Perempuan Disabilitas di Tengah Pusaran KDRT
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga. Termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Pengertian ini berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Kekerasan ini dapat dialami oleh siapa saja yang berada dalam lingkup rumah tangga. Lingkup rumah tangga dalam Pasal 2 UU PKDRT meliputi suami, istri, dan anak. Selain itu, orang-orang yang juga memiliki hubungan dengan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, persusuan dan pengasuhan, serta perwalian yang menetap dalam rumah tangga. Lingkup rumah tangga lainnya juga meliputi orang yang bekerja membantu dalam rumah tangga tersebut.
Sejak Januari 2023 hingga saat ini, kasus berdasarkan tempat kejadian rumah tangga menjadi kasus tertinggi. Hal ini berdasarkan data yang diinput dalam SIMFONI Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, di mana jumlah kasus dengan tempat kejadian rumah tangga mencapai 13.318 kasus. Adapun jumlah korban berdasarkan tempat kejadian rumah tangga sebanyak 14.318 korban.
Temuan dalam Catatan Tahunan Komisi Nasional (CATAHU Komnas) Perempuan Tahun 2021, data kekerasan terhadap perempuan dari mitra lembaga layanan mendapati kasus KDRT sebagai kasus yang paling menonjol di ranah personal, yakni sebanyak 6.480 kasus atau sekitar 79%. Kekerasan terhadap istri menempati urutan pertama dengan 3.221 kasus atau sekitar 50%.
Baca Juga: Tiga Tantangan Implementasi UU Penghapusan KDRT
Adapun dalam CATAHU Komnas Perempuan 2023, angka kasus KDRT juga masih terbilang cukup tinggi. Terhitung di ranah personal, kekerasan terhadap istri menyentuh angka 622 kasus, angka ini menempati urutan kedua setelah kekerasan mantan pacar.
Berdasarkan data di atas, perempuan termasuk dalam kelompok rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Namun demikian, perempuan disabilitas memiliki kerentanan lebih tinggi dalam kelompok rentan mengalami KDRT.
Meski tidak secara spesifik disebutkan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, data dari Komnas Perempuan mendapati Kekerasan Berbasis Gender di ranah personal, khususnya kekerasan terhadap istri menjadi kasus tertinggi yang dialami oleh perempuan disabilitas. Data ini dihimpun dari pengaduan ke Komnas Perempuan dan Lembaga Pengada Layanan Korban Kekerasan sepanjang tahun 2022.
Perempuan disabilitas rentan mengalami KDRT juga didukung oleh data dari Rumah Cakap Bermartabat (RCB) dan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA). Dalam Catatan Tahunan Rumah Cakap Bermartabat SAPDA 2021 dari proses pendampingan kasus kelompok disabilitas, kasus KDRT adalah kasus paling umum terjadi yang ditangani RCB SAPDA sebesar 33%. Sementara berdasarkan jenis kelamin, perempuan disabilitas adalah klien terbanyak yang ditangani.
Baca Juga: Ketika Korban KDRT Tidak Mau Melaporkan Pelaku
Mengapa perempuan disabilitas lebih rentan mengalami KDRT dibanding perempuan yang tidak mengalami disabilitas? Penelusuran sejauh ini belum terdapat informasi yang secara spesifik menunjukkan faktor-faktornya. Namun, Komnas Perempuan mencatat terdapat sejumlah faktor yang menjadi penyebab kerentanan perempuan disabilitas menjadi korban kekerasan berbasis gender. Dengan demikian, faktor-faktor tersebut juga dapat menjadi faktor yang menyebabkan kerentanan pada perempuan disabilitas yang mengalami KDRT, mengingat KDRT merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender. Di antaranya:
- Kesulitan Mengakses Layanan Publik
Perempuan disabilitas cenderung lebih sulit dalam mengakses layanan publik. Seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan akses terhadap sumber daya ekonomi serta akses perlindungan hukum.
Pentingnya akses layanan publik tidak dapat dipungkiri. Akses pendidikan akan membantu perempuan disabilitas sebagai modal menjangkau sumber ekonomi sehingga dapat hidup mandiri. Faktor ekonomi atau kebergantungan secara ekonomi adalah salah satu faktor tertinggi penyebab adanya KDRT.
Sedangkan akses perlindungan hukum salah satu kesulitannya adalah tidak semua pengada layanan atau lembaga bantuan hukum yang memberikan pelayanan khusus bagi korban KDRT perempuan disabilitas sesuai dengan kebutuhannya. Kebutuhan khusus tersebut contohnya adalah jasa penerjemah bahasa isyarat bagi penyandang disabilitas.
- Stigma Negatif terhadap Perempuan Disabilitas
Masyarakat kadang kala banyak yang menuntut perempuan disabilitas berperilaku sama dengan perempuan yang tidak mengalami disabilitas, termasuk dalam menjalankan tugas sebagai istri atau ibu. Perempuan disabilitas atau yang tidak mengalami disabilitas bisa menjalankan perannya dengan baik meski caranya berbeda. Namun, perbedaan tersebut justru membuat masyarakat menilai bahwa perempuan disabilitas kurang mampu menjalankan tugas dan perannya sebagai istri atau ibu. Hal ini yang dapat memicu terjadinya kekerasan terhadap istri bagi perempuan disabilitas. Kekerasan terhadap istri termasuk dalam ranah KDRT.
Baca Juga: Bayang-bayang Broken Home bagi Korban KDRT
Selain itu, perempuan disabilitas acapkali dianggap aib keluarga, yang mengakibatkan keluarga lebih condong untuk menyelesaikan kasus secara kekeluargaan, dibanding melaporkannya secara hukum.
- Rendahnya Pengetahuan Kekerasan Berbasis Gender
Pengetahuan kekerasan berbasis gender bagi perempuan penyandang disabilitas sangat penting. Mengetahui jenis, cara mencegah, dan cara melaporkan apabila terjadi tindak kekerasan akan membantu perempuan penyandang disabilitas mendapat keadilan. Sebaliknya, rendahnya pengetahuan terkait hal tersebut akan membuat perempuan penyandang disabilitas kebingungan saat menghadapi tindak kekerasan. Dampaknya, perempuan penyandang disabilitas akan terus berada pada zona kekerasan dalam hidupnya. [Uung Hasanah]