Pengaturan Norma dalam RUU TPKS Mengenai Restitusi Berpotensi Tidak Implementatif
Pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) saat ini tengah membahas daftar inventarisasi masalah (DIM) Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Pembahasan RUU TPKS dimulai sejak Senin (28/3/2022) dan rencananya akan dikebut untuk diselesaikan pekan ini. Kerja keras pemerintah dan DPR perlu kita apresiasi bersama meskipun pembahasannya terkesan dikebut secara marathon dan riskan menghasilkan keputusan yang berpotensi tidak dapat diterapkan alias unaplicativable. Salah satu keputusan adalah kompensasi yang diberikan dalam konteks victim trust fund (dana penggantian korban) dengan penggantian hukuman pelaku menjadi kurungan. Menyamakan kompensasi dengan restitusi untuk kepentingan pemenuhan hak korban menurut pendapat saya terlalu “menyederhanakan” permasalahan.
Baca Juga: Pentingnya Partisipasi Publik untuk RUU TPKS
Bahkan, ini menjadi titik balik tidak produktifnya konsep rehabilitasi pada pelaku. Benar bahwa “negara harus hadir” ketika pelaku tidak mampu secara ekonomi membayar restitusi, tetapi tidak tepat juga jika pelaku yang tidak mampu melakukan kewajibannya maka ketidakmampuan dapat serta merta diganti dengan hukuman kurungan. Keputusan penggantian kurungan adalah cara-cara konvensional, yang hanya akan membebani negara, karena membuat lapas semakin overload. Kecuali pada pelaku yang tua renta dan ada hambatan medis, pelaku kekerasan seksual yang masih bugar sudah seharusnya diminta tetap membayar. Bagaimana caranya? Pemerintah dapat merumuskan dan mengidentifikasi jenis pekerjaan yang produktif yang dapat dilakukan oleh terpidana. Pemerintah dalam hal ini Dirjen Lapas bisa bekerjasama dengan lembaga UMKM/Koperasi atau memikirkan skema kerja sama dengan pihak-pihak yang potensial bisa mempekerjakan terpidana pelaku KS yang bisa menghasilkan pendapatan untuk membayar restitusi.
Baca Juga: Memahami Kembali Korban Kekerasan Seksual, Meneguhkan Etika Kemanusiaan
Pernyataan Wakil Menteri Prof Edy dalam pembahasan bersama DPR belum lama ini, bahwa keterbatasan jumlah pengawas Lapas menjadi alasan penggantian pembayaran restitusi menjadi kurungan perlu kita pertanyakan. Menolak skema pembayaran restitusi oleh pelaku dengan kerja pemberdayaan ekonomi selama di Lapas dengan alasan repot karena minimnya pengawas di Lapas dan memilih mengganti dengan kurungan semakin menunjukkan ke publik bahwa pemerintah sebenarnya hanya mencari ‘jalan mudah’. Atau jangan-jangan sistem di Lapas ‘tidak mau diubah”.
Jika pemerintah tetap mempertahankan keputusan ini, sungguh ini menjadi titik balik sistem rehabilitasi terhadap pelaku di Lapas yang sedang dinormakan juga di RUU TPKS. Dan bisa dipastikan sistem ini akan menjadi norma yang sia-sia yang kelak tidak dapat diimplementasikan. Masih ada waktu untuk membahas dan mengubah keputusan mengenai restitusi penggantian pembayaran dengan kurungan, Pemerintah harus tahu bahwa restitusi berbeda dengan kompensasi.[]
Ninik Rahayu, Direktur JalaStoria