Suara Perempuan Korban Tragedi ’65
Oleh: Uung Hasanah
Judul : Suara Perempuan Korban Tragedi ‘65
Penulis : Ita F. Nadia
Penerbit : Galangpress
Ukuran : 150 x 230 mm, 188 halaman
“Kami bukan pembunuh dan pelaku kekerasan terhadap jenderal seperti yang dituduhkan selama ini kepada kami. Kami ingin dikembalikan sebagai manusia merdeka dan bermartabat. Bukan karena dendam, tapi agar kekerasan yang pernah kami alami tak terulang pada perempuan Indonesia yang akan datang. Kami berjuang demi perdamaian dan keadilan rakyat Indonesia”
Paragraf di atas tertulis di bagian sampul buku, sebagai sambutan pertama bagi pembaca. Beberapa kalimat yang sedetik kemudian membuat hati saya bergetar sekaligus penasaran, siapa dan apa yang mereka alami? Hingga harus dikembalikan sebagai manusia merdeka. Buku berjudul “Suara Perempuan Korban Tragedi ‘65” berisi kisah nyata dari 10 perempuan yang merupakan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), keluarga dari anggota PKI, atau dituduh PKI.
Tanggal 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Pemberontakan G30S/PKI atau Gerakan 30 September 1965. Latar belakang pemberontakan ini disebabkan adanya persaingan politik antara PKI dengan pemerintahan kala itu. Gerakan G30S/PKI dijadikan kambing hitam atas tragedi penculikan dan pemabunuhan para petinggi TNI. Jasad para jenderal tersebut kemudian dimasukkan ke dalam lubang sumur tua yang disebut Lubang Buaya.
Baca Juga: Kekerasan Seksual Massal dalam Sejarah Bangsa (Bagian 1)
Pascaperistiwa G30S/PKI terjadi pembantaian dan pemenjaraan massal yang menjadi sejarah kelam bangsa Indonesia. Kala itu seluruh anggota PKI atau yang dituduh PKI ditangkap, dibunuh, bahkan tak sedikit yang bertahun-tahun mendekam di bui tanpa diadili. Teror ketakutan dari tragedi ini masih terus diwariskan sampai hari ini.
Tidak hanya Partai Komunis Indonesia (PKI), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) juga dituduh menjadi dalang dari G30S/PKI. Selama puluhan tahun, kumpulan perempuan ini digambarkan sebagai perempuan yang menari-nari dan memotong penis jendral di Lubang Buaya. Benarkah demikian?
Ita F. Nadia membantah tuduhan tersebut melalui metode oral history. Dalam buku ini Ita berhasil memberikan ruang kepada ibu-ibu yang disiksa dan diperkosa dengan sadis oleh oknum militer karena dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September (G30S). Untuk membaca buku ini, saya membutuhkan kekuatan mental karena kisah di dalamnya berisi hal-hal yang tidak menyenangkan dan dapat memunculkan trauma.
“… dalam keadaan telanjang bulat dan darah mengalir dari kemaluan… saya diarak berjalan kaki menuju ke kantor polisi yang berjarak sekitar 5 km.”
Kisah mereka tidak luput dari kekerasan seksual, perkosaan, perbudakan, pelecehan, penderitaan, hingga perjuangan untuk bebas. Hal ini berbanding terbalik dengan mitos yang diciptakan dalam masyarakat. Buku-buku sejarah dan film “Penumpasan G30S/PKI” menjadi medium untuk menguatkan mitos bahwa perempuan eks-tapol (tahanan politik) 1965 atau organisasi Gerwani adalah manusia-manusia bejat, kejam, dan tidak bermartabat. Ini menambah deretan penderitaan para eks tapol, tidak saja pada saat menjadi tahanan, bahkan saat berhasil bebas, mereka sulit diterima oleh masyarakat.
Bagi saya, yang tergolong lemah informasi tentang G30S/PKI atau Gerwani, merasa tidak perlu khawatir membaca buku ini. Sebab pengantar dalam buku ini akan memberikan petunjuk dan sejarah yang padat dengan data dan fakta. Kata pengantar yang diberi judul “Sejarah Telah Membersihkanmu” ditulis oleh orang yang juga consent dalam hal ini, yaitu Prof Dr. Saskia E. Wieringa, penulis buku “Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia.”
Baca Juga: Kisah Penyintas dengan Kebungkamannya
Buku ini sangat menarik untuk menambah khasanah pengetahuan. Selain adanya pengantar sejarah di awal buku, bahasa cerita yang digunakan sangat mudah dimengerti, mampu membuat perasaaan bercampur aduk. Membaca buku ini membuat bulu kuduk berdiri. Dan yang terpenting, buku ini bukanlah buku biasa. Buku ini adalah upaya memulihkan nama baik gerakan perempuan di Indonesia. Upaya penolakan terhadap permainan politik yang menari di atas tubuh perempuan.
Kumpulan kisah dalam buku ini, di satu sisi juga menjadi kelemahan. Karena tidak disertai dengan bukti tertulis atau dokumentasi lain yang dialami korban, seperti buku ilmiah pada umumnya. Tetapi meski demikian, kisah yang kemungkinan tidak sepenuhnya utuh karena faktor waktu dan umur itu tetaplah pengalaman korban. Sulit bagi korban melupakan peristiwa besar nan menyakitkan. Pengalaman korban adalah nyata dan ada.
Bagi perempuan korban kekerasan, metode sejarah lisan menjadi penting untuk membawa perempuan masuk dalam sejarah sebagai bagian yang tertulis. Akhir dari tulisan ini, saya ingin mengutip sinopsis Ita F. Nadia, “Kisah tutur ibu-ibu korban tragedy 1965 dalam buku ini bukan sekadar untuk dimaknai dalam konteks pengalaman korban. Lebih dari itu, untuk memulihkan martabat kemanusiaan mereka dan mengakhiri kekerasan dan diskriminasi di negeri ini.”[]
Mahasiswa pascasarjana yang sudah menerbitkan buku pertamanya “Menggugat Feminisme” dengan nama pena Uunk Crispy