Perempuan dalam sejarah Filsafat Yunani Kuno dan Filsafat Islam

 Perempuan dalam sejarah Filsafat Yunani Kuno dan Filsafat Islam

Ilustrasi (Sumber: Canva.com)

 

Pandangan yang memosisikan perempuan lebih rendah daripada laki-laki yang berkembang dalam pemikiran filsafat Islam tidak terlepas dari pengaruh berbagai pemikiran Yunani kuno yang terlebih dulu hadir. Dinasti Abbasiyah  pada abad ke-9 M meletakkan pondasi perkembangan pengetahuan pada masanya termasuk melalui pengembangan penerjemahan dari akademisi Kristen. Penerjemahan atas berbagai pemikiran Yunani kuno itu telah dirintis oleh akademisi Kristen pada abad ke-6 M, melalui Sekolah Alexandria di Mesir.

Hal itu mengemuka dalam diskusi Filsafat Perempuan dalam Islam, yang diselenggarakan oleh Front Santri Melawan Kekerasan Seksual  pada Rabu (5/5/2021).   “Filsafat Islam menyerap terminologi dan hakikat keilmuan Yunani Kuno. Selain itu, fokus juga kepada bahasan soal rasionalitas dalam mempertanyakan eksistensi Tuhan,” ujar Etin Anwar, narasumber diskusi.

Hubungan Hierarkis

Menurut pengajar Hobart and William Smith Colleges itu, banyak asumsi soal perempuan yang tidak benar, namun dilegitimasi oleh pandangan masyarakat saat itu. Sistem patriarki yang kokoh di masyarakat juga mendukung asumsi negatif terhadap perempuan.

Dalam pemikiran Aristoteles, relasi laki-laki dan perempuan tidak setara karena bentuk hubungan yang hierarkis. “Seolah-olah laki-laki mempunyai keunggulan dalam segi intelektual, sehingga harus menjadi kepala rumah tangga dan mengatur semuanya. Termasuk mengatur kehendak perempuan,” tegas Etin. Etin juga berkata bahwa ketika perempuan mendapat pendidikan, tetap dianggap lemah posisinya di masyarakat.

Senada dengan pemikiran era Yunani Kuno itu, asumsi negatif perempuan juga berlanjut dalam pemikiran filsafat Islam. Terutama pada awal perkembangan Islam di abad ke-7 M. Perempuan, sering dipandang sebagai ‘kelas kedua’ serta pemuas nafsu seksual laki-laki. “Dalam reproduksi, laki-laki menjadi penentu kehidupan melalui sel spermanya,” ungkapnya.

Di abad pertengahan, lanjut Etin, pembagian peran perempuan dan laki-laki menjadi jelas sekaligus timpang di rumah tangga. Tanggung jawab suami selalu dikaitkan dengan kepala keluarga. Dalam pemikiran Ibnu Sina, laki-laki bertanggung jawab sebagai pembawa uang di keluarga sehingga pandangan kepala keluarga harus laki-laki menjadi laten. Akibatnya, perempuan sering dipandang hanya mengurus rumah tangga saja.

Asumsi negatif perempuan itu kemudian menjadi nilai di masyarakat, di mana masyarakat mengarahkan perempuan untuk berkompetisi dalam hal kecantikan, kekayaan, dan lain-lainnya. Padahal, kompetisi ini kemudian menjadi nilai patriarkal.

Lima Nilai Negatif

Menurut Etin, asumsi negatif terhadap perempuan terbagi menjadi lima nilai. Pertama, nilai ontologis,  di mana status perempuan yang sudah kodratnya dijadikan kelas dua dalam masyarakat. Kedua, nilai epistemologis, di mana perempuan didefinisikan oleh laki-laki sehingga sebagian perempuan masih mencari validasi dari laki-laki untuk bertindak dan berpikir.

Ketiga, nilai fenomenologis, perempuan dalam proses kehidupan bernegara tidak cukup mendapatkan hak politik, pendidikan, dan sebagainya di undang-undang. Selain itu, harus juga dilihat secara hierarkis bagaimana posisi perempuan dalam masyarakat yang sering dipinggirkan. Keempat, nilai ekonomi, yang melihat tubuh perempuan sebagai hal-hal yang dianggap pantas maupun tidak pantas pekerjaannya di masyarakat.

Dan kelima, nilai moralitas di mana masyarakat sering memandang bias perilaku perempuan. “Misalnya suaranya haram untuk didengar, perempuan yang tidak punya anak dianggap tidak baik, bentuk nilai moralitas dari asumsi negatif seperti itu,” jawab Etin.

Ada dua model bagaimana mendekonstruksi atau memaknai ulang asumsi dan status perempuan yang negatif di masyarakat menurut Etin. Pertama, mengubah teori kodrat yang membelenggu perempuan. Salah satunya berbicara tentang pembagian kerja bagi perempuan yang seringkali eksploitatif.

Perempuan seringkali tidak diberi upah yang layak dalam kerjanya, terutama kerja di pabrik. “Karena asumsi perempuan teliti, makanya terkadang asumsi ini dibentuk oleh kapitalisme agar perempuan tidak melawan saat diupah murah dan diperkerjakan di luar batas jam kerja,” tegasnya. [ANHS]

Digiqole ad