RUU P-KS dan Kebutuhan Korban atas Rasa Keadilan

 RUU P-KS dan Kebutuhan Korban atas Rasa Keadilan

Oleh: Ria Qamariyah

 

Korban tidak ditempatkan sebagai objek tapi subjek atas kehidupannya.

Beberapa hari terakhir, perdebatan mengenai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) kembali menghangat.

Pemicunya bukan semata karena komitmen Komisi VIII DPR RI yang berjanji akan merampungkan pembahasan RUU, setidaknya, setelah pelaksanaan pemilihan umum dan sebelum masa kerjanya berakhir, melainkan karena munculnya pro dan kontra.

Berbagai alasan penolakan dan dukungan atas rancangan regulasi itu bertebaran di media massa dan media sosial. Fokus pembahasannya pun tidak melulu melihat RUU ini dari perspektif korban yang selama ini kesulitan mengakses haknya atas keadilan. Padahal semangat menyorongkan rancangan ini ke parlemen adalah demi kebutuhan korban.

Pertanyaannya, adakah yang lebih penting dari kebutuhan korban atas rasa keadilan?

Fakta kasat mata yang tidak bisa disangsikan adalah pengalaman korban. Kalau kita mau sedikit rajin mencari informasi mengenai putusan pengadilan terkait kasus kekerasan seksual, hasilnya, sebagian besar, bikin miris.

Di sela-sela pencarian jejak digital itu, yang tentu saja tidak sulit menemukannya, di tengah era keterbukaan informasi ini, akan banyak bermunculan berbagai putusan yang membebaskan pelaku karena pengadilan menganggap “kekerasan seksual itu” berlatarbelakang suka sama suka.

Salah satu dasar penentuan putusannya karena keterangan saksi dianggap tidak cukup walaupun di sana ada lebih dari satu saksi mengatakan adanya kekerasan seksual. Ditambah lagi karena pernyataan korban sendiri dianggap tidak cukup sebab korban, misalnya, dalam pengaruh obat bius atau alkohol.

Bisa dibayangkan jauhnya korban dari rasa keadilan yang berhak didapatkannya?

Komnas Perempuan menemukan bahwa pelaku kekerasan seksual terbanyak ada di ranah personal atau privat. Artinya, pelaku adalah orang-orang yang dikenal korban dan dekat dengan keseharian korban.

Data catatan tahunan Komnas Perempuan pada 2017 mencatat, sebanyak 1.210 kasus incest, pelakunya adalah orang yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan korban.

Dari angka tersebut, bolehlah kita coba sinkronkan dengan putusan pengadilan yang informasinya secara mudah bisa diperoleh di jagat digital.

Sebagian besar hasilnya menunjukkan bahwa kekerasan seksual yang terjadi di ranah privat biasanya mengalami pengulangan karena pelaku dikenal oleh korban, karena relasi kuasa antara pelaku dan korban.

Lalu masih ingin mengatakan bahwa itu suka sama suka? Duh! Sekali lagi ini adalah data berdasarkan laporan dan penanganan.

Atau jika punya waktu lebih, kita bisa berkunjung ke lembaga pengada layanan untuk perempuan dan anak korban kekerasan atau women crisis center.

Berbincang secara langsung dengan pendamping korban mungkin bisa lebih membuka mata atas kendala-kendala pendamping untuk membantu korban karena keterbatasan hukum yang mengatur tentang kekerasan seksual.

Dalam hal ini, RUU P-KS menjadi penting karena mengatur soal hak korban yang dikembalikan martabatnya dan berpusat pada kepentingan korban dan kebutuhannya yang multidimensi, berkelanjutan dan partisipatif.

Korban tidak ditempatkan sebagai objek tapi subjek atas kehidupannya.

Hal lain yang revolusioner dalam rancangan undang-undang ini ada di Pasal 45. Keterangan korban bisa dijadikan alat bukti yang sah. Bukan hanya itu, keterangan saksi yang mempunyai hubungan keluarga dengan korban juga bisa menjadi alat bukti. Keterangan korban anak pun disamakan keabsahannya dengan korban dan saksi lainnya.

Dari sedikit pasal yang dsebutkan itu saja sudah menunjukkan keberpihakan RUU ini pada korban. Maka adil-lah sejak dalam pikiran. Tidak perlu memperdebatkan sesuatu yang memang tidak ada dalam rancangan ini.

Bijaklah sebelum mengomentari. Dan sebagai informasi lebih lanjut, silakan membaca ulang dan mencermati kembali RUU ini berdasarkan draf yang kini ada di DPR RI.

Tujuan RUU ini, pertama, melakukan pencegahan terhadap terjadinya peristiwa kekerasan seksual. Kedua, mengembangkan dan melaksanakan mekanisme penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang melibatkan masyarakat dan berpihak pada korban, agar korban dapat melampaui kekerasan yang ia alami dan menjadi seorang penyintas.

Ketiga, memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual, melalui pidana dan tindakan yang tegas bagi pelaku kekerasan seksual. Keempat, menjamin terlaksananya kewajiban negara, peran keluarga, partisipasi masyarakat, dan tanggung jawab korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.

Maka, adakah yang lebih penting dari kebutuhan korban atas rasa keadilan?[]

 

Sejak mahasiswi, lulusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada ini, meminati isu perempuan. Kini minat itu berkembang ke soal keragaman, kekerasan seksual, dan hak asasi manusia yang berperspektif gender.

 

sumber gambar: WMKY

Digiqole ad