Pesan dari Negeri Seberang

 Pesan dari Negeri Seberang

Ilustrasi

Suatu hari di awal Juli, seorang perempuan bernama IP mengirim pesan kepada Mahadir, Ketua SBMI Mempawah. IP mengatakan bahwa dirinya diperlakukan aneh oleh suaminya selama dua minggu ini. Ia diinfus oleh dukun rumahan, padahal ia tidak sakit. Ia pun kemudian khawatir dengan obat-obatan yang masuk ke tubuhnya, ia takut jika obat-obatan itu justeru merusak kesehatannya, termasuk pikirannya.

Menurut Mahadir, pesan dari IP sangat menyayat hati karena kata-katanya bernada putus asa.

“Pak minta tolong saya dipertemukan sama KBRI beijing, karena saya gak betah lagi disini, lama di sini mati saya dihajar sama mereka, setiap hari saya dipaksa infus,padahal saya gak sakit, saya takut di infus terus pak” pesan IP.

Pesan senada tersebut terus diulanginya kepada Mahadir.

“Abang aku gak betah di sini tolonglah buat pengaduan agar aku bisa secepatnya dipulangkan, aku di sini sering disiksa ditampar dipukul setiap hari, terus aku di infus padahal aku gak sakit mereka bilang aku sakit tapi ak gak merasakan sakit tiap hari pergi infus bisa mati aku lama lama kyak gini..” pesan IP lainnya via WhatsApp.

Pesan IP itu bukan yang pertama kali diterima Mahadir. IP sudah pernah mengadukan persoalannya pada pertengahan Mei 2019, ketika SBMI Mempawah melakukan pemulangan korban pengantin pesanan berinisial MA.

Belakangan diketahui, komunikasi sering terputus karena HP IP sering dirampas oleh suami dan keluarganya. Pesan dari IP pun tidak berlanjut.

Mahadir akhirnya dapat melacak keberadaan IP setelah tersambung dengan kakak-kakaknya. Dari penelusuran itu ia mendapatkan informasi bahwa IP, perempuan asal Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat, masih berusia 13 tahun saat diberangkatkan ke Tiongkok untuk dikawinkan dengan laki-laki yang dijadikan jodohnya. Namun dalam kartu identitas yang dibawanya, tertulis bahwa ia sudah berusia 21 tahun.

Hal itu diketahui dari perbedaan usia IP yang tercantum dalam Kartu Keluarga yang diterbitkan pada tanggal 2 Mei 2015, dengan Kartu Keluarga baru yang diterbitkan pada tanggal 12 November 2018. Dari dokumen tersebut, ada dugaan kuat pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh perekrut dengan melibatkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

Dari penelusuran juga didapatkan temuan bahwa IP direkrut pada November 2018 oleh Y dan A (Makcomblang Sanggau), lalu diproses di Jakarta selama satu bulan oleh M dan J, dan diterbangkan pada 13 Januari 2019 ke Shijiazhuang, ibu kota Provinsi Hebei. Di kota ini IP diterima oleh Ah untuk diserahkan kepada calon suaminya bernama LS.

Apa yang dilakukan oleh Y dan A telah melanggar pasal 76 huruf (f) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang UU Perlindungan anak, junto pasal 83 dengan ancaman minimal 3 tahun maksimal 15 tahun, dan denda paling sedikit 60 juta paling besar 300 juta. Selain itu pelaku juga dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Apabila korbannya anak, unsurnya cukup dua yaitu Proses dan Tujuan/Eksploitasi.

Belakangan diketahui, selama berada di Tiongkok, IP juga diharuskan keluarga suaminya untuk bekerja di ladang, menanam jagung, dan memanggul gandum saat panen. Namun dari pekerjaan yang ia lakukan, tidak sepeserpun ia menerima upah.

Berawal dari pesan IP, SBMI Mempawah telah mengambil berbagai langkah untuk memulangkan IP ke daerah asalnya. Tidak berhenti sampai di sana, SBMI Mempawah juga melaporkan Y dan A kepada pihak yang berwenang, sembari menyebarluaskan informasi mengenai bahaya bujuk rayu para makcomblang lapangan yang merekrut perempuan untuk menjadi pengantin pesanan.

Apabila ada orang yang menjanjikan sejumlah uang untuk kawin dengan anak orang kaya, dan mengiming-imingi bahwa nanti bisa kirim uang ke rumah, serta berbagai bujuk rayu lainnya, waspadalah karena itu tindak pidana perdagangan orang bermodus pengantin pesanan.

Ilustrasi: Pixabay.com

Boby Alwi
Penulis adalah Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI)

====
Tulisan ini dituliskan kembali untuk JalaStoria.id dengan editing seperlunya oleh redaksi.

Digiqole ad