Perbincangan di Dalam Tenda: Bagaimana Bila Suami Mengajak Poligini?
Oleh: Dewi Nova
Pukul 10 malam di sebuah bukit di Bali, Vera* dan aku rebahan di dalam tenda. Kami dipertemukan sebuah perjalanan untuk belajar hidup bersama alam. Tubuh rasanya lelah sekali usai seharian belajar di hutan mangrove, tapi malam terlalu indah untuk tidak berbincang. Bunyi tongeret dan burung-burung malam begitu syahdu, diikut melodi gerimis malam hari. Suara manusia dari tenda-tenda lain sudah tak terdengar. Senter yang digantung di langit-langit tenda sedikit bergoyang diterpa angin. Sebagian pintu tenda, kami biarkan terbuka, agar udara segar kami nikmati.
Barangkali karena suasana atau kebutuhan untuk mengeluarkan yang sama-sama kami kubur, obrolan poligini begitu saja muncul.
“Mbak, apa pendapat mbak tentang poligini?” Pertanyaan Vera begitu pelan, nyaris berbisik, tapi menguliti sesuatu yang kusimpan. Iya, aku sedang dalam situasi menghadapi suami yang menjajagi kemungkinan aku bersedia dipoligini dan seorang perempuan yang berupaya meyakinkanku jalan poligini sebagai jalan ibadah. Dalam hati, aku tersenyum perih “apakah orang yang sedang menolak poligini ada tanda di jidatnya yang merangsang orang-orang untuk mengajaknya berbincang tentang poligini?”.
“Mengapa mbak Vera menanyakan hal itu?”
“Aku pernah ada dalam posisi itu…” Aku segera menarik nafas. Menjernihkan pikiranku. Bahwa apa yang sedang kualami tidak boleh kukaitkan dengan pengalaman Vera. Setiap perempuan melalui perjuangannnya sendiri-sendiri untuk menjadi apa yang dia mampu dan mau.
“Bagaimana sekarang, masih ada dalam situasi poligini?”
“Sudah tidak, tapi aku ingin mendengar pendapat mbak tentang poligini.”
Sekejap aku menghayati pengenalanku selama beberapa hari ini terhadap Vera. Perempuan muda, orang kepercayaan di perusahaan besar di bidang pertanian. Cerdas dan memiliki keahlian managemen yang memadai. Ia juga mencintai olah raga lari, sehat dan cantik. Rasa sayangku bertambah, bagaimana perempuan seperti dia dapat masuk dalam sistem poligini? Aku menahan godaan untuk bertanya isteri keberapakah dia? Dalam pemahamanku tak ada yang lebih mulia atau beruntung atau lebih baik menjadi isteri keberapa dalam sistem yang mengutamakan laki-laki. Aku pun tak hendak menginterogasi Vera. Bukankah kebutuhannya hanya ingin mendengar pendapatku tentang poligini.
“Apa yang akan mbak lakukan kalau suami mbak meminta poligini?” Vera menajamkan pertanyaannya.
Udara malam semakin dingin, kami mulai menarik resleting masing-masing sleeping bag kami. Dan melindungi kepala kami dengan bagian tutup kepala. Kini kami seperti dua bayi yang dibedung di bawah penerangan senter yang diayun-ayun angin.
“Setiap perempuan punya pijakan dan keyakinannya sendiri-sendiri.” Aku menahan diri untuk menjelaskan bahwa ada perempuan yang meyakini poligini sebagai jalan jihad, seperti pacar suamiku, dan ada yang menghayati poligini sebagai reduksi dari hidup beragama, seperti aku. Aku perlu berhati-hati dengan cara apa dan pada gradasi mana sebaiknya aku berbincang dengan Vera. Akhirnya aku memilih bercerita.
“Aku sejak kecil tidak melihat poligini sebagai jalan yang patut untuk dipilih. Walaupun adik ibuku menjalaninya. Sejujurnya, aku tidak terlalu tertarik dengan lembaga pernikahan. Aku amati banyak jebakan di sana. Jebakan harus patuh pada nilai-nilai yang mengutamakan laki-laki. Seringkali dibungkus atas nama cara berkeluarga, tradisi dan interpretasi beragama. Tapi sulit bagiku untuk hidup bersama dengan pasanganku tanpa menikah. Itu akan dapat melukai rasa keagamaan orang tuaku dan mertuaku. Sesungguhnya aku punya keyakinan, manusia dapat membangun relasi teman hidup tanpa ikatan pernikahan –yang setengah mati sulit untuk tidak patuh pada nilai-nilai patriarki itu. Dan yang terburuk dari itu, bila permintaan poligini datang dari pasangan kita.”
