Saat Angka PRT Dianggap Tak Lagi Berguna
Saat membincang hak dan kewajiban pekerja rumah tangga (PRT) segala upaya dilakukan. Data yang biasanya berupa angka pun tak luput disajikan. Sebab data jumlah PRT adalah data jumlah majikan.
Bicara angka terkait PRT menjadi hal penting. Terlebih pemerintah Indonesia sudah mengadopsi tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SGDs) yang salah satunya ada pada tujuan 8 SDGs, “Mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, tenaga kerja penuh dan produktif, dan pekerjaan yang layak bagi semua.”
Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) Lita Anggraini mengatakan angka tersebut merepresentasikan tiga hal.
Pertama, angka PRT adalah angka kontribusi. Estimasi JALA PRT terdapat lebih dari 10 juta masyarakat Indonesia mempekerjakan PRT. Angka ini tak beda jauh dengan data BPS yang menunjukkan warga pascasejahtera (2009) sebanyak 17 juta. Setidaknya 2/3 atau separuh dari mereka mempekerjakan PRT. Ini berdasar penelusuran JALA PRT pada 2010 terhadap customer bank yang berpendapatan di atas 20 juta.
Soal kontribusi, PRT tentu berkontribusi pada produktivitas pemberi kerja. Hal serupa juga sepatutnya berlaku terhadap PRT. Kontribusi pemberi kerja dan negara akan berpengaruh pada produktivitas PRT.
Baca Juga: Merdeka dengan Perlindungan PRT
Riset JALA PRT tahun 2012 mengungkap tanpa PRT, pengeluaran pemberi kerja kelas atas bisa naik lima kali lipat. Sedangkan pada pemberi kerja kelas menengah, pengeluaran mereka meningkat dua kali lipat jika tanpa PRT. Riset ini mengungkap, pada kelas menengah mengeluarkan Rp300.000-Rp400.000 untuk kebutuhan sekali makan. Angka ini menyumbang modernitas tidak hanya pemberi kerja, tapi seluruh penghuni rumah, termasuk kebersihan, kerapihan, dan lain-lain.
Tak keliru bila PRT disebut sebagai sokoguru perekonomian. Frontline tapi tetap behind line. Momen usai lebaran, saat 60% PRT belum kembali untuk bekerja misalnya, juga berpengaruh pada perekonomian Indonesia.
Kedua, angka PRT adalah angka kerentanan. Sebagian masyarakat masih berpikir PRT adalah kelas dua, kelas menengah ke bawah yang bebas diperlakukan sekenanya. Pelecehan terhadap profesi PRT inilah yang berakibat pada pelecehan dan kekerasan lain. Amatan JALA PRT menemukan intensitas kekerasan bermula dari pembatasan akses bagi PRT.
Kasus-kasus pelecehan, intimidasi, isolasi, pembatasan terhadap PRT dianggap kewajaran. Bermula dari kewajaran inilah yang kemudian menjadi kerentanan bagi PRT yang tak bisa dipungkiri. Bentuknya pun beragam. Mulai dari upah tak dibayar, penyekapan, penganiayaan, umpatan dan cacian, hingga penyiksaan. Inilah angka kerentanan baik ekonomi, psikis, maupun fisik.
Yang terkadang menjadi pertanyaan adalah saat mendengar buruh migran disiksa, para petinggi dan wakil rakyat bereaksi. Mengecam. Sayangnya respons serupa tidak berlaku terhadap PRT dalam negeri.
Baca Juga: Menaker: PRT Wajib Diikutsertakan dalam Program Jaminan Sosial
Ketiga, angka PRT adalah angka kemiskinan. 20-30% dari penduduk miskin Indonesia adalah PRT. JALA PRT mendasarkan ini pada upah yang diterima PRT. Di Semarang PRT full time menerima upah Rp800.000, di Medan Rp700.000, di Makassar Rp 800 ribu, dan Jakarta sekitar Rp1-1,5 juta.
