Penelantaran Rumah Tangga

 Penelantaran Rumah Tangga

Kasus penelantaran rumah tangga di Indonesia cukup tinggi. Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2017 mencatat jumlah kekerasan penelantaran rumah tangga pada perempuan adalah 13% (1.244 kasus). Sementara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2019 mencatat kasus penelantaran sebanyak 920 kasus.

Penelantaran dalam UU Perlindungan Anak

Perbuatan penelantaran sendiri mulai diakui sebagai delik pidana pada tahun 2002 melalui UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 77 huruf b dan c UU Perlindungan Anak menyatakan: “setip orang yang melakukan tindakan penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial; dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Ketentuan itu selanjutnya dilengkapi melalui UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal Pasal 76B menyatakan: “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, elibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran.”

Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, perbuatan penelantaran terhadap anak diancam dengan ancaman pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77B sebagai berikut:
“Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76B, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).”

Penelantaran dalam UU Perlindungan Anak hanya ditujukan untuk melindungi orang berusia anak, yaitu yang belum berumur 18 tahun. Sementara penelantaran dalam UU PKDRT memperluas jangkauannya tidak hanya untuk anak tetapi juga istri dan untuk siapapun orang yang berada dalam lingkup rumah tangga.

Penelantaran dalam UU Perkawinan

Jika merunut ke belakang, konsep penelantaran anak maupun penelantaran rumah tangga sudah dikenal sejak tahun 1974 melalui UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Keduanya memberikan kewajiban kepada suami untuk memberikan segala kebutuhan berumah tangga.

Dalam KHI Pasal 80 ayat (2) dan ayat (4) huruf a, b, c menyatakan:
“Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Suami juga dibebani untuk menanggung;
a. nafkah, kiswah, tempat kediaman bagi isteri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c. biaya pendidikan bagi anak.

Dengan demikian, peraturan perundang-undangan hanya membebankan nafkah dan penghidupan kepada suami. Namun, UU Perkawinan tidak memberikan sanksi pada suami apabila suami tidak menjalankan kewajiban sebagaimana disebutkan di atas. Walaupun demikian, UU Perkawinan memberikan ruang bagi istri untuk mengajukan gugatan perceraian dengan alasan suami tidak memberi nafkah dan menjalankan kewajibannya.

Penelantaran dalam KUHP

Adapun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya mengatur perbuatan pidana penelantaran meskipun tidak menggunakan istilah penelantaran. Dalam Bab XV, terdapat ancaman pemidanaan terhadap orang yang meninggalkan orang yang perlu ditolong. Pasal 304 menyatakan “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Berdasarkan pasal tersebut, terdapat dua ruang lingkup yang dapat menimbulkan tindak pidana penelantaran yaitu berdasarkan hukum yang berlaku dan berdasarkan persetujuan. Berdasarkan hukum yang berlaku artinya dapat merujuk ke UU perkawinan atau UU lain yang mewajibkan seseorang memberi kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang lain. Tindak pidana penelantaran dalam KUHP ini mensyaratkan adanya tindakan berupa menempatkan atau membiarkan korban dalam keadaan sengsara.

Meskipun pasal tersebut tidak secara spesifik menyebutkan penelantaran anak atau rumah tangga, tetapi pasal ini dapat digunakan untuk melindungi perempuan baik yang berada dalam lingkup rumah tangga maupun nonlingkup rumah tangga. Meskipun demikian, setelah ditetapkannya undang-undang khusus yang mengatur penelantaran rumah tangga dan penelantaran anak, maka berlaku asas lex specialis derogat legi generali.

Penelantaran dalam UU PKDRT

Adapun UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tanggga (UU PKDRT) Pasal 9 mengatur ruang lingkup penelantaran rumah tangga adalah sebagai berikut:
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2) Setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Sementara itu, Pasal 49 UU PKDRT mengatur ketentuan pidana atas perbuatan penelantaran rumah tangga sebagai berikut:
“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:
a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).”

Mencermati Pasal 9 ayat (1) itu, seseorang akan dianggap menelantarkan rumah tangga jika menurut hukum yang berlaku baginya diwajibkan untuk memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan. Jika merujuk pada Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan, maka kewajiban pemenuhan itu ada pada suami/ayah, karena yang memiliki kewajiban memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan dalam sebuah keluarga adalah suami/ayah. Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan mengatur sebagai berikut: Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

Kekerasan Ekonomi

Komnas Perempuan dalam catatan tahunannya tidak menggunakan istilah penelantaran rumah tangga sebagai satu bentuk kekerasan, tetapi menggunakan istilah kekerasan ekonomi. Jika ditelusuri ke belakang, Komnas Perempuanlah yang mengusulkan kekerasan ekonomi dalam draf awal rancangan UU PKDRT. Tetapi dalam pembahasan hingga disahkan disepakati penelantaran rumah tangga.

Dalam DIM yang diusulkan oleh Komnas Perempuan, kekerasan ekonomi didefinisikan sebagai “setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian secara ekonomi dan terlantarnya anggota keluarga dan atau menciptakan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja di dalam atau di luar rumah, tidak memberi nafkah, meniadakan akses dan kontrol terhadap sumber-sumber ekonomi, dan menelantarkan anggota keluarga.” (Usulan perbaikan atas RUU Anti KDRT yang disampaikan oleh Komnas Perempuan tahun 2003, www.parlemen.net).

Kekerasan ekonomi dan penelantaran rumah tangga memiliki persamaan yaitu menelantarkan anggota keluarga. Namun, kekerasan ekonomi nampaknya secara khusus dimaksud oleh Pasal 9 ayat (2) UU PKDRT. Unsur tindak pidana dalam Pasal 9 ayat (2) adalah:

  • setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi
  • dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah
  • sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Menurut penulis dilihat dari beban pembuktian, lebih mudah membuktikan tindak pidana penelantaran rumah tangga dalam Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT karena hanya perlu membuktikan suami tidak menjalankan kewajibannya daripada membuktikan kekerasan ekonomi yang dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) UU PKDRT yang harus membuktikan adanya dampak berupa ketergantungan ekonomi dan keadaan korban menjadi di bawah kendali orang tersebut.

Perbedaan Tindak Pidana Penelantaran dengan Bentuk Kekerasan Lainnya dalam UU PKDRT

Penelantaran rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 UU PKDRT hanya bisa dikenakan kepada seorang suami, bukan kepada istri. Kecuali jika antara suami dan istri dan istri terdapat suatu perjanjian yang menyatakan istri menanggung pembiayaan pemeliharaan terhadap suami dan anak-anaknya dan ketika dia melalaikan kewajibannya maka dia dapat dikenakan pasal penelantaran keluarga.

Hal inilah yang membedakan penelantaran keluarga sebagai salah satu bentuk kekerasan dengan 3 bentuk kekerasan seperti fisik, psikis dan seksual. Jika ketiga bentuk kekerasan bisa dialami oleh siapa saja dalam rumah tanggga, tetapi Pasal 9 ayat (1) menekankan bahwa korban adalah perempuan.

Bahkan ketika terjadi perceraianpun dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 huruf c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Berdasarkan ulasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketentuan pemidanaan atas perbuatan penelantaran rumah tangga dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi perempuan korban. Pemahaman ini penting untuk diketahui oleh aparatur penegak hukum agar dalam praktik penegakan hukum terkait pasal ini dilakukan untuk memberikan keadilan bagi perempuan korban, bukan justru memberi ruang bagi pelaku KDRT mengkriminalisasi korban atas tuduhan penelantaran rumah tangga.

Dian Puspitasari
Mahasiswa Magister Hukum Universitas Semarang, Direktur LRC-KJHAM Semarang tahun 2016 – 2018

====
Tulisan ini merupakan bagian pertama dari tulisan panjang penulis tentang penelantaran rumah tangga.

Digiqole ad