Suara Perempuan Korban Aturan Jilbab
Jumat 16 September 2022, seorang perempuan Kurdi Iran, Mahsa Amini (22) meninggal di rumah sakit setelah ditangkap karena dugaan melanggar aturan jilbab yang tidak sesuai standar aturan yang berlaku. Kematian Mahsa Amini menyulut protes yang masih berlangsung sampai hari ini di Iran. Aksi mengecam tindakan polisi moral terkait aturan jilbab di Iran pascaresolusi Islam 1979. Lebih dari 100 demonstran meninggal.
Soilidaritas datang dari aktivis perempuan di Indonesia. Open Mic Solidaritas untuk Iran “Nyawa Perempuan Lebih Penting dari Selembar Kain,” digelar Selasa (4/10/22). Puluhan aktivis perempuan hadir, membagikan pengalaman serupa yang dialami Mahsa Amini.
“Saya Ruby Cholifah, pendiri sekaligus Direktur AMAN Indonesia. Suatu malam ketika saya berjalan sendiri menuju Stasiun Karet, seorang pria berjubah putih membuntuti saya sejak saya keluar dari City Walk Sudirman mall. Saya seketika menghentikan langkah saya dan putar badan dan mendekati sosok tersebut dan bertanya, kenapa bapak membuntuti saya? Bapak berjubah putih menjawab, saya ingin berdakwah pada kamu. Itu cara berjilbabnya salah.”
Kain penutup kepala yang Ruby kenakan memang berbeda dari jilbab yang dipakai kebanyakan perempuan. Jilbab Ruby boleh dibilang khas. Dia menggunakan selembar kain tenun yang dililitkan menutupi kepalanya. Dengan mata penuh gejolak, Ruby melanjutkan kisahnya.
“Tidak tahu dapat keberanian dari mana akhirnya saya bilang bapak silahkan pergi dari sini saya belajar agama dan saya tidak membutuhkan dakwah bapak saat ini. Silahkan pergi atau saya panggil satpam. Tanpa perlawanan akhirnya bapak berjubah meninggalkan tempat,” kata Ruby.
Baca Juga: Seruan Indonesia: Perundungan dan Intimidasi lewat Aturan Wajib Jilbab
Dalam laporan Human Rights Watch “Aku Ingin Lari Jauh: Ketidakadilan Aturan Berpakaian bagi Perempuan di Indonesia,” (18/3/2021) mengungkap dari hampir 300.000 sekolah negeri di Indonesia, terutama di 24 provinsi berpenduduk mayoritas Muslim, sebagian besar mewajibkan anak perempuan berjilbab sejak sekolah dasar.
Temuan Human Rights Watch seturut dengan pengakuan Ebriska Sagala. Ebi sekarang aktif sebagai Sekretaris Pemuda Lintas Agama (Pelita) Kota Padang. Dia mengawali kisahnya dengan lebih dulu menghela nafas panjang.
“Berbicara tentang seorang perempuan yang meninggal di Iran. Aku merefleksikan pada diriku sendiri yang hampir berpikiran pada waktu itu mengakhiri hidup karena mengalami diskriminasi di sekolah,” ungkap Ebi menahan air mata.
Sambil tersenyum perih, Ebi melanjutkan ceritanya.
“Nah pada waktu itu, aku diharuskan memakai hijab dari SMP hingga SMK. Waktu itu sempat mempertanyakan ke guru BK waktu SMP dan wakil kesiswaan waktu di SMK kenapa aku seorang Kristen wajib memakai hijab. Sedangkan identitasku sendiri itu sebagai Kristen yang tidak memakai hijab. Apakah emang di sekolah itu seorang Kristen tidak boleh menampilkan identitasnya atau apa? Waktu itu penjelasannya kalau kamu sekolah di sini ya kamu ikuti aturannya, jika tidak ya udah keluar aja,” kata Ebi.
Penolakan Ebi terhadap aturan pemakaian jilbab di sekolah mengakibatkan nilai akademisnya menurun. Bukan itu saja, dokumen dan kartu identitas Ebi pun menjadi janggal.
“…untuk identitas dokumen sekolah aku sampai dengan kartu tanda penduduk aku memakai hijab dengan kolom agama Kristen. Bukan hanya aku, bahkan teman-teman yang lain sempat mendapatkan stigma mereka melakukan pemalsuan data,” ungkap Ebi.
Baca Juga: Gender dan Permasalahan Citra Tubuh
Pengalaman Ebi juga dialami Atun Wardatun, pendiri sekaligus Ketua Yayasan LA RIMPU (Sekolah Rintisan Perempuan untuk Perubahan). Atun memang berjilbab, tapi dia tidak memaksakan anak perempuannya untuk ikut memakai jilbab.
“Saya selalu gelisah ketika hari ini kita sulit, sebagai orang tua, menemukan SD yang tidak mewajibkan anak sekolahnya untuk memakai jilbab. Sudah tidak ada di NTB ini,” kata Atun.
Sebagai orang tua, Atun sesungguhnya keberatan aturan berjilbab diberlakukan di sekolah anaknya. Atun punya alasannya.
“Jadi, anak saya yang kelas 1 SD sekarang yang kebetulan satu-satunya perempuan dan saya baru punya pengalaman bagaimana ribetnya anak kecil memakai jilbab, itu setiap hari kayak enggak ikhlas gitu mengirim anak ke SD dan memakai jilbab karena dia selalu merasa kepanasan dan tidak nyaman,” terang Atun.
Perihal aturan berpakaian bagi perempuan juga menjadi temuan Komnas Perempuan. Dalam rilisnya (7/10/22) Komnas Perempuan mencatat 62 kebijakan daerah tentang aturan berbusana tersebar di 15 provinsi dalam bentuk peraturan daerah, 43 peraturan dan kebijakan kepala daerah di tingkat provinsi dan kota/kabupaten di Indonesia. Akibat kebijakan tersebut perempuan secara khusus mengalami diskriminasi, kekerasan, dikucilkan, persekusi, pengabaian dalam layanan publik, mendapat sanksi administratif, hingga harus kehilangan pekerjaan.
Baca Juga: Peran Puasa dalam Membangun Kesetaraan, Mencegah Diskriminasi dan Kekerasan
Pengaturan cara berpakaian bagi perempuan tak jarang menjatuhkan perempuan muslim lain yang tak berjilbab. Yunianti Chuzaifah dari AMAN (The Asian Muslim Action Network) punya pengalaman itu.
“Saya sendiri tidak jarang mengalami diskriminasi di mana dengan saya tidak pakai jilbab, malam-malam saya dengan suami saya makan, selalu dibilang oh habis pulang dari gereja,” ungkap Yunianti.
Perempuan yang pernah menjabat sebagai Ketua Komnas Perempuan periode 2010-2014 itu kemudian teringat pernyataan Prof. Azyumardi Azra dalam salah satu wawancaranya tentang feminisme di Indonesia. Bahwa perempuan muslim di Indonesia penting untuk menjadi perempuan muslim yang bahagia, bukan menjadi perempuan muslim yang hipokrit.
“Saya sebagai orang yang tumbuh dalam budaya keluarga muslim yang sangat kuat. Ayah saya tokoh agama tapi saya bahagia sampai saat ini ayah saya masih memberi ruang yang seluas-luasnya untuk saya berpakaian,” tegas Yunianti. [Nur Azizah]