Riset JALA PRT terhadap para PRT mengungkap 82% PRT di 7 kota tidak bisa mendapatkan jaminan kesehatan. Bagi PRT dengan upah Rp800.000 ini akan sangat memberatkan jika harus membayar jaminan kesehatan secara pribadi. Sekalipun ada subsidi dari pemberi kerja, ini sulit bagi PRT dengan upah tersebut.
Selain jaminan kesehatan, PRT juga tidak terdaftar sebagai peserta jamsostek. Dalam hal ini JALA PRT bersama Kowani berinisiasi dengan bersurat kepada para pemberi kerja untuk mendaftarkan PRTnya sebagai peserta jamsostek. Hasilnya, 1.501 PRT terdaftar sebagai peserta jamsostek dengan iuran Rp36.800. Ada pembayaran penuh dari pemberi kerja, ada pula yang gotong royong dengan PRTnya. Padahal nominal Rp36.800 bagi pemberi kerja jauh lebih rendah dibanding harga kopi Starbuck atau satu kali makan di restoran siap saji terkemuka.
Angka PRT merepresentasikan angka kemiskinan lantaran PRT luput dari bantuan sosial. Riset JALA PRT terhadap 668 PRT menunjukkan 89% PRT tidak mendapatkan dana bantuan sosial. Salah satu faktornya lantaran kriteria penerima dana bansos berdasarkan properti dan pendapatan. Padahal, kepesertaan PRT dalam program keluarga harapan (PKH) bisa digunakan untuk menutupi pemenuhan hak PRT yang tidak bisa berikan oleh pemberi kerja.
Di Filipina, misalnya, gaji PRT paling tinggi pada 2013, bersamaan dengan pengesahan UU PRT, ditetapkan besaran gaji PRT adalah 800 ribu di ibukota negara. Penyesuaian jumlah tersebut terus dilakukan sesuai amanat UU. Saat ini PRT di ibukota Filipina menerima upah/gaji sebesar 1.500. Selain gaji, PRT di negara ini juga menerima proteksi sosial kesehatan, ketenagakerjaan, termasuk bantuan sosial.
Baca Juga: Gerakan Merangkul, Kelompok Anak Muda Peduli Isu PRT
Berbeda dengan Indonesia di mana RUU PPRT belum juga sah selama dua dekade diperjuangkan. Masa pandemi semakin memiskinkan PRT. Survei JALA PRT pada Juli 2020 menunjukkan 40% PRT kehilangan pekerjaan dan tidak bisa mengakses bantuan sosial. Dari survei yang dilakukan terhadap 462 PRT, 92% PRT tidak mendapat bantuan. Sebab PRT hanya memiliki surat keterangan domisili. Sementara bantuan diberikan merujuk pada kartu identitas/KTP. Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang diperuntukkan bagi pekerja yang terdampak COVID-19 pun tak sesuai kriteria PRT lantaran tidak dianggap sebagai pekerja. Apalagi untuk mendapatkan bantuan langsung tunai (BLT) karena PRT tidak terdaftar di lingkungan rumah pemberi kerja.
Ketiga, angka PRT adalah angka ketimpangan. Ini adalah gender gap yang nyata. Tengok saja kasus kekerasan penyiksaan terhadap PRT kurun 2017-2022, data kekerasan rata-rata 2.637. Jenis kasusnya multikekerasan: fisik, psikis, ekonomi, seksual, trafficking, termasuk penyiksaan yang berakibat fatal dan luka parah (62%).
Dari 2.637 kasus kekerasan yang dihimpun JALA PRT, multi kekerasan psikis berupa pelecehan, perendahan, isolasi/penyekapan, penahanan karena penyalur, dan pencemaran nama baik. Multikekerasan ekonomi berupa upah tidak dibayar, dipotong upah karena sakit, tidak dibayar THR (77%). Sementara pada kasus kekerasan ekonomi ditemukan kasus upah tidak dibayar, PHK karena sakit, dipotong karena sakit tidak bekerja, tidak dibayar THR (41%). [Nur Azizah]
Sumber:
Materi Lita Anggraini, JALA PRT, yang disampaikan dalam Forum Diskusi Denpasar 12 “Aspirasi Masyarakat terhadap Perlindungan Pekerja Rumah Tangga”, 2 November 2022