Sekolah Kecil Bermisi Besar
Oleh: Nurul Haryani
Pengumuman mengenai persiapan Pertemuan Tatap Muka (PTM) di sekolah anak kami, masuk ke aplikasi WhatsApp saya pada suatu pertengahan minggu. Dari kepala sekolah. Isinya singkat dan padat. Pihak sekolah mengundang orang tua dan murid untuk ikut membersihkan sekolah. Kegiatan akan dibagi tiga yaitu membersihkan ruang kelas, halaman sekolah, dan memasak bersama. Terlampir pula daftar perlengkapan yang harus dibawa.
Tidak ada yang aneh dengan pengumuman itu. Sekolah tersebut tidak memiliki pesuruh sekolah. Kebersihan sekolah dijaga bersama-sama oleh semua murid dan guru.
Maka di hari yang telah ditentukan, pergilah kami ke sekolah tersebut. Saya, suami, dan kedua putera kami. Anak kami yang berumur tujuh tahun yang menjadi murid di sekolah itu. Sementara adiknya yang berumur empat tahun masih belum bersekolah. Kami berempat datang dengan riang gembira sambil membawa perlengkapan kebersihan. Senang rasanya bisa bertemu dengan keluarga murid yang lain. Hubungan kami memang cukup akrab.
Baca Juga: Mengetahui Hak-hak Anak adalah Hak Anak
Kedatangan kami disambut oleh sang kepala sekolah. Kami pun segera bertemu dan ngobrol dengan keluarga lainnya. Suasana begitu riang dan penuh tawa. Hingga akhirnya kami dikumpulkan untuk acara pembagian tugas.
Sang kepala sekolah memberi pengarahan pembagian tugas. Yaitu pembersihan halaman sekolah dan memasak. Saya menduga memasak adalah menjadi tugas kami, ibu-ibu yang datang sambil menenteng kantong berisi satu jenis bahan masakan sebagaimana yang diminta. Tugas membersihkan halaman menjadi tugas bapak-bapak yang tampil gagah membawa sabit dan parang.
Ternyata kami salah. Ibu Kepala Sekolah justru memberikan perintah yang berbeda. Ibu-ibu diminta untuk bekerja membersihkan halaman sekolah. Sementara para ayah diminta untuk memasak dengan bahan seadanya. Tidak ada nada riuh atau protes dari para orang tua murid. Walau harus diakui hal tersebut di luar dugaan kami.
Jam sembilan pagi kami mulai bekerja. Saya bersama ibu-ibu yang lain membabat rumput dan merapikan halaman. Juga memetik bunga talang untuk dibuat menjadi minuman. Sementara suami saya dan ayah lainnya berjibaku dengan kubis, kacang panjang, jagung, dan tahu serta memasak nasi menggunakan dandang.
Sesekali saya menoleh ke dapur sekolah untuk memastikan gerombolan bapak-bapak itu tidak menyebabkan kebakaran. Bapak-bapak juga melihat para ibu heboh sendiri membabat semak belukar yang menjalar-jalar. Maklum, sekolah tutup selama pandemi Covid-19. Sementara anak-anak dengan tenang membersihkan ruang kelas mereka. Dibanding dengan kami, sepertinya anak-anak lebih sigap dalam pembagian tugas. Barangkali karena selama ini mereka terbiasa bekerja sama menyapu, mengepel, membersihkan kaca, dan menata buku di perpustakaan. Dalam Cooking Class (Kelas Memasak) mereka bahkan memasak bersama dan bergotong-royong mencuci piring.
Baca Juga: Makanan Enak? Yang Sehat Dong!
Akhirnya halaman sekolah selesai kami rapikan. Walau tidak serapi karya tukang kebun, tapi setidaknya rumput liar dan semak belukar serta ranting pohon sudah bertumpuk rapi, siap diambil petugas kebersihan. Beberapa anak yang sudah selesai dengan tugasnya memilih menunggu sambil bermain ayunan.
Karena matahari semakin tinggi, kami pun menyingkir ke teras sekolah. Sambil menunggu para ayah selesai memasak, kami menata meja untuk meletakkan makanan. Para lelaki di dapur masih saja sibuk memasak. Kami tidak banyak bertanya apa yang mereka masak. Kami hanya menunggu bersama anak-anak yang mulai gelisah karena haus dan lapar.
Seorang ibu menggoda suaminya dengan berkata bahwa dia ingin mengeluhkan para ayah yang lambat bekerja. Seperti kejadian di rumah kalau makanan terlambat disajikan di meja makan.
Akhirnya makanan yang ditunggu muncul juga. Penantian kami berakhir. Para lelaki akhirnya muncul dari dapur sambil membawa sayur sop dengan kacang panjang karena rupanya tidak ada yang membawa kacang buncis. Perkedel jagung disajikan sebagai lauk. Tapi yang paling enak adalah sambal ulegnya.
Sepulang dari sekolah, sepanjang perjalanan saya merenungkan kejadian singkat di sekolah. Betapa sang Kepala Sekolah ingin menghilangkan batas gender di antara orang tua. Mempertegas contoh kepada murid-muridnya bahwa tidak ada pembagian tugas antara ayah dan ibu.
Baca Juga: Bercerita tentang Diskriminasi Berbasis Gender (Bagian 2)
Sekolah itu bernama Sekolah Alam Terpadu Cerlang. Sebuah sekolah kecil di pusat kota tapi memilki visi dan misi yang besar untuk membentuk anak didiknya menembus zaman. Pendidikan kesetaraan gender memang terasa kental di sekolah itu. Sejak awal pihak sekolah tidak pernah memisahkan pekerjaan murid perempuan dan murid laki-laki. Para murid sama-sama menyikat lantai toilet dan belajar menjahit secara sederhana. Guru-guranya pun kompak memanggil orang tua murid dengan sebutan nama individu. Bukan dengan sebutan “Ayah Rudi” atau “Mami Tini” sehingga identitas orang tua tidak lebur dalam nama si anak.
Bagi ibu rumah tangga biasa seperti saya, panggilan nama saat bertegur sapa dengan para guru sungguh menyejukkan hati. Ada rasa berdaya sebagai individu yang terlihat bagi orang lain. Mengingat setelah menikah identitas saya sebagai individu lebur dalam nama Pak Suami dan ketika saya memiliki anak, nama saya pun berubah sebagai mamanya anak-anak.
Saya pikir sungguh penting bagi orang tua untuk memilih sekolah yang mengajarkan nilai-nilai yang sama dengan yang diterapkan di rumah. Sejak awal kami memang berusaha untuk melatih kemandirian, tanggung jawab, dan empati dalam diri anak-anak kami. Sekarang kami lega, bahwa di kota kami ada satu sekolah yang memahami pemikiran kami. []
Seorang ibu rumah tangga yang masih belajar menjadi orang tua.