Peran Puasa dalam Membangun Kesetaraan, Mencegah Diskriminasi dan Kekerasan

 Peran Puasa dalam Membangun Kesetaraan, Mencegah Diskriminasi dan Kekerasan

(Jalastoria.id)

Oleh: Ninik Rahayu

 

Salah satu poin utama dari hakekat puasa adalah adanya konsep pengendalian diri dari segala sesuatu yang buruk dan tidak diridhoi oleh Allah SWT. Itu sebabnya puasa sejatinya tidak hanya beraspek jasmani dengan menahan haus dan lapar tetapi juga rohani. Aspek spiritualitas dalam berpuasa menjadikan manusia sebagai makhluk yang memiliki kepekaan diri atas segala realitas yang ada. Ini mengapa puasa merupakan metode yang diwajibkan oleh Allah SAW dan diajarkan oleh Baginda Rasulullah Muhammad SAW agar di ujungnya kita menjadi sosok manusia yang bertaqwa. Firman Allah dalam Q.S. Al- Baqarah ayat 183 menjelaskan mengapa umat Islam diwajibkan oleh Allah SWT untuk berpuasa:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Dari firman di atas menjelaskan bahwa melaksanakan puasa Ramadan adalah wajib hukumnya, di mana hal tersebut adalah bentuk pertanggungjawaban manusia kepada Allah SWT secara langsung serta kegiatan yang menyangkut hablum minallah (hubungan dengan Allah).

Salah satu realitas sosial yang mengemuka adalah terkait dengan kekerasan seksual. Kekerasan seksual menjadi bagian dari jenis kekerasan berbasis gender yang menjadikan manusia sebagai objek seksual dan seksualitas. Kekerasan seksual ini pada gilirannya menimbulkan penderitaan atau kesengsaraan terhadap orang lain.

Secara keseluruhan berdasarkan Catahu Komnas Perempuan 2021, kekerasan terhadap Perempuan (KtP) di Indonesia sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus, dengan rincian 291.677 kasus ditangani oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama, 8.234 kasus ditangani oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan, 2.389 kasus ditangani oleh Unit Pelayanan dan Rujukan Komnas Perempuan. 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2020 tersebut terjadi dalam rumah tangga, ranah publik, hingga ranah negara, di mana menempatkan fakta kekerasan seksual yang paling tinggi dengan 11.637 kasus. Berdasarkan data di atas, perempuan Indonesia dapat dikatakan belum mendapatkan pemenuhan haknya untuk mendapatkan perlindungan dari negara sebagaimana amanat konstitusi.

Baca Juga: Data 3 Lembaga Bicara Kekerasan terhadap Perempuan

Kekerasan dalam segala jenis dan bentuknya tentu sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Islam selalu mengajarkan umat manusia nilai-nilai tentang kepedulian, lemah lembut, toleransi, dan kerjasama. Nilai dan jalan Islam yang menjauhi kekerasan didasarkan pada Alquran surat Al Baqarah ayat 256 yang pada intinya untuk tujuan apapun dan atas nama siapapun serta kepada siapapun bahkan untuk kepentingan agama Allah pun cara-cara kekerasan tetaplah harus dihindari.

Konsep pengendalian diri yang dilatih dalam bulan suci Ramadan akan mengantarkan manusia pada sikap tawadu’ (rendah hati) dan tidak melihat orang lain dalam kacamata subordinasi. Hal itu menegaskan bahwa konsep pengendalian diri juga mencakup hubungan kesetaraan.

Konsep ini menjadi begitu penting mengingat kekerasan berbasis gender muncul sebagai titik kulminasi dari ketidaksetaraan di mana laki-laki lebih banyak mendapatkan porsi-porsi keistimewaan dan perempuan lebih banyak mendapatkan porsi-porsi pembatasan. Relasi ini menimbulkan suatu konstruksi yang bias gender yang rentan terhadap diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan.

Berkaitan dengan hal tersebut Kiai Faqihuddin Abdul Qodir memperkenalkan sebuah konsep yang menurut penulis dapat menjadi solusi alternatif bagi masalah kekerasan seksual yang disebut sebagai konsep mubadalah (kesalingan). Konsep mubadalah didasarkan pada beberapa ayat dalam Alquran, antara lain Q.S. Al-Hujuraat 49:13, Al-Maidah 5:12, dan Al- Anfal 8:72.

Baca Juga: “RAMADHAN SALAM”: NGAJI KEBANGSAAN PERSPEKTIF ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIN

Ketiga ayat di atas memberikan contoh bagaimana hubungan kebencian, kemitraan, dan kerjasama yang dianut oleh Alquran. Selain itu, terdapat pula landasan lain dalam Q.S. Al Baqarah 2:187, 197, 232, 233; Ali Imran 3:195; An-Nisaa 4: 19 dan 21; dan At-Taubah 9:71 yang memberikan penjelasan bahwa perspektif gangguan dan kerjasama secara eksplisit antara laki-laki dan perempuan, baik di lingkungan sosial maupun dalam rumah tangga.

Alquran telah memberikan penegasan tentang anjuran untuk hidup yang mencerminkan kesetaraan. Konsep mubadalah akan membantu dan membawa manfaat dalam kehidupan keluarga dan membantu menundukkan kekerasan seksual. Hal ini dikarenakan konsep ini menekankan kerjasama antara suami dan istri dalam keluarga dalam relasi personal, baik di ranah publik maupun domestik; tidak ada yang terkuat; tidak ada yang terlemah; tidak ada yang lebih tinggi; tidak ada yang lebih rendah. Keduanya sama dan egaliter dan mempromosikan keterasingan, saling melengkapi, dan peduli satu sama lain.

Jika penulis memaparkan beberapa hal mendasar di atas, lalu bagaimana dengan ayat Alquran yang selama ini dipahami laki-laki lebih tinggi daripada perempuan? Seperti di Q.S. An-Nisa 4:34 yang secara harfiah menyatakan bahwa: “Laki-laki adalah pemimpin perempuan, karena Allah lebih dari sebagian dari mereka (laki-laki) menghabiskan sebagian dari hartanya”

Puasa sebagai metode pengendalian diri selaras dengan konsep mubadalah di mana pengendalian diri akan berdampak pada sikap untuk saling menghargai. Konsep mubadalah menjadi trigger (pemicu) dalam membangun kesetaraan yang saling menghargai baik dalam relasi personal maupun dalam relasi sosial. Pada saat pengendalian diri dan kesetaraan itu muncul maka konstruksi diskriminatif dan kekerasan khususnya kekerasan seksual akan menemukan akhirnya. []

 

Direktur JalaStoria

 

Edisi Opini Ramadan

 

 

 

Digiqole ad