Perdagangan Orang Masih Marak Terjadi
Kasus perdagangan orang di Indonesia masih marak terjadi. Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), sejak tahun 2019 hingga 2021, tercatat sebanyak 1.331 orang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), dimana 97 persennya, atau sekitar 1.291 korbannya adalah perempuan dan anak. Sementara itu, sampai dengan Oktober 2022 KPPPA mencatat antara 2017-2022 sebanyak 2.356 korban TPPO yang terlaporkan.
Dari seluruh korban TPPO yang terlaporkan, dilansir dari kemenpppa.go.id (28/12/2022) korban terbanyak berusia anak, meliputi anak laki-laki dan anak perempuan yaitu sebesar 50,97 persen. Adapun korban perempuan sebesar 46,14 persen dan laki-laki sebesar 2,89 persen. Sejak tahun 2019 terjadi peningkatan jumlah korban TPPO yang terlaporkan, yaitu dari 226 pada tahun 2019, menjadi 422 korban pada tahun 2020, dan 683 korban pada tahun 2021.
Sementara itu, selama periode Januari – Oktober 2022 telah terlaporkan 401 korban TPPO, dan sampai dengan Desember 2022 sebanyak 476 kasus.
Selain itu, SIMFONI PPA juga mencatat adanya tindak pidana berupa eksploitasi yaitu sebanyak 290 kasus. Dalam hal ini, perbuatan yang dialami korban tersebut bisa jadi merupakan TPPO yang mungkin tidak ditangani berdasarkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Sementara itu, data SIMFONI PPA juga mencatat adanya 507 korban yang mendapatkan layanan pemulangan. Angka ini mungkin tidak secara langsung mencerminkan korelasi antara layanan yang diperoleh korban dengan tindak pidana yang dialaminya. Namun pada umumnya korban TPPO membutuhkan berbagai jenis layanan, termasuk di antaranya layanan pemulangan.
Kasus Perdagangan Orang
Pada 2022, sejumlah kasus perdagangan orang menjadi perhatian media. Antara lain sebagaimana diberitakan oleh Okezone.com (3/04/2022). Pertama, pedagangan perempuan yang dipekerjakan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) di Lampung. Pelaku dijerat Pasal 2 Ayat 1 Juncto Pasal 17 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ancaman kurungan penjara minimal tiga tahun dan maksimal 15 tahun. Kedua, empat anak perempuan di Sukabumi dijual dengan nilai Rp 80 juta, dan dipaksa melayani tamu yang datang.
Baca Juga: Apa yang Harus Dilakukan Merespons Kasus Perdagangan Orang dengan Modus Pengantin Pesanan?
Ketiga, temuan kerangkeng manusia di rumah milik bupati nonaktif Langkat. Diduga bupati tersebut melakukan praktik perdagangan manusia. Dalam kasus ini, polisi telah menetapkan delapan tersangka, mereka dikenakan Pasal 2 dan 7 UU PTPPO.
Keempat, Polresta Tangerang menemukan tempat penampungan tenaga kerja illegal di desa Wanakerta, Kecamatan Sindangjaya, dan Kabupaten Tangerang. Sebelumnya, para korban diiming-imingi akan dipekerjakan sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Kawasan Timur Tengah, seperti Turki dan Qatar.
Selain itu, dilansir dari Kompas.com (20/07/2022) International Organization of Migration Indonesia di Nunukan melakukan pendampingan terhadap 11 korban perdagangan orang antara 2021-2022. Sebagian besar korban terjebak dalam perdagangan orang melalui media sosial. Dua di antaranya adalah pasangan suami istri yang mengalami kesulitan ekonomi karena terdampak pandemi. Keduanya melamar bekerja di lahan sawit di Samarinda, namun ternyata mereka diberangkatkan ke Malaysia. Di sana mereka bekerja tanpa diberikan gaji dan dinyatakan berhutang untuk biaya perjalanan mereka.
Apa itu TPPO?
Perdagangan orang menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Perdagangan orang adalah tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan menciderai harkat dan martabat manusia. Biasanya, bentuk pelanggaran HAM ini menyasar kelompok rentan seperti perempuan dan anak. Dalam hal ini, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Regulasi Nasional
TPPO adalah tindak pidana kejahatan yang sangat kompleks dan memerlukan perhatian yang serius. Dalam hal ini, negara menunjukkan komitmen dalam pemberantasan TPPO dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO).
Baca Juga: Logika Hukum Prostitusi dan Perdagangan Manusia
Untuk implementasi UU ini, pemerintah juga telah menerbitkan peraturan pelaksana untuk mendukung berjalannya UU tersebut. Di antaranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban TPPO. Demikian pula Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2021 Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO. Selain itu, terdapat Peraturan Menteri PPPA Nomor 8 Tahun 2021 tentang Standar Operasional Prosedur Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban TPPO.
Tentu saja efektivitas berbagai regulasi tersebut membutuhkan dukungan dari berbagai sektor. Antara lain, upaya membangun kesadaran sekaligus upaya pencegahan agar korban perdagangan orang tidak lagi berjatuhan. Dalam hal ini, faktor-faktor penyebab terjadinya TPPO juga perlu diberantas. [Uung Hasanah]