Perempuan dan Keseimbangan dalam Gamelan

 Perempuan dan Keseimbangan dalam Gamelan

Bonang Gamelan (Foto: Supriyadi)

Oleh: Supriyadi

 

Mendengar kata gamelan, tentu sudah akrab di telinga masyarakat negeri ini. Orkestra terbesar kedua di dunia ini telah dikukuhkan menjadi warisan dunia tak benda oleh UNESCO tempo hari. Atas peristiwa tersebut, sorak-sorai mewarnai masyarakat Indonesia secara parsial. Turut berbangga!

Dalam gamelan, terdapat berbagai nilai yang patut untuk dicerap, entah secara tekstual ataupun kontekstual. Misalnya nilai toleransi dalam gamelan. Dalam gamelan, konsep  mad-sinamadan begitu dijunjung; yakni konsep untuk saling menghargai satu sama lainnya-saling mendengarkan satu sama lainnya. Dengan menjunjung konsep tersebut, keharmonisan bunyi akan terlahir.

Kemudian, nilai kebersamaan. Dalam gamelan, terdapat banyak instrumen yang dimainkan. Tanpa adanya rasa kebersamaan, tentu keharmonisan tidak akan menggema dalam gamelan. Selain itu, masih banyak nilai yang pantas untuk dicerap dan dikhidmati dalam gamelan. Secara subyektif,  fenomena yang menarik ialah istilah lanang-wadon dalam instrumen gamelan.

 

Lanang-Wadon

Dalam Gamelan Ageng (gamelan yang umum digunakan dalam masyarakat Jawa), terdapat instrumen yang bernama Bonang: Bonang Barung dan Bonang Penerus. Di dalamnya, terdapat dua baris tatanan Bonang, yakni atas dan bawah. Bagian atas sering disebut Bonang Lanang: ia memiliki nada/oktaf tinggi. Sedangkan, bagian bawah disebut Bonang Wadon: ia memiliki nada/oktaf rendah. Hal serupa juga ditemui dalam Gangsa di Bali. Kemudian, di berbagai jenis gamelan di Bali, sering ditemui dua jenis Kendhang, yakni Kendhang Lanang dan Kendhang Wadon. Tidak hanya itu, di Jawa pada Gamelan Carabalen juga ditemui Kendhang dengan kasus serupa.

Baca Juga: Menuju Kesetaraan Gender

Dalam bahasa Jawa, lanang-wadon merujuk pada pengertian gender; lanang adalah laki-laki, sedangkan wadon adalah perempuan. Barangkali, penamaan pada instrumen-instrumen terpapar juga merujuk pada makna tersebut. Dalam jurnal yang bertajuk “Permainan Kendhang Bali” karya Danika Pryatna, dkk., “lanang dapat diartikan sebagai laki-laki dan wadon dapat diartikan sebagai perempuan” (2020: 91).

Kemudian, dalam penamaan ini perlu direnungkan ihwal nama Bonang yang ada pada gamelan tersebut. Bonang Lanang identik dengan nada yang tinggi, sedangkan Bonang Wadon merujuk pada nada yang rendah. Pun, dalam Kendhang Bali juga sama: Kendhang Wadon biasanya memiliki pakelit dengan lubang lebih kecil daripada Kendhang Lanang dan menimbulkan frekuensi bunyi yang lebih rendah, sedangkan Kendhang Lanang memiliki pakelit lubang yang lebih besar dari Kendhang Wadon dan menimbulkan bunyi dengan frekuensi yang lebih tinggi (Bandem, 2013 dalam Danika Prayitna, dkk., 2020:91).

Dalam paparan di atas, dapat ditarik sebuah pengejawantahan bahwa bunyi rendah identik dengan wadon atau perempuan; sedangkan bunyi tinggi identik dengan lanang atau laki-laki. Syahdan, apakah peristiwa tersebut ada tautannya dengan budaya yang berkembang di Jawa atau Bali? Pasalnya, budaya patriarki agaknya memang berkembang di wilayah tersebut.

 

Keseimbangan

Atas tautan budaya patriarki yang berkembang, secara parsial kiranya akan menganggap bahwa penamaan bonang ataupun kendhang ini menjadi semacam “diskriminasi” gender. Selain itu, fakta lapangan ihwal sedikitnya (meskipun relatif ada)  niyaga  (pemain gamelan) perempuan yang ada dalam gamelan menjadi penguat pernyataan itu. Namun, jika ditelaah, adanya penamaan lanang-wadon merupakan makna sebuah keseimbangan.

Konsep lanang-wadon sebenarnya sudah terejawantahkan sejak dulu melalui artefak lingga-yoni (lingga diartikan sebagai simbol kejantanan laki-laki, sedangkan yoni diartikan sebagai simbol perempuan) dalam kepercayaan Hindu yang banyak ditemukan di Jawa dan Bali. Menyatunya lingga dan yoni menjadi simbol akan kesuburan dan keharmonisan. Kiranya, makna ini juga bertautan dengan peristiwa lanang-wadon yang ada pada gamelan, mengingat kepercayaan Hindu lekat dengan perjalanan historis Jawa dan Bali.  Dalam buku yang bertajuk “Musik dan Kosmos: Sebuah Pengantar Etnomusikologi” karya Shin Nakagawa, “Klasifikasi ini pasti berhubungan dengan kosmologi masyarakat Bali dan Jawa; lanang-wadon adalah pasangan yang disejajarkan dengan pasangan kanan-kiri, angkasa (langit)-pertiwi (bumi), gunung-laut, dan lain-lain)” (2000: 85).

Baca Juga: Mempercepat Pembangunan Kesetaraan Gender di Indonesia

Hal selaras juga diungkapkan oleh Bandem (2013) dalam Danika Prayitna, dkk., “Hampir semua ansambel dan instrumen gamelan Bali diciptakan berdasarkan prinsip lanang dan wadon, purusa (jiwa atau spiritual) dan pradana (raga atau sesuatu yang bersifat material), laki dan perempuan, sehingga prinsip ini jika dipadukan akan menimbulkan sebuah keindahan, keharmonisan, dan keselarasan jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari” (2020: 91).

Atas paparan tersebut, dapat ditarik sebuah nilai bahwa keharmonisan begitu ditekankan dalam gamelan. Nilai ini kiranya menjadi sebuah penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Jika bunyi Bonang hanya satu saja, misalnya Bonang Lanang; tentu bunyi yang dihasilkan akan timpang. Begitupun dengan Kendhang; jika hanya dimainkan salah satunya tentu juga akan timpang. Butuh kehadiran Bonang Wadon dan Kendhang Lanang untuk menghasilkan keharmonian bunyi.

Dalam berbagai kesempatan, seringkali masyarakat menganggap bahwa perempuan berada di bawah laki-laki. Bahkan, kebanyakan masyarakat masih menganggap tabu mengenai pemain gamelan yang berjenis kelamin perempuan (kecuali sebagai Sinden – pemain yang bertugas sebagai vokalis perempuan). Ataupun, peristiwa bahwa tidak lazimnya perempuan bermain gamelan di berbagai tempat yang saya temui.

Peristiwa-peristiwa di atas agaknya sudah lekas menurun meskipun masih terjadi di beberapa tempat. Bertautan dengan hal ini, konsep keseimbangan yang ada dalam gamelan kiranya menjadi sebuah terminal kesadaran. Dengan mencerapi nilai keseimbangan dalam gamelan tersebut, tentu anggapan dan stigma patriarki bahwa perempuan selalu di bawah laki-laki dapat disingkirkan. Laiknya harmoni dalam gamelan, perempuan menjadi sebuah penyeimbang; artinya perempuan mempunyai posisi penting untuk menciptakan keharmonisan yang diinginkan.

Baca Juga: Perempuan, Masyarakat Patriarki, dan Kesetaraan Gender

Keharmonisan tidak saja mewujud dalam pola permainan gamelan. Keharmonisan juga tidak hanya berkelindan pada bebunyian yang dihadirkan oleh gamelan. Lebih jauh dari itu, dengan adanya konsep keseimbangan ini kiranya keharmonisan dalam kultur kehidupan juga patut untuk dinunaikan. Untuk mempertebal hal ini, pendapat Bandem kiranya menjadi sebuah kalimat yang penting untuk direnungkan, “…prinsip ini jika dipadukan akan menimbulkan sebuah keindahan, keharmonisan, dan keselarasan jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari”. Dengan begitu, keselarasan antara perempuan dan laki-laki akan semakin terajut. Amin! []

 

Orang yang suka menulis dan membuat karya musik dari nilai-nilai budaya

 

Daftar Referensi:

Prayitna, Danika P., dkk. 2020. Permainan Kendhang Bali”. Dewa Ruci: Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni, Vol. 15, No. 2, pp. 90-100.

Nakagawa, Shin. 2000. Musik dan Kosmos: Sebuah Pengantar Etnomusikologi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hendrawati, Bayu. 2015. Patriarki dalam Citra Perempuan Jawa.  Ekspresionline.com 

Utomo, Udi. 2006. Gender dan Musik: Kajian tentang Konstruksi Peran Laki-laki dan Perempuan dalam Proses Pendidikan Musik. Harmonia: Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, Vol. VIII, NO. 1/Januari-April, 2006.

Digiqole ad