Ragam Penutup Kepala Perempuan di Nusantara

Ketua DPR RI, Puan Maharani, mengenakan Tingkuluak dari Tanah Datar, Sumatera Barat, dalam Peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI di Istana Negara, 17 Agustus 2021 (Sumber: Youtube Sekretariat Presiden)
JAKARTA, JALASTORIA.ID – Kain tradisional yang disebut Jong itu pun dilipat oleh Sarbiniwati, seorang warga Bayan, Nusa Tenggara Barat. Ia melipatnya menjadi dua sehingga berbentuk segitiga. Puncak segitiga itu selanjutnya ditekuk ke belakang. Tak lupa, tali pengikat yang disiapkan di ujung kain itu pun dililitkan ke kepala sampai habis hingga akhirnya diikat di ikatan yang paling ujung.
Jong Bayan yang ditunjukkan oleh Sarbiniwati terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang. Selanjutnya, benang itupun ditenun menjadi Jong. “Jong berbentuk segi empat, berukuran sekitar 40 cm, dan dipadukan dengan benang warna warni sehingga terlihat indah,” jelas Sarbiniwati.
Jong yang merupakan penutup kepala khas Bayan sudah digunakan secara turun temurun. Jong senantiasa digunakan dalam ritual adat. Antara lain, maulid adat, majang, menumbuk padi, dan mencuci beras sebelum melaksanakan ritual adat.

Menurut Sarbiniwati, bagi perempuan Bayan, Jong merupakan salah satu busana atau pakaian kebesaran pada hari-hari tertentu dan disakralkan. Jong sebagai penutup kepala juga mengandung makna yang sakral. Saat memakai jong, dijelaskan Sarbiniwati, bentuk segitiga saat kain dilipat menjadi Jong melambangkan gunung sebagai sumber kehidupan makhluk hidup di bumi ini.
Sarat Makna
Sarbiniwati memeragakan cara memakai Jong tersebut dalam Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara, yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan (18/08/2021) secara daring. Selain Sarbiniwati, empat perempuan lainnya juga berkesempatan menampilkan cara penggunaan penutup kepala dari daerah masing-masing. Yaitu, Anita Maria Hutagalung dari Simalungun, Yefri Hefriani dari Sumatera Barat, Mama Endek dari Kalimantan Tengah, dan Nurlaini dari Jambi.
Kekayaan ragam penutup kepala itu tidak hanya berasal dari berbagai daerah, bahkan satu daerah pun dapat memiliki beberapa jenis penutup kepala. Misalnya, penutup kepala perempuan Simalungun. Anita menjelaskan, terdapat 4 jenis Bulang atau penutup kepala perempuan Simalungun. Perbedaannya terletak pada cara melipat kain yang digunakan.
Baca Juga: Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam Perspektif Kebangsaan
Bulang yang Anita kenakan merupakan jenis Bulang Selate. Bulang ini menyiratkan makna bahwa pemakainya adalah perempuan yang sudah menjadi inang (ibu/nyonya). Dalam tradisi Simalungun, Bulang Selate diberikan oleh mertua perempuan kepada menantu. Mertua perempuan akan memasangkan Bulang kepada menantu, “Dengan mengatakan, mulai hari ini kamu sudah menjadi inang di keluarga ini,” jelas Anita.
Menurut Anita, Bulang adalah kain tenun dengan panjang 1,5 meter dan lebar 30cm. Selain itu, terdapat rumbai sepanjang 18 cm. Bahan untuk Bulang Selate digunakan khusus untuk penutup kepala, bukan selendang.
Tenun dalam Bulang Selate punya corak berbeda di dua sisi. Satu sisi menggambarkan alat kelamin laki-laki, dan sisi lain alat kelamin perempuan. Bulang Selate dipakai dengan dililitkan, dengan posisi rumbai ada di sisi kanan. Kemudian, bagian depan dibalikkan ke belakang sehingga yang nampak di bagian luar adalah yang menggambarkan alat kelamin perempuan. Hal ini bermakna bahwa perempuan Simalungun mengangkat harga diri atau derajat suaminya dan menutupi kekurangan pasangannya.

Adapun makna Tatupung, penutup kepala perempuan Dayak Maanyan, Kalimantan Tengah, sebagaimana dijelaskan oleh Mama Endek, menunjukkan bahwa perempuan yang mengenakanya sudah siap bekerja melayani dan membantu aktivitas apapun dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, Tatupung juga menyiratkan semangat pantang mundur.
Tatupung dikenakan dengan kain atau kain panjang. Saat dikenakan, posisi kain di sebelah kiri kepala lebih pendek dari sebelah kanan. Sementara itu, di sebelah kanan dililitkan kembali ke arah kiri sehingga membentuk silang ke depan. Selanjutnya hanya perlu sedikit dirapihkan, lalu diputar ke belakang sebanyak dua kali putaran. Sisa kain yang menjuntai dibiarkan di belakang dengan menutup tengkuk, di mana hal ini menunjukkan simbol kekuatan perempuan.
Makna Kuluk atau Kuluak atau Tengkuluk dari Jambi juga mencerminkan makna yang menunjukkan kekuatan. Penggunaan Tengkuluk sebagai penutup kepala, menurut Nurlaini, menunjukkan bahwa kepala adalah bagian yang sakral, pemberani, tangguh, kuat, dan mengayomi.
Dalam tradisi Jambi, posisi juntaian kain penutup kepala memiliki arti berbeda. Sebelah kiri, artinya masih gadis. Sementara sebelah kanan, berarti sudah menikah sehingga tidak boleh lagi dilamar.
Mulai Punah
Sayangnya, ragam penutup kepala dari berbagai daerah itu mulai jarang digunakan perempuan. Misalnya di Minangkabau, Sumatera Barat. Padahal, menurut Yefri Hefriani, Sumatera Barat memiliki khasanah budaya berupa Tingkuluak yang sangat kaya. Tingkuluak adalah sebutan untuk penutup kepala perempuan, yang menggambarkan kedaulatan perempuan di Minangkabau, sekaligus menjadi hiasan.
Menurut Yefri, pemakaian Tingkuluak biasanya dengan menggunakan kain selendang, kain batanun (tenun), kain bugis, dan kain telekung atau mukena. Dalam aktivitas sehari-hari, Tingkuluak yang digunakan biasanya merupakan model yang sederhana. Namun, pemandangan ini sudah jarang dijumpai.
Merawat Kebhinekaan
Acara Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara, sebagaimana disampaikan oleh Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan, digagas sebagai upaya untuk mengajak masyarakat luas untuk lebih mengenal Indonesia melalui ragam budaya penutup kepala perempuan di nusantara. Acara ini sekaligus menjadi ruang pengingat terhadap adanya tantangan penyeragaman berdasarkan interpretasi tunggal berdasarkan kelompok agama tertentu.
“Yang berdampak pada pembatasan hak berekspresi, beragama dan berkeyakinan,” ungkap Andy dalam sambutannya. Dampak itu tidak hanya dirasakan oleh pemeluk bukan agama tersebut karena didorong untuk menyesuaikan diri. Dampak itu juga dirasakan oleh komunitas agama yang dirujuk dalam suatu kebijakan, sementara komunitas agama itu sendiri mempunyai keragaman pandangan.
Baca Juga: Perempuan dan Hak Asasi Manusia
Keragaman penutup kepala yang dikenakan perempuan, dimaknai oleh Anita Martha Hutagalung, sebagai ekspresi identitas. “Bukan sentimen kedaerahan,” jelas Anita di acara yang sama (18/08/2021). Ditegaskan Anita, hal itu justru merupakan bagian dari kebhinekaan.
Mendukung Perekonomian Penenun
Kegiatan ini mendapatkan sambutan dari peserta yang hadir. Salah seorang peserta, Ade Tanesia, mendukung agar keragaman pemakaian penutup kepala ini dimassifikasi. “Kalau ini jadi gerakan, bisa menggerakkan juga ekonomi penenun, penjahit yang [mem]buat penutup [kepala]nya. Efeknya ke UMKM perempuan di berbagai daerah,” tulisnya di kolom chat.
Peserta lainnya, Saur Tumiur Situmorang, juga berpendapat serupa. Bahkan menurut Saur, perempuan di nusantara memiliki kreativitas dalam menggunakan kain, selain sebagai penutup kepala, “Perempuan juga menggunakan kain atau tenun sebagai kemben, selendang, penggendong bayi/anak, dan assesoris,” tulisnya.
Namun demikian, Saur mengingatkan, penggunaan kain penutup kepala perempuan jangan sampai menjadi kewajiban dan penyeragaman. Sebaliknya, kain penutup kepala hendaknya dimaknai sebagai wujud kebhinekaan kreasi perempuan atas selembar kain. [EM]
