Percobaan TPPO? Tetap Dipidana
Walaupun pelaku percobaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dipidana menurut UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), ternyata peluang pelaku untuk lepas dari jerat hukum masih sangat terbuka.
Mengapa demikian? Di antaranya karena polisi sebagai ujung tombak penegakan hukum atas tindak pidana ini belum sepenuhnya paham. Saya mengalaminya sendiri. Dalam sebuah peristiwa tertangkap tangan terduga pelaku perdagangan orang dengan modus perkawinan pesanan di terminal 1 bandara Soekarno-Hatta, pada 23 Juni 2019. Ia kedapatan membawa 2 orang perempuan korban, yang akan dikawinkan dengan warga Tiongkok, dengan bukti 4 paspor, Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, dan Surat Keterangan Catatan Sipil yang dipalsukan agamanya (Islam jadi Budha).
Karena tertangkap tangan itulah, terduga pelaku itu tidak selesai melakukan perdagangan orang. Jelas saja, dia kan tidak sampai tuntas melakukan unsur-unsur dalam TPPO. Merekrut? Sudah. Mengirim? Baru akan dilakukan. Untuk tujuan eksploitasi? Ini pun belum terjadi. Yang seperti ini lalu disebut apa oleh hukum pidana? Percobaan dong!
Yang membuat saya heran, Polisi Bandara berkata, percobaan atau perencanaan tindak pidana perdagangan orang, belum dapat dijerat menggunakan pasal perdagangan orang. Dengan demikian, pelaku yang membawa 2 orang perempuan korban itu, dapat dilepaskan.
O begitu? Hmmm…sepertinya pak polisi belum selesai membaca UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTPPO.
Pasal 10: Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3, 4, 5, dan 6 (minimal 3 tahun, maksimal 15 tahun dan/atau denda Rp120juta dan paling banyak Rp600juta).
Pasal 11: Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3, 4, 5, dan 6. (minimal 3 tahun, maksimal 15 tahun dan atau denda Rp120 juta dan paling banyak Rp600juta).
Syukurlah, kami sebagai pendamping korban dapat menunjukkan aturan hukum yang penting untuk melindungi korban. Terduga pelaku akhirnya diproses hukum, dan korban dapat diselamatkan.
Apa jadinya kalau terduga pelaku dilepaskan hanya karena penegak hukum luput membaca aturan pasal? Atau kalau pendamping korbannya juga tidak menguasai substansi hukum yang terkait?
Bobi Alwy
Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia
===
Disarikan dari cerita penulis dalam laman Facebooknya dengan suntingan seperlunya oleh Redaksi.