Sepakbola Perempuan dan Ketimpangan yang Kian Nyata

 Sepakbola Perempuan dan Ketimpangan yang Kian Nyata

 

Oleh: Muhammad Rizky Suryana,

 

Bulan ini, sepakbola dunia disibukkan dengan keriuhan wacana European Super League (ESL). Wacana ini menimbulkan keributan antara Federation Internationale de Football Association (FIFA) dan Union of European Football Association (UEFA) serta jajaran pemilik klub yang menginisiasi European Super League. ESL menjanjikan pertarungan kedua puluh tim terbaik di Eropa, dengan dua belas klub dari Inggris, Italia, dan Spanyol setuju bergabung ke dalam kompetisi tersebut (18/4).

Florentino Perez, salah satu penggagas sekaligus pemimpin ESL menyatakan bahwa proyek ini menyelamatkan sepakbola dunia. Perez menuding pandemi Covid-19, sebagai biang keladi dari menurunnya pemasukan berbagai klub sepakbola.

Berbicara soal wacana ESL dan segala keributannya, mari kita tengok ke sepakbola perempuan, suatu aspek yang sering luput dalam pembahasan sepakbola. Jika asumsi Perez benar bahwa sepakbola dunia saat ini sedang kolaps, lantas apakah dalam pernyataan dia benar bahwa sepakbola perempuan juga terdampak? Benar, dan dampaknya lebih berat lagi. Sepakbola perempuan sudah lebih dulu merasakan ketimpangan yang nyata, dalam berbagai aspek.

Ketimpangan yang dialami dalam sepakbola perempuan begitu pelik. Mulai dari seksisme sampai ketimpangan gaji terlihat nyata dalam dunia sepakbola. Catatan yang ditulis oleh Women in Football (WiF) dan Sports Marketing Surveys menyatakan dua pertiga perempuan yang bekerja di ranah sepakbola mengalami diskriminasi di tempat kerjanya, baik di dalam lapangan maupun di luar lapangan. Survei ini ditujukan kepada 4.200 anggota WiF.

Melanjutkan pernyataan dari survei ini, ternyata temuan dalam angka baru sebatas 12 persen insiden diskriminasi dan seksisme yang terlapor. Jumlah ini, menurut WiF, masih banyak lagi yang belum dilaporkan. Ketakutan perempuan untuk melaporkan kasus diskriminasi gender yang dialami menjadi penyebabnya. Seringkali pengalaman mereka dianggap remeh, bahkan menjadi olok-olok dalam sepakbola.

Seperti contohnya kasus diskriminasi yang dialami oleh Misa Rodriguez, penjaga gawang di Real Madrid Femenino (tim sepakbola perempuan Real Madrid) pada 6 April lalu. Ia mengatakan “Misma Pasion!” atau semangat yang sama di akun Twitter-nya sambil menyandingkan fotonya dengan Marco Asensio, pemain tim sepakbola Real Madrid. Seketika akun Misa diserang oleh netizen dan beberapa pernyataan misoginis ke arahnya hadir di postingan tersebut, seperti: “kau (sebagai perempuan) tidak akan mencapai apa yang Asensio lakukan di sepakbola.” Hal ini membuat beberapa pemain sepakbola, baik laki-laki maupun perempuan bersuara atas apa yang dialami oleh Misa di media sosial.

Di Indonesia sendiri, pernah ada situasi dimana seksisme hadir dalam sepakbola perempuan. Ulah suporter Arema FC yang membuat spanduk bertuliskan “Pelacur Dolly” ke arah pemain tim perempuan Persebaya Surabaya jelang pertandingan di Liga 1 Putri adalah salah satu contohnya. Sementara itu, di ranah media sosial sendiri banyak suporter Indonesia yang hanya mengomentari fisik pemain-pemain di Liga 1 Putri, serta mengesampingkan kemampuan sepakbola yang mereka miliki di lapangan hijau.

Seksisme juga hadir di acara resmi seperti Penghargaan Pemain Sepakbola Perempuan Terbaik oleh FIFA. Untuk kategori perempuan sendiri, Hope Solo dan Ada Hegerberg terkena imbas dari seksisme tersebut. Solo di tahun 2013 pernah mendapat pelecehan seksual oleh Presiden FIFA saat itu, Sepp Blatter. Solo sampai menyebutkan bahwa arena penghargaan bagi insan sepakbola tidak lepas dari bias gender yang ia alami. Sementara itu, Ada Hegerberg pernah diberi ujaran seksisme oleh pembawa acara saat itu, Martin Solveig dengan diminta untuk melakukan tarian sensual setelah penghargaan Ballon d’Or Feminine pada 2018. Tentunya Ada merasa risih sekaligus menolak permintaan tersebut.

Tentu, apa yang dialami oleh para pelaku sepakbola perempuan yang disebutkan sebelumnya merupakan puncak dari gunung es atas apa yang dialami oleh mereka. Temuan ini semakin diyakinkan oleh survei yang dilakukan oleh Aristea Koudiaki dan Geoff Pearson dari University of Manchester, seperti yang dilansir oleh The Conversation (2019). Mereka menemukan fakta bahwa para pesepakbola perempuan kesulitan untuk bertahan dalam menekuni profesinya karena gaji yang rendah. Selain itu, kurangnya perlindungan atas para pemain, seperti cedera dan rasa aman dari kasus kekerasan seksual di dalam klausul kontrak menjadi faktor lain dari masalah tersebut.