“Wah, menarik pandangan mbak tentang pernikahan itu. Terus apa jawaban mbak bila suami meminta poligini?”
“Aku akan mengajak suamiku untuk melihat kembali awal perjumpaan kami hingga melalui tahun-tahun pernikahan. Penting untuk menengok sedikit sejarah relasi. Walaupun aku juga merasakan bahwa manusia dan relasi yang dibangunnnya dinamis, tidak linear seperti di cerita-cerita percintaan yang disukai banyak orang. Aku memilih untuk terus belajar menjadi feminis bahkan sebelum berjumpa suamiku. Maksudku, suamiku sudah tahu dari awal pikiran-pikiranku dan pilihan-pilihan hidupku. Itu sesuatu yang tidak berubah, melainkan bertumbuh ketika aku semakin tua. Jadi ajakan poligini bagiku itu sesuatu yang ahistoris.”
“Tapi perempuan manapun, termasuk yang feminis tidak luput dari ajakan itu kan Mbak?”
“Tentu saja. Aku jadi ingat pesan alm mama ketika aku minta restu untuk menikah. Kata mamaku, ingat relasi kamu dan suami berbeda dengan relasi kamu dan kedua adik lelakimu. Meskipun sama-sama terikat kasih sayang, bersama kedua adikkmu kamu diasuh dalam nilai yang sama. Berbeda ikatan kasih kamu dengan suami. Itu hanya ikatan cinta. Bila cinta memudar apa saja bisa terjadi. Maka bila kamu berani menikah, artinya kamu harus berani bercerai bila pernikahan sudah tak membahagiakanmu. Aku sejalan dengan pemikiran mamaku, ada yang lebih kuutamakan dari relasi persuamiisterian yaitu kebahagiaan. Kebahagiaan bagiku ketika aku bisa menjalani hidup sesuai dengan yang aku yakini. Bila suamiku meminta poligini aku akan menjawab engkau sudah tahu apa yang aku yakini. Engkau semestinya tahu aku akan menjawab apa.”
“Jadi mbak akan memilih perceraian?”
“Tentu saja. Bagaimana mungkin aku menjalani hidup bersebrangan dengan apa yang kuyakini. Pilihan ini tentu tidak mudah. Apalagi bila kita sudah menikah puluhan tahun. Itu sesuatu yang terlalu mengerikan untuk diperhitungkan akan terjadi. Apalagi bila sebagian hidup kita sudah sedemikian saling bergantung.”
“Apa yang membuat mbak mau melepaskan suami mbak?”
“Hati, pikiran dan cara beragama suamiku di luar jangkauan dan kendaliku. Bila sudah urusan hati, kebebasan berpikir dan cara mengintrepretasi agama, tiada jalan lain selain menghormatinya bukan memaksanya. Maksudku, bila memang cara beragama suamiku sudah bergeser dari progresif menjadi yang mengglorifikasi poligini, artinya kami bahkan sudah tidak bertemu dalam titik yang paling esensi yaitu cara kami menginterpretasi Sang Maha Cinta. Cinta sesama manusia bagiku tak terpisah dengan cinta yang transenden. Aku percaya yang Maha Cinta tak menghendaki pengutamaan manusia satu di atas manusia lain –termasuk dalam sistem poligini.
Bunyi gerimis sudah berhenti, bunyi binatang malam semakin nyaring. Nafas-nafas panjang sayup-sayup terdengar dari tenda tetangga ditimpali dengkuran-dengkuran nikmat. Perbincangan kami yang dalam sekaligus lepas, membuat kami menyambut kantuk sepenuh hati.[]
*Vera bukan nama sebenarnya.
Dewi Nova senang belajar hidup bersama semesta, menulis puisi, cerpen, esai sosial dan naskah akademis. Bukunya antara lain Perempuan Kopi, Burung Burung Bersayap Air, Mata Perempuan ODHA, Di Bawah Kaki Sendiri: Pengabaian Negara Atas Suara Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama /Berkeyakinan, Akses Perempuan Pada Keadilan dan Mengkreasi Bisnis yang Produktif dan Inklusif Keragaman Seksual. Dewi dapat dihubungi melalui dewinova.wahyuni@gmail.com.