Polemik Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021
Oleh: Agung Wardana
Perdebatan seputar diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbudristek PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi telah keluar jauh dari konteks. Utamanya, argumentasi-argumentasi penolakan dibangun berdasarkan asumsi liar semata. Di sisi yang lain, ada fakta bahwa kekerasan seksual di perguruan tinggi telah menjadi permasalahan mendesak untuk ditangani dan dicegah.
Ada beberapa poin yang coba saya cermati dalam perdebatan tersebut.
Pertama, perbedaan antara pihak yang pro dan kontra terhadap Permendikbudristek PPKS tersebut memposisikan perempuan secara berbeda. Meski korban kekerasan seksual tidak saja bisa menimpa perempuan, namun yang lebih banyak disoroti dalam perdebatan ini adalah perempuan sebagai korbannya.
Dalam hal ini, kritik diungkapkan oleh pihak kontra karena peraturan menteri tersebut menggunakan pendekatan feminis di mana kekerasan seksual dipandang sebagai akibat dari “ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender”. Melalui kritik ini, pihak kontra seakan mengamini ketimpangan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki sebagai sesuatu yang kodrati sehingga tidak perlu dipermasalahkan, apalagi dijadikan alasan penyebab kekerasan seksual.
Baca Juga: Pernyataan Sikap Asosiasi LBH APIK Indonesia terhadap Permendikbud PPKS
Kedua, perdebatan terkait dengan Permendikbudristek PPKS ini menyentuh makna filosofis tentang otoritas tubuh perempuan. Penyusun, aktivis perempuan dan penyintas mendukung Permendikbudristek PPKS ini berdasarkan pandangan bahwa perempuan memiliki otoritas atas tubuhnya. Otoritas atas tubuh ini yang kemudian diejawantahkan melalui konsep bernama ‘consent’ (pemberian persetujuan).
Maksudnya, segala tindakan yang berimplikasi pada tubuh perempuan harus berdasarkan persetujuan perempuan tersebut sebagai pemilik. Namun para penolak Permendikbudristek PPKS menggunakan cara pandang yang konservatif di mana tubuh perempuan merupakan otoritas dari suami, negara, dan Tuhan sehingga yang memiliki kewenangan untuk mengatur tubuh perempuan adalah sang suami (jika ia sudah menikah, atau wali-nya bagi yang belum menikah), negara melalui institusi perkawinan, dan Tuhan melalui ritus “penghalalan” atas tubuh perempuan.
Ketiga, pihak penolak Permendikbudristek PPKS menggunakan model penalaran hukum (legal reasoning) yang sesat. Hal ini dilakukan oleh penolak Permendikbudristek PPKS dalam memelintir frasa menyangkut consent yakni “tanpa persetujuan korban” terutama dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b (memperlihatkan alat kelamin), huruf l (menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, atau menggosokkan bagian tubuh), huruf m (membuka pakaian korban).
Mereka kemudian berargumentasi bahwa apabila perempuan memberikan persetujuan maka tindakan tersebut menjadi diperbolehkan. Selanjutnya mereka lompat pada kesimpulan bahwa Permendikbudristek PPKS ini “melegalkan”, “memperbolehkan”, atau pun “mengesahkan” zina karena tidak dilarang sama sekali dalam permen. Pertanyaannya, apakah ketiadaan larangan terhadap zina dalam Permendikbudristek PPKS ini kemudian membuatnya menjadi diperbolehkan atau bahkan dilegalkan?
Di sinilah pentingnya kita belajar perbandingan hukum sehingga paham perbedaan antara penalaran hukum dalam tradisi common law (Anglo Saxon) dengan tradisi civil law (Eropa Kontinental). Dalam tradisi civil law, prinsipnya adalah “everything that is not permitted is prohibited” (segala perbuatan yang tidak diperbolehkan berarti menjadi perbuatan yang dilarang) sedangkan prinsip dalam tradisi common law adalah “anything that is not prohibited is permitted” (segala perbuatan yang tidak dilarang berarti ia diperbolehkan).
Dalam perdebatan tentang Permendikbudristek PPKS tersebut, karena kita menganut tradisi hukum civil law, maka apabila tidak ada larangan untuk melakukan zina bukan berarti zina itu menjadi diperbolehkan. Logika hukum yang berlaku di sini adalah tindakan tersebut masih dilarang kecuali ada perintah tegas yang memperbolehkannya.
Terlebih lagi bahwa perbuatan tersebut telah secara tegas dilarang dalam aturan yang lain mulai dari KUHP hingga kode etik dosen, mahasiswa dan tenaga kependidikan. Di sini, kita hanya perlu menggunakan penafsiran sistematis – menghubungkan satu aturan dengan aturan lain yang relevan – karena satu aturan tidak bisa mengatur semua hal.
Keempat, pihak penolak Permendikbudristek PPKS berpendapat bahwa jika memang Permendikbudristek PPKS ini ditujukan untuk melawan kekerasan seksual, maka aturan ini harus tegas menghilangkan frasa “tanpa persetujuan korban.”
Penghilangan frasa “tanpa persetujuan korban” dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, huruf l dan huruf m akan menyebabkan perbuatan tersebut secara kategorikal sebagai kejahatan. Padahal, perbuatan sebagaimana diatur pasal tersebut dalam kondisi tertentu tidaklah jahat. Namun, ia baru menjadi kejahatan apabila dilakukan tanpa persetujuan korban atau dengan paksaan.
Sebuah ilustrasi bisa membantu di sini. Misalnya, ketika seorang mahasiswi mengalami kecelakaan di kampus dan mengalami patah tulang rusuk, seorang dosen yang memiliki keterampilan pertolongan pertama bermaksud membantu mengobati cideranya. Mau tidak mau ia harus membuka pakaian mahasiswi bersangkutan tentu saja setelah memperoleh persetujuan untuk melakukannya.
Frasa “tanpa persetujuan korban” ini juga dibutuhkan bagi dokter yang bertugas di klinik atau universitas untuk bisa memeriksa pasien baik yang berstatus mahasiswa, dosen mau pun tendik. Bayangkan jika frasa “tanpa persetujuan korban” ini dihilangkan, maka tindakan yang dilakukan dosen penolong dan dokter tersebut akan masuk dalam kategori kekerasan seksual. Tentu kita tidak sampai berpikir sejauh itu jika dalam kepala kita yang ada hanya pandangan bahwa segala yang menyangkut tubuh perempuan adalah tentang syahwat.
Demikian pendapat saya untuk menjadi kisi-kisi kelas Philosophy of Law yang kebetulan materinya tentang Feminist Jurisprudence. Semoga bisa membantu menunjukkan mana argumentasi yang jernih dan logis dalam melihat Permendikbudristek tentang kekerasan seksual ini.
Hal yang perlu dicatat bahwa, dikeluarkannya aturan ini memang tidak secara otomatis menghilangkan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, karena aturan memang tidak bekerja selayaknya tongkat sulap. Setidaknya aturan ini memberikan alat klaim bagi penyintas dan pendamping penyintas. Selebihnya adalah bagaimana cara kita menggunakannya untuk memperjuangkan keadilan bagi para penyintas.
Penulis merupakan dosen Fakultas Hukum UGM dan anggota Pusat Kajian Law, Gender and Society Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disampaikan oleh penulis melalui akun media sosialnya @agungwa*an*ak dan diterbitkan ulang atas seizin penulis.