Perihal masalah gaji, sebagian besar pemain sepakbola perempuan menerima gaji kurang dari 1000 dollar Amerika Serikat per bulan. Nominal ini tidaklah tetap, akan terus berkurang seiring dengan bertambahnya usia sang pemain. Survei dari The Conversation menyebutkan bahwa 53 persen pesepakbola perempuan tidak memiliki kontrak tertulis. Konsekuensinya,  tidak ada jaminan perlindungan pada pemain.

Contoh lainnya terjadi di Amerika Serikat, sekitar 77 persen pemain timnas perempuan Amerika Serikat tidak digaji. Itu karena kebanyakan pemain timnas diambil dari level kampus dan masih dianggap pesepakbola amatir, meski sudah banyak prestasi yang didapat oleh mereka di level regional maupun dunia. Ada upaya pesepakbola perempuan untuk mendapatkan hak dan gaji yang sama dengan pesepakbola laki-laki. Salah satunya dengan melakukan perlawanan terhadap federasi sepakbola Amerika Serikat atas ketimpangan gaji yang mereka alami.

Perlawanan tersebut dibangun sejak 2015, dengan menuntut gaji yang setara dengan laki-laki dan federasi lebih memerhatikan sepakbola perempuan di Amerika Serikat. Karena, tim sepakbola perempuan Amerika Serikat mendapat pencapaian juara dua kali berturut-turut di FIFA Women’s World Cup selama dua edisi terakhir. Mereka melihat bonus gaji yang didapat lebih sedikit daripada tim sepakbola laki-laki, yang Piala Dunia 2018 pun mereka tidak lolos ke fase grup. Kemudian, pada Maret 2019, sekitar 28 anggota Timnas sepakbola perempuan menggugat federasi sepakbola Amerika Serikat ke pengadilan dalam upaya mengatasi ketimpangan gaji tersebut.

Kabar baik datang dari Norwegia. Negara ini menjadi yang pertama dalam menyetujui perihal kesetaraan gaji antara pesepakbola laki-laki dan pesepakbola perempuan di Tim Nasional pada 2017. Namun, hal ini patut diapresiasi sekaligus menampar wajah FIFA yang masih diam saja melihat ketimpangan gender hadir dalam sepakbola.

Jika merujuk ke pernyataan Gianni Infantino, Presiden FIFA saat ini yaitu “Suatu hari nanti sepakbola perempuan akan melebihi sepakbola laki-laki” pada pidatonya di tahun 2018, tentu ini hanya bualan belaka. Meski slogan “Football For Equal” digaungkan di seluruh penjuru, nyatanya ketimpangan gender di sepakbola masih terasa.

FIFA seakan tidak pernah mempelajari hal ini, dan membiarkan ketimpangan terus berlanjut. Salah satunya Piala Dunia Perempuan FIFA 2019 yang kurang mendapat support baik dari hadiah turnamen, persiapan tim, hingga hak siar. Bahkan, soal pemain, dari data FIFA yang menyebutkan bahwa ada 30 juta pesepakbola perempuan, sekitar 89 persen menyatakan untuk meninggalkan karir di lapangan hijau karena tidak ada jaminan yang bagus setelah pensiun. Banyak yang memutuskan pensiun sebelum masuk usia 25 tahun.

Di Indonesia sendiri ketimpangan gender dalam sepakbola masih terasa. Liga 1 Putri tidak ada wacana untuk bergulir pada tahun ini. Malah, banyak di antara para pemain yang gajinya belum dibayar selama beberapa bulan oleh klub. Salah satunya dialami oleh tim perempuan Persikabo Kartini, seperti yang dilansir dari Viva.co.id. Jesella Arifya, salah satu pemainnya menuturkan bahwa ia dan rekan-rekannya tidak mendapat gaji hampir setahun, terhitung sejak 2019.

Ini menunjukkan bahwa omong kosong Perez dan kroninya soal “menyelamatkan sepakbola” semakin jelas. Tidak ada kepedulian terhadap sepakbola perempuan di mata mereka, meski ada wacana European Women Super League (EWSL) di kemudian hari. EWSL tetap menyertakan kedua belas klub pendiri, tapi tidak menjawab akar permasalahan ketimpangan gender di sepakbola perempuan.

Melihat hal ini, saya semakin yakin bahwa keributan federasi dengan pemilik klub memiliki satu problema yang menguntungkan mereka: uang yang lebih banyak lagi. Termasuk di sepakbola Indonesia yang masih nyata bias gendernya sampai hari ini. Bisa dibilang, pandemi sesungguhnya adalah orang-orang serakah yang kokoh berdiri di sistem kapitalistik dan patriarkal, terutama di cabang olahraga sepakbola.

 

Penulis menggemari musik Korean pop. Bisa ditemui di twitter (@eldiawunderkid) dan instagram (@rzksurya).

Digiqole ad