Perkumpulan JalaStoria Gelar Workshop Mengajak Wartawan Lebih Peka Memberitakan Korban Kekerasan Seksual

Workshop Etika Jurnalistik pada Pemberitaan Kekerasan Seksual melalui Pendekatan Perlindungan Korban dan Responsif Gender Kekerasan Seksual di Lingkungan Pers
Aksi kekerasan terhadap perempuan masih kerap terjadi di Indonesia. Sayangnya, para korban kekerasan ini kerap mendapat perlakukan yang tidak adil. Si korban tak hanya menjadi korban kekerasan, tapi juga kerap menjadi korban dalam sebuah pemberitaan di media.
Harus diakui, sampai saat ini pemberitaan tentang kekerasan seksual, baik di media elektronik, media cetak, media online menyita perhatian publik. Oleh karena itu perlu pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan dalam meliput berita kekerasan seksual dengan memperhatikan kepentingan dan hak-hak korban.
Hal tersebut juga mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Wartawan dalam hal ini sebagai garda terdepan pemberitaan harus memiliki etika jurnalistik pada pemberitaan kekerasan seksual melalui pendekatan perlindungan korban dan responsif gender.
Berkaca pada hal itulah, Perkumpulan JalaStoria Indonesia bersama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menggelar Workshop Etika Jurnalistik pada Pemberitaan Kekerasan Seksual melalui Pendekatan Perlindungan Korban dan Responsif Gender Kekerasan Seksual di Lingkungan Pers.
Workshop diikuti oleh puluhan wartawan dari Jakarta dan beberapa kota besar lainnya sejak Juni 2024. Direktur Eksekutif JalaStoria, Ninik Rahayu menegaskan bahwa media merupakan mitra strategis dalam melindungi korban kekerasan seksual. Menurutnya, media memiliki peranan positif sebagai penyambung suara korban, sarana edukasi pada publik, serta memberikan kontribusi pada kebijakan.
Ninik Rahayu juga menyampaikan ada tantangan yang dihadapi dalam menciptakan pemberitaan isu kekerasan seksual yang berperspektif gender dan mengedepankan kepentingan terbaik bagi korban, terutama di era kemajuan teknologi. Salah satu tantangan yang juga harus diatasi yakni pemberitaan di media sosial yang kerap mengungkap identitas. Menurut Ninik, hal ini menjadi kontaproduktif dengan upaya perlindungan korban.
“Kami memiliki 3 (tiga) catatan penting yang dapat direkomendasikan. Pertama, perkembangan jurnalis perempuan semakin banyak, tetapi penekanan pada perspektif gender justru berkurang. Kedua, sudah ada institusi pers yang menginisiasi wacana dan diskusi soal gender dan perlindungan korban, tetapi di lembaga yang lain belum ada sama. Ketiga, ada tantangan di industri media, misalnya perusahaan media belum memiliki kesamaan terhadap kepedulian pada penekanan pentingnya perlindungan korban dan responsif gender,” kata Ninik Rahayu.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga juga ikut menanggapi dengan mendorong sinergi lintas pihak untuk memastikan pemberitaan terkait kekerasan seksual dapat berperspektif gender dan mengedepankan kepentingan terbaik bagi korban.
“Mari kita bergerak bersama sesuai dengan tugas dan fungsi kita masing-masing, baik itu Kemen PPPA, Dewan Pers, Kementerian/Lembaga, dan media untuk kita bisa memberikan perlindungan yang terbaik kepada korban. Kehadiran teman-teman media pun menjadi penting untuk memberikan edukasi kepada masyarakat,” ujar Bintang Puspayoga.
Melalui workshop ini, Perkumpulan JalaStoria bersama dengan Kemen PPPA, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan konstituen Dewan Pers akan menyusun modul, kurikulum, atau bahan ajar terkait etika jurnalistik pemberitaan kekerasan sesual yang diharapkan dapat menjadi bagian dari kebijakan Dewan Pers.
