Sjamsiah Achmad: Untuk Kemitraan yang Adil, Setara, dan Tulus

 Sjamsiah Achmad: Untuk Kemitraan yang Adil, Setara, dan Tulus

Soal pengalaman diplomatik dan hubungan internasional di Perserikatan Bangsa-Bangsa, nama Sjamsiah Achmad termasuk dalam deretan nama yang paling pertama disebutkan. Ia juga termasuk dalam sejumlah tokoh perempuan di Indonesia yang paling banyak dirujuk terkait isu kesetaraan gender dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Dalam upaya mendorong pelaksanaan Konvensi CEDAW di Indonesia, ia salah satu tokoh yang tak pernah surut menyuarakan.

Perempuan kelahiran Sengkang, Sulawesi Selatan ini, pernah bertugas selama 10 tahun lamanya di kantor PBB di New York dan Vienna.  Pada tahun 1978-1983, Sjamsiah bertugas di UN Headquarters New York USA, sebagai Program/Senior Program Officer Office for Sains and Technology. Ia selanjutnya bertugas sebagai Senior Program Officer Division for the Advancement of Women UNOV Vienna  pada 1983-1988.

Pada1964-1967, ia bertugas sebagai sekretaris pribadi Duta Besar Indonesia untuk Rusia di Moscow, yang memberinya kesempatan untuk mempelajari bahasa Rusia dan berbagai bacaan terkait situasi politik. Saat itu, Sjamsiah sekaligus menjalani pengobatan. Pada masa itu, rumah sakit di Indonesia belum menyediakan sarana pengobatan untuk menangani luka akibat api dari spiritus yang mengenai pakaiannya.

Ia juga pernah berkiprah selama satu periode sebagai Anggota Komite CEDAW (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) antara 2001-2004. Komite ini merupakan badan yang mengawasi pelaksanaan Konvensi CEDAW oleh setiap negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional ini. Komite ini dipilih setiap 4 tahun sekali, yang terdiri dari  23 orang ahli di bidangnya yang ditunjuk oleh setiap negara peserta konvensi dalam kapasitasnya sebagai pribadi dan profesional.

Di dalam negeri, beragam tugas juga pernah dilakoninya. Pada 1967-1978, ia menjadi Kepala Biro Hubungan Internasional LIPI. Pada 1988-1995, ia mendapatkan amanah menjadi Asisten Menteri Urusan Peranan Wanita (1988-1995). Setelah tugas itu selesai, ia kembali mendapatkan tugas sebagai Staf Ahli Ketua LIPI (1995-1998). Selanjutnya, selama 2 periode, ia menjabat sebagai Komisioner Komnas Perempuan (periode 2003-2006 dan periode 2007-2009).

Keluarga dan Pendidikan

Sjamsiah adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Ia masih memiliki dua orang saudara lagi dari ibu tiri setelah ibu kandungnya meninggal. Kepergian ibu kandungnya tidak lama setelah melahirkan anak ketujuh nampaknya merupakan salah satu hal yang kemudian membuatnya memberi perhatian terhadap persoalan hak kesehatan reproduksi perempuan.

Sjamsiah menempuh pendidikan di Sekolah Guru Bawah (SGB) dan Sekolah Guru Atas (SGA) dalam sekolah berasrama di Makasar. Ia lulus pada 1952, namun untuk melanjutkan sekolah ia dikenakan kewajiban mengajar selama 2 tahun yang dijalaninya sampai 1954. Setelah menyelesaikan berbagai persyaratan administratif di Jakarta, ia kembali melanjutkan pendidikan dengan mengambil di  Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (PGSLTP). Studi yang diambilnya di Jakarta itu berhasil ia selesaikan walaupun harus dijalaninya sambil menunaikan kewajiban mengajar kembali di pagi dan sore hari.

Setelah menyelesaikan studinya, perempuan kelahiran 10 Maret 1933 itu tidak lantas berhenti belajar. Ia melanjutkan studi di Universitas Kristen Indonesia Jurusan Pedagogi Fakultas Sastra dan Filsafat. Perkuliahan ini dijalaninya sampai meraih gelar sarjana muda. Setelah sempat merintis lembaga penelitian dan menekuni profesi peneliti, pada 1960 ia mendapatkan kesempatan untuk meraih gelar Master of Elementery School Supervision di New York University, New York, Amerika Serikat. Ia sempat ditawari untuk melanjutkan studi meraih gelar Ph.D, namun Sjamsiah memilih untuk kembali ke tanah air mengabdi di lembaga riset yang sebelumnya ia rintis.

Kemitraan yang Adil, Setara, dan Tulus

Berbagai pengalaman yang selama ini dilakoninya termasul dalam isu gender dan pembangunan menghantarkannya sebagai sosok yang konsisten mengingatkan pentingnya komitmen dan langkah konkret untuk mewujudkan kemitraan antara laki-laki dan perempuan yang adil, setara, dan tulus. “Pemberdayaan perempuan harus bertumpu pada prinsip bahwa perempuan itu adalah mitra setara laki-laki, baik sebagai pelaku maupun sebagai pemanfaat hasil-hasil pembangunan berkelanjutan,” tuturnya.

Untuk mewujudkan hal itu, Sjamsiah mengingatkan pentingnya pendidikan mengenai kesetaraan yang harus diajarkan kepada setiap orangtua, baik laki-laki maupun perempuan.  Ditemui di kediamannya pada Rabu (19/2), kepada JalaStoria.id Sjamsiah mengingatkan perlunya penyelenggaraan pendidikan kesetaraan berupa parents education  yang sangat dibutuhkan sebagai bekal bagi laki-laki dan perempuan yang akan mendidik generasi berikutnya.

“Kesetaraan gender itu harus dimulai dari orangtua karena dari merekalah hadir manusia-manusia baru. Laki-laki dan perempuan, mereka bertumbuh dalam badan perempuan. Saat anak dalam kandungan, yang paling memengaruhi janin adalah ibu, tapi yang paling memengaruhi ibu adalah suaminya, dibandingkan anggota keluarga lainnya,” tuturnya.

Oleh karena itu, menurut Sjamsiah, laki-laki dan perempuan harus bersama-sama membangun  hubungan yang didasarkan pada prinsip kemitraan yang setara, adil, dan tulus.

“Kemitraan yang setara, karena kita sama-sama ciptaaan Tuhan, dan kita Pancasila. Kita juga punya tanggung jawab sama-sama untuk memelihara semua ciptaan Tuhan,” ungkapnya.

“Harus adil, karena mental, fisik, psikis, fungsi laki-laki dan perempuan berbeda. Laki-laki tidak hamil, haid, melahirkan, menyusui anak dengan ASI. Di luar ini, harus bisa dikerjakan sama-sama. Ada hal2 yang hanya bisa dilakukan perempuan, karena biologisnya diciptakan seperti itu, tapi kita harus setara sebagai ciptaan Tuhan.”

Lebih lanjut Sjamsiah menuturkan, laki-laki harus menghargai fungsi-fungsi yang hanya diberikan kepada perempuan. Di saat yang sama, perempuan juga harus menghargai laki-laki karena tanpa laki-laki fungsi-fungsi khusus pada perempuan itu pun tidak akan bisa dilakukan. “Empat fungsi itu: hamil, haid, melahirkan, dan menyusui dengan ASI, itu ciptaan tuhan, bukan maunya perempuan,” tegasnya.

“Harus tulus, jangan hanya di depan orang, berpura-pura. Kalau tidak tulus, percuma,” pungkasnya.[]

 

Ema Mukarramah

 

 

 

Digiqole ad