Potret Perempuan Kepala Keluarga dalam Tradisi Manjapuik

 Potret Perempuan Kepala Keluarga dalam Tradisi Manjapuik

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Perempuan berkerudung hitam itu mengangkat tangannya secara virtual. Dia membagikan pengamatannya selama tinggal di daerah Kerinci, Sumatera Barat. Sebut saja namanya Maryam, salah satu peserta dalam tadarus subuh Dr. Faqihuddin Abdul Kodir yang rutin digelar saban Minggu pagi secara daring.

Antusias Maryam menceritakan pengamatannya terhadap sebuah keluarga yang ditopang oleh kerja keras seorang perempuan. Tanpa sungkan Maryam mencari tahu apa yang melatari perempuan itu menjadi kepala keluarga.

“Saya pernah dulu tinggal di Kerinci perbatasan Jambi Padang. Jadi istilah manjapuik itu betul-betul istri yang menjadi penanggung jawab rumah tangga itu ada benar contohnya. Istrinya itu memang dari awal menikah tidak pernah mengeluh soal tanggung jawab rumah tangga karena dia sudah menikah memang dia yang manjapuik,” ungkap Maryam.

Tradisi manjapuik adalah salah satu rangkaian acara perkawinan dalam adat Minangkabau.  Manjapuik sudah dilaksanakan oleh nenek moyang secara turun-temurun. Manjapuik Marapulai merupakan acara adat di mana calon pengantin pria dijemput dan dibawa ke rumah calon pengantin wanita untuk melangsungkan akad nikah. Upacara adat ini berlangsung serentak dengan pemberian gelar pusaka kepada calon mempelai pria sebagai tanda sudah dewasa.

Baca Juga: Perempuan Kepala Rumah Tangga Bukan Penghalang Berkah

Apakah tradisi ini lantas mendudukkan perempuan sebagai pemilik otoritas atas suami? Seperti apa praktik kehidupan rumah tangga dari tradisi perkawinan manjapuik itu dari pengamatan Maryam?

Sebagai kepala keluarga, perempuan itu bahkan merasa  bertanggung jawab memfasilitasi suami dengan memberinya sebuah toko kelontong. Apakah dari sini kemudian suami menjadi  pencari nafkah?

“Jadi kalau suaminya itu dikasih kerjaan, itu bukan untuk menafkahi rumah tangganya tapi supaya dia itu terhibur hidupnya. Tetapi penghasilannya tidak pernah dituntut untuk rumah tangga,” kata Maryam.

Sebagai pengamat tradisi di Sumatera, Maryam lalu menanyakan alasannya.  Perempuan itu menjawab agar kebutuhan suaminya terpenuhi, tanpa harus meminta kepadanya. Bahkan, saat perempuan itu punya kelebihan rezeki, maka dia akan mengutamakan bersedekah kepada suaminya.

“Hasilnya, bangun rumah, dia, sekolahin anak, dia, tetapi dalam pengamatan saya betul-betul diberkahi oleh Allah. Saya bandingkan seorang rumah tangga yang betul-betul full  ditanggungjawab oleh ayah dan ini ditanggungjawab oleh ibunya, itu luar biasa. Itu anak-anaknya sukses semua,” ungkap Maryam.

Baca Juga: Agus Tak Risih Mencuci Baju: Berbagi Peran dalam Rumah Tangga

Masih penuh antusias Maryam melanjutkan hasil pengamatannya. Keduanya kini menikmati masa tua dengan dana pensiun dari istri, sang perempuan kepala keluarga.

“Saya senang mengamati seorang ibu rumah tangga yang ikhlas dan tidak menuntut dan tidak mengatakan dunia terbalik yang sepertinya lebih sukses dan dia sangat ikhlas dengan rumah tangganya itu,” kata Maryam.

Dari amatannya, Maryam mengingatkan kalau peran gender adalah sebuah konstruksi sosial yang bisa dikomunikasikan dengan pasangan.

“Kayaknya memang sekarang ya sudah tidak dunia terbalik. Siapa yang mampu menanggung rumah tangganya saling toleransi sajalah, toleransi dalam rumah tangga. Moderasi itu bisa dipraktekkan dalam berumah tangga, moderat dalam kehidupan sosial, moderasi dalam beragama,” ujar Maryam mengakhiri sharing pengamatannya. [Nur Azizah]

 

 

Digiqole ad