Pengalaman Perempuan Berhadapan dengan Hukum (Bagian 1 dari 2 Tulisan)

 Pengalaman Perempuan Berhadapan dengan Hukum (Bagian 1 dari 2 Tulisan)

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Oleh: Dian Puspitasari, SH

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum merupakan kebijakan progresif dalam merespons berbagai hambatan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di semua peradilan. Baik peradilan pidana, agama, dan militer maupun tata usaha negara (TUN). Baik perempuan korban kekerasan, perempuan saksi, dan perempuan sebagai terdakwa maupun perempuan sebagai pihak.

Perma menjadi tonggak lahirnya beberapa kebijakan internal di Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam memperkuat perlindungan hak perempuan terutama perempuan dalam hukum keluarga. Tahun 2018 Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor  3. Tahun berikutnya, Mahkamah Agung menerbitkan SEMA Nomor 2  tahun 2019 mengenai hukum keluarga.

Bagaimana penerapan kebijakan tersebut di pengadilan? Adakah hambatan yang dialami oleh perempuan dalam menggunakan kebijakan tersebut? Bagaimana pula tantangan di lapangan?

Untuk itu dalam tulisan ini saya bermaksud membagi pengalaman selama mendampingi tiga kasus perempuan berhadapan dengan hukum. Pertama kasus N menjadi terdakwa pada 2018. Kedua dan ketiga adalah kasus AA dan K  pada 2021 di pengadilan agama.

Tiga kasus ini diangkat untuk melihat perbandingan implementasi Perma di pengadilan negeri terutama pada saat mengadili perempuan sebagai terdakwa. Demikian pula untuk melihat implementasi Perma di pengadilan agama saat mengadili perempuan sebagai pihak. Tulisan ini juga akan melihat implementasi Perma merunut pada waktu kasus yang berbeda.

Implementasi Perma di Pengadilan Negeri

N merupakan perempuan dengan orientasi seksual minoritas yang didakwa telah melakukan tindak pidana pemalsuan dokumen dan/atau penggunaan dokumen palsu sebagaimana Pasal 263 dan 266 Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman pidana 6 hingga 7 tahun. Sepanjang proses pemeriksaan persidangan, tidak ada yang berbeda dalam penanganan kasus tindak pidana lainnya. Namun pada saat pemeriksaan ibu kandung N sebagai saksi dan N sebagai terdakwa, terdapat pernyataan dan perkataan majelis hakim yang menyudutkan N sebagai terdakwa.

Baca Juga: Perma 5 Tahun 2019: Benteng Terakhir Cegah Perkawinan Usia Anak Melalui Pengadilan

Tanggal 14 Februari 2018 dua majelis hakim menanyakan, “Apakah terdakwa mengetahui kisah Nabi Luth dan umatnya? Semua umat Nabi Luth mendapatkan laknat dari Yang Maha Kuasa. Jadi jangan sampai persidangan ini juga dilaknat. Makanya mulai sekarang harus diperbaiki dan kembali ke jalan yang benar. Majelis hakim lain menimpali, “Apakah terdakwa tidak kasihan melihat orang tuanya diseret-seret dalam permasalahan terdakwa. Saat itu terdakwa hanya bisa menangis tersedu di sepanjang persidangan.

Implementasi Perma di Pengadilan Agama

AA adalah perempuan berusia 48 tahun.  Dia mengalami kekerasan psikis tidak hanya dari suami namun juga dari keluarganya. Dampaknya AA dinyatakan mengalami psikopatologi yang dapat mengganggu fungsi intelektual dan aktifitas sehari-hari. AA mengambil keputusan untuk mengajukan gugatan cerai.

Sebagaimana ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2016 tentang prosedur mediasi di pengadilan, Pasal 4 ayat (1), “…..wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui Mediasi….” Lebih lanjut dalam Pasal 6  ayat(1) mewajibkan para pihak wajib menghadiri secara langsung pertemuan mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum. Maka majelis hakim pun meminta saya untuk menghadirkan AA sebagai principal untuk dilakukan proses mediasi dengan suaminya.

Kondisi psikologis ini tidak memungkinkan AA bertemu dengan suaminya. AA sangat takut untuk bertemu dengan suaminya. Dalam sidang kedua saya menyampaikan permohonan secara lisan agar majelis hakim mengizinkan pemeriksaan principal dalam mediasi dilakukan secara terpisah antara AA dengan suaminya. Hakim anggota sempat menyatakan tidak memiliki ruangan yang memungkinkan pemeriksaan terpisah. Sekali lagi hakim anggota sempat memastikan apakah betul AA tidak bisa dihadirkan. Permasalahannya bukan pada principal hadir, namun pada proses mediasi yang tidak memungkinkan untuk dipertemukan.

Saya sampaikan bahwa pemeriksaan tetap dapat dilakukan dengan jalan memeriksa para pihak satu per satu. Namun majelis hakim tidak memberikan kepastian. Padahal, hakim sempat menanyakan dampak jika para pihak dipertemukan. Di lain sisi, AA mendengar kabar jika keluarga besarnya akan mendatangi pengadilan dan memaksanya untuk pulang ke rumah.

Untuk memastikan hak AA sebagai perempuan pihak sebagaimana diatur dalam Perma, pada hari Jumat saya menemui wakil ketua pengadilan agama. Ini saya lakukan untuk memastikan persidangan hari Senin. Yang perlu diketahui, menemui wakil ketua agama di daerah tidak semudah di perkotaan.

Baca Juga: Perlindungan Perempuan dan Anak Korban KDRT

Dari dialog tersebut ibu wakil ketua pengadilan agama menyampaikan pernyataannya yang menurut saya belum sepenuhnya memahami isi Perma 3 tahun 2017.

Tidak mungkin mbak ibuknya mengalami kekerasan terlebih umurnya 50 tahun, tidak mungkin mengalami kekerasan dari keluarganya, sudah tua mbak. Saya jamin keamanannya, nanti kalau terjadi apa-apa lapor satpam. Siapapun tidak boleh mengintervensi sekalipun yang berperkara anaknya ketua pengadilan sekalipun.” Begitu tutur ibu wakil ketua pengadilan agama.

Meski begitu saya tetap menyampaikan kemungkinan terburuk jika ada konfrontasi fisik serta kemungkinan meminjam ruangan tertentu untuk ibu AA.

Ibu wakil ketua pengadilan agama berjanji akan menyampaikan situasi tersebut kepada majelis hakim dan hakim mediator. Namun tetap menyerahkan keputusan kepada majelis hakim. Akhirnya hakim mediator mengabulkan pemeriksaan mediasi antara AA dengan suaminya dilakukan secara terpisah.

Pengalaman K dalam Kasus Cerai Gugat di Pengadilan Agama

K menikah dengan suami selama 18 tahun. Selama perkawinan K memiliki tiga orang anak.  Anak kedua meninggal saat berusia tiga tahun. Suami K mulai berselingkuh dengan beberapa perempuan lain sejak K melahirkan anak pertama. Saat anak pertama berusia 5 tahun, suaminya menyampaikan ingin bercerai dan menikahi mantan pacarnya. Mantan pacarnya tidak bersedia karena tidak ingin merusak rumah tangga orang lain.

Suami K kembali memiliki selingkuhan. Kepada K, suaminya menyatakan sudah menikah siri dan meminta K untuk menerima istri sirinya. K baru mengetahui pernikahan siri tersebut setelah 6 tahun suami dan perempuan itu menikah. Dengan perasaan sedih, kecewa, dan tidak berdaya K mengikuti kemauan suaminya dan mencoba bertahan. Hubungan K dengan tergugat kembali harmonis. Namun kejadian tersebut terulang kembali.

Baca Juga: Dukungan untuk Perempuan Korban KDRT

Selama menikah K membangun usaha transportasi jasa angkut bersama suaminya hingga memiliki delapan truk. Namun sejak setahun terakhir setelah ketahuan kembali selingkuh K mulai mantap untuk berpisah. Sejak saat itu suaminya sudah tidak memberikan uang belanja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. K diusir dari rumah. Semua pakaian K dibuang dan dibakar oleh suaminya.  K bahkan mengalami kekerasan fisik hingga mengalami luka-luka di wajah, tangan, dan kaki.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor  3 Tahun 2018 Nomor 1 C tentang Kewajiban Suami Akibat Perceraian terhadap Istri yang Tidak Nusyuz mengakomodasi Perma Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Di sini dijelaskan isteri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan mut`ah dan nafkah iddah sepanjang tidak terbukti nusyuz.

Berdasarkan peraturan tersebut, K, melalui kuasa hukumnya, menuntut nafkah mut’ah dan iddah. Waktu itu K meminta nafkah mut’ah sebesar Rp.15.000.000,- dan nafkah iddah selama 3 (tiga) bulan sebesar Rp. 6.000.000,-

Untuk mengantisipasi pihak suami absen di persidangan maka K mengajukan permintaan kepada majelis hakim. Meminta agar majelis hakim menetapkan dan menghukum tergugat membayarkan kewajiban suami terhadap isteri pascaperceraian sebelum tergugat mengambil akta cerai. []

 

Direktur LRC-KJHAM Periode 2016-2018, Sekretaris Seknas FPL (Forum Penyedia Layanan), Advokat, Sekretaris LBH Advokasi Maritim Nusantara “AMAN” Pati-Jawa Tengah

 

Digiqole ad