Penyelesaian Kekerasan Seksual Jalur Damai Sama Saja Pembungkaman Korban

 Penyelesaian Kekerasan Seksual Jalur Damai Sama Saja Pembungkaman Korban

Oleh :  Uswatun Hasanah

 

Alih-alih pemulihan hak-hak korban dan sanksi hukum diberlakukan demi keadilan korban, penyelesaian kasus secara damai masih menjadi kenyataan yang dihadapi banyak korban kekerasan seksual. Hal ini tergambar dari beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi beberapa tahun belakangan ini.

Misalnya dalam kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan yang bekerja sebagai pelayan toko kue, korban yang berusia 20 tahun ini dilecehkan saat melayani pelanggan di Cimanggis, Depok. Meski korban sempat melaporkan kejadian itu ke Polsek Cimanggis, pada akhirnya kasus ini berakhir damai.

Kasus lain dengan korban anak perempuan di Lampung juga berujung damai. Korban yang masih berstatus pelajar kelas 2 Madrasah Tsanawiyah (MTs) mengalami pelecehan seksual dengan terduga pelaku berinisial WB, 39 tahun. Kasus ini baru diketahui setelah surat damai antara korban dan pelaku beredar di masyarakat.

Menekankan korban dan keluarga korban supaya memilih jalur damai atau kekeluargaan ketika menyelesaikan kasus kekerasan seksual justru mematikan akses korban anak perempuan untuk mendapat perlindungan dan penanganan yang tepat, sesuai yang diamanatkan dalam Undang-undang Perlindungan Anak. Selain itu, penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan kekeluargaan pun tidak akan memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual. Dua dari sekian banyak kasus tersebut memperlihatkan realita penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia masih memprihatinkan.

Berdasarkan Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender oleh IJRS (Indonesia Judicial Research Society) tahun 2020, penanganan kasus kekerasan seksual banyak yang tidak mendapatkan keadilan bahkan berakhir tanpa kepastian. Sebanyak 57% korban tidak mendapatkan penyelesaian kasus, 39,9% korban hanya mendapatkan uang damai dari pelaku. Adapun penyelesaian kasus kekerasan seksual secara kekeluargaan atau damai dialami sebanyak 23,8%. Mirisnya, ada 26,2% korban kasusnya diselesaikan dengan cara dinikahkan dengan pelaku.

 

Menyuruh Korban Berdamai dengan Pelaku Adalah Pembungkaman

Sebagian besar korban kekerasan seksual beserta keluarga korban ditemukan sering diintimidasi, diancam, dan dipaksa oleh pihak pelaku atau kepolisian, supaya bersedia menempuh jalur damai atau diselesaikan kasusnya secara kekeluargaan. Sikap seperti ini adalah pelanggengan kekerasan seksual dengan mengabaikan hak-hak korban mendapatkan keadilan. Hal tersebut juga bentuk reviktimisasi.

Reviktimisasi atau situasi yang menempatkan korban mengalami trauma berulang rentan dialami korban, akibat tekanan menghadapi penyelesaian kasus yang tidak berpihak pada kepentingan korban. Ini adalah situasi yang tidak wajar dan tidak semestinya dialami korban kekerasan seksual. Reviktimasi juga diartikan sebagai korban rentan menjadi korban kembali untuk kedua kalinya. Kekerasan yang berlapis akan dialami korban kekerasan seksual beriringan dengan upaya penyelesaian kasus secara damai. Kenyataan pahit ini adalah gambaran jika penerapan hukum di Indonesia dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual belum sepenuhnya berperspektif korban.

 

Jangan Samakan Penyelesaian Kasus Secara Damai dengan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)

Keadilan restoratif adalah pendekatan hukum yang fokus pada pemulihan korban agar korban mendapatkan solusi hukum yang adil, bukan penyelesaian kasus secara damai. Menyamakan upaya damai dengan keadilan restoratif adalah kekeliruan tekstual yang merugikan korban. Akibatnya, banyak korban yang tidak berhasil mendapatkan hak-haknya.

Keadilan restoratif (restorative justice) semestinya dilihat sebagai pendekatan hukum yang memprioritaskan pemenuhan hak-hak korban, sampai target pemulihannya tercapai. Serta menindaklanjuti pelaku supaya bertanggungjawab atas perilakunya. Bukan malah dijadikan solusi supaya penyelesaian kasus berakhir dengan damai, tetapi agar kepentingan korban dikedepankan dalam proses hukum.

Bahkan, aparat penegak hukum semestinya tetap mengikuti kerangka hukum dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), sebagai acuan penyelesaian kasus kekerasan yang berpihak pada korban. Dalam UU TPKS Pasal 23 dijelaskan jika keadilan restoratif dilarang karena tidak memberikan perlindungan yang memadai kepada korban, kecuali jika pelakunya adalah anak.

 

Apa yang Bisa Dilakukan untuk Menghentikan Upaya Pembungkaman Ini?

Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi penyelesaian kasus kekerasan seksual supaya tidak dengan jalur damai atau kekeluargaan yang merugikan korban, seperti:

  1. Membentuk program multistakeholderyang mendorong perbaikan pendekatan restorative justice di Indonesia. Supaya aparat penegak hukum patuh terhadap kerangka hukum UU TPKS selama proses kasus kekerasan seksual
  2. Meningkatkan kualitas pendampiangan korban dengan mengasah perspektif korban, mendengarkan tanpa menghamiki, dan memprioritaskan kebutuhan korban selama proses pemulihan
  3. Sebagai aparat penegak hukum (APH), dapat meningkatkan kapasitasnya dengan belajar perspektif gender, penanganan kekerasan seksual yang berpihak pada korban, dan mampu mengedepankan kepentingan korban selama proses peradilan berlangsung

Memilih jalan damai untuk penyelesaian kasus kekerasan seksual sama halnya mendorong korban pada jurang penderitaan yang lebih dalam. Ini merupakan pembungkaman terhadap korban yang berjuang mendapatkan hak-haknya.

 

Uswatun Hasanah, akrab disapa Uung

Tulisan ini adalah adaptasi dari konten Instagram kolaborasi JalaStoria dengan Savy Amira

Digiqole ad