Perebutan Ruang Gender dalam Ruang Ibadah

 Perebutan Ruang Gender dalam Ruang Ibadah

Saya adalah seorang perempuan yang tinggal di sebuah daerah padat penduduk di daerah Setiabudi, Jakarta Selatan. Seperti debu di sudut ruangan yang tidak bisa terjangkau sapu, mungkin itulah definisi tempat tinggal saya. Terdapat banyak orang khususnya kaum laki-laki tidur di ruang terbuka, dan beberapa orang tidur di sebuah Mushalla di dekat tempat tinggal saya. Itu mungkin tidak menjadi masalah besar selama tidak mengganggu kegiatan ibadah, namun kenyataannya tidak. Dalam agama saya, terdapat pemisahan ruang untuk beribadah bagi laki-laki dan perempuan. Hal tersebut juga di lakukan di Mushalla yang ada di daerah tempat saya tinggal. Saya memahami itu, oleh karena itu saya memilih untuk beribadah di ruang yang tersedia “khusus” tersebut.

Saya memahami ruang “khusus” tersebut sebagai tempat ibadah khusus untuk perempuan. Namun nampaknya bagi kaum laki-laki yang ada di tempat saya tinggal definisi “khusus” yang mereka pahami berbeda dengan apa yang saya pahami. Bagi mereka, ruang “khusus” tersebut merupakan tempat untuk bertemu, merokok, ngopi, mengganti baju, termasuk juga tidur di waktu-waktu sholat. Karena saya tidak ingin “mengganggu” kegiatan laki-laki di luar keperluan ibadah di ruang “khusus” beribadah perempuan tersebut, ataupun melaksanakan sholat mayat karena saya berniat menunaikan kewajiban solat wajib lima waktu di agama saya,  saya menggunakan ruang ibadah laki-laki yang sejauh saya lihat sangat dijaga kesuciannya untuk keperluan ibadah. Dan bagaimana reaksi kaum laki-laki yang melaksanakan ibadah di ruang yang dijaga kesuciannya tersebut? Merasa terganggu dengan keberadaan perempuan yang beribadah di ruang tersebut. Sebuah keadaan serba salah yang menyebalkan.

Secara disadari atau tidak, seperti yang terjadi di segenap lini kehidupan, dalam kasus ini, kaum laki-laki berpura-pura memberikan ruang khusus untuk perempuan, dengan menempelkan simbol “ruang khusus perempuan beribadah” namun sebenarnya menguasai ruang tersebut. Benar-benar mengusai ruang tersebut—dalam artian yang sangat gamblang. Seakan-akan kebutuhan beribadah dengan baik dan tenang, menghadap Tuhan, memberkati untuk kaum perempuan adalah tidak penting. Pura-pura memberi akses, namun memojokkannya dalam perasaan tidak nyaman.

Saya memahami bahwa memang terdapat anjuran bahwa perempuan melaksanakan ibadah di rumah. Saya tahu ini adalah anjuran yang sangat maskulin. Bisa saja saya terima saja melakukan ibadah di rumah daripada bergulat dengan perasaan tidak nyaman tersebut. Namun sebagaimana femomena yang sering terjadi di kawasan slum area yang tidak hanya tinggal di sebuah ruang sempilan, saya tidak memiliki akses air pribadi. Saya bersama hampir semua orang yang tinggal di daerah ini memanfaatkan sumber air yang ada di Mushalla tersebut untuk berbagai kegiatan seperti mandi, mencuci, termasuk juga apa yang dibutuhkan untuk melengkapi kebutuhan ibadah dalam agama saya yaitu berwudhu.

Apakah saya harus menerima objektifikasi ini dengan bersusah payah mengambil air wudhu, berjalan kembali beberapa ratus meter ke rumah saya dan melaksanakan ibadah di rumah, dan menghadapi berbagai tantangan yang mungkin membatalkan wudhu saya setiap melakukan ibadah? Atau saya harus secara rutin mengambil air dalam jumlah masif untuk ditempatkan di depan “rumah” saya sehingga saya bisa melakukan ibadah secara pribadi? Atau saya harus memanfaatkan debu-debu yang ada di “rumah” saya dan melakukan tayamum? Sementara kaum laki-laki dapat dengan praktis melakukan ibadah dan melanjutkan berbagai kegiatannya di ruang yang mereka cap sendiri sebagai ruang ibadah perempuan? Masalah ini mungkin hanya sebagian kecil dari masalah yang terjadi dalam opresi perempuan dalam ruang, termasuk ruang ibadah yang masih terkunci dalam sudut rasa tidak nyaman perempuan yang dipendam dalam diam dan pasrah.

 

Nila Rosyidah

Digiqole ad