme.

Baca Juga: Membaca Ulang Kebutuhan Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan

Para orangtua yang memiliki anak autistik masih banyak yang memiliki bias negatif terhadap autisme. Hal ini menyebabkan mereka melakukan langkah yang salah. Misalnya, bercerita kepada pemuka agama tentang dirinya yang memiliki anak autistik dan meminta diadakan doa bersama agar ada mukjizat anaknya sembuh dari autisme. Langkah tersebut merupakan bentuk  sikap tidak menerima kondisi anak, selain itu juga dapat membuat individu autistik trauma.

Diskriminasi dan stigma berat yang dihadapi oleh individu-individu autistik membuat mereka rentan terhadap masalah kesehatan mental.

Melawan Stigma dan Menjadi Ally untuk Kawan-Kawan Autistik

Untuk menjadi ally (sekutu/kawan) bagi individu autistik, orang-orang allistik perlu ikut andil bersama individu-individu autistik melawan stigma terhadap autisme. Hal ini bisa dimulai dari menanamkan pada diri sendiri bahwa autisme bukan penyakit, melainkan kondisi neurologis yang memiliki kebutuhan khusus. Dirjen Yankes Kemkes RI sendiri menyatakan bahwa autisme bukanlah penyakit, melainkan kondisi di mana otak bekerja dengan cara yang berbeda dari orang lain.

Hindari mengucapkan hal-hal yang cenderung stigmatis atau menjadikan autisme sebagai insult, contohnya, “Kapan autisme kamu sembuh?” atau “Dasar autis!”. Hindari juga menyebut individu autistik sebagai “penderita autisme” –individu autistik menderita karena sistem yang mendiskriminasi mereka bukan semata-mata karena kondisi neurologis. Lebih baik menggunakan sebutan “individu autistik”. Bila menemui seseorang yang mengucapkan hal-hal yang menstigma autisme, ingatkan bahwa itu salah dan beri edukasi.

Orang-orang allistik perlu menerima tanda autisme seorang individu autistik sebagai jati dirinya. Daripada meminta individu autistik untuk “menyembuhkan” tanda autisme yang mereka punya, sebaiknya orang-orang allistik belajar untuk menghargai dan tidak menghakimi tanda autisme seseorang. Contohnya:

  1. Ketika seorang individu autistik butuh waktu untuk menyendiri, jangan distigma atau dihakimi “tidak mau bergaul” “tidak asik”.
  2. Ketika seorang individu autistik menghindari kontak mata, jangan distigma, “tidak sopan”. Itu bukan karena individu autistik tidak tahu kesopanan, melainkan karena adanya perbedaan dari segi sensorik antara allistik dan autistik.
  3. Ketika seorang individu autistik tidak memahami sarkasme (yang dibuat oleh orang allistik), bukan karena mereka bodoh, melainkan karena perbedaan komunikasi autistik dan allistik membuat autistik cenderung very trusting – anggaplah autistik dan allistik adalah dua bahasa yang berbeda.

Selain itu, memahami autisme sebagai spektrum penting agar orang-orang allistik tidak menggeneralisir kondisi autisme. Setiap individu autistik memiliki tanda autisme dan kebutuhan yang berbeda-beda. Hindari penilaian yang cenderung menginvalidasi kondisi autisme, seperti, “Kamu tidak terlihat seperti orang autis!” – autisme adalah kondisi neurologis, bukan soal penampilan. Hindari juga membandingkan tanda autisme seorang individu autistik dengan individu autistik lain, karena autisme seyogyanya menjadi jati diri, bukan perlombaan. Dibanding menggeneralisir atau membandingkan, lebih baik perbanyak bertanya dan mendengarkan suara individu-individu autistik untuk memahami kondisi dan kebutuhan mereka.

Baca Juga: Difabel dalam Rekrutmen CPNS

Hindari juga terjebak dalam pengkotak-kotakan autistik berat dan autistik ringan. Seringkali, pengkotak-kotakan autistik berat dan autistik ringan membuat orang-orang yang dianggap memiliki “autisme berat” tidak memiliki kapabilitas dalam segala hal. Sementara, orang-orang yang dianggap memiliki “autisme ringan” dianggap tidak memerlukan dukungan khusus, sehingga mereka rentan didiskriminasi di lingkungan. Pengkotak-kotakan high-functioning dan low-functioning seringkali bermuara pada diskriminasi.

Kerentanan individu autistik terhadap masalah kesehatan mental dan suicidal thought adalah alasan mengapa orang-orang harus mengakhiri diskriminasi dan stigma. Orang-orang perlu mendorong pendidikan dan lingkungan kerja yang inklusif dan autism-friendly. Dengan adanya pendidikan yang inklusif dan lingkungan kerja yang autism-friendly, kerentanan individu autistik terhadap masalah kesehatan mental dan ekonomi semakin berkurang.

Perbedaan pola komunikasi antara autistik dengan allistik juga membuat tanda suicidal thought autistik dan allistik berbeda. Oleh karena itu, dalam berkomunikasi, penting untuk tidak membuat asumsi atau penilaian. Jangan meremehkan tanda atau ungkapan suicidal dan menganggap itu candaan.[]

 

Soh Choo-Kee adalah seorang individu transnon-biner autistik yang mempelajari isu kesetaraan gender, hak-hak minoritas seksual, dan hak-hak disabilitas

 

Digiqole